Mohon tunggu...
Irene Cynthia Hadi
Irene Cynthia Hadi Mohon Tunggu... Editor - Editor

Just an ordinary girl from Surakarta, who writes perfect moments at the perfect time...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kamu Lektor? Pasti Mengalami Hal-hal Berikut Ini

19 April 2016   13:46 Diperbarui: 29 Agustus 2016   09:23 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lektor atau pembaca sabda di gereja Katolik, adalah salah satu petugas liturgi penting dalam perayaan Ekaristi. Berdiri di depan mimbar, para lektor membacakan sabda-sabda dari Kitab Suci bagi seluruh umat. Tapi apa saja sebenarnya yang sering dialami para lektor di balik tugas pelayanannya? Cek di bawah sini ya! Selamat membaca. 

1. Salah baca? Sudah biasa

Pernah dengar lektor salah baca waktu Ekaristi? Nah, tahu nggak gimana perasaan kami waktu itu? Campur aduk banget. Antara malu, panik, deg-degan, dan pengen cepet-cepet turun ke Sakristi untuk menghilang sejenak dari dunia (lebay). Tapi kami berusaha untuk stay cool di atas mimbar dan mengembalikan kepercayaan diri kami dengan menghela napas. Lama-kelamaan, kami pun terbiasa dan nggak panik apabila kelemahan kami ini tiba-tiba muncul di tengah-tengah bacaan yang sedang kami baca. Asal jangan keterusan ya salahnya. Hehehe....

2. Blank di atas mimbar

Hampir mirip seperti kelemahan kami di atas, lektor pun ada kalanya ngeblank di atas mimbar. Lho kok bisa? Panik atau karena kurangnya persiapan, serta rasa gugup karena kami ditatap ratusan pasang mata (plus kamera kadang-kadang), membuat kami terkadang kehilangan fokus di atas mimbar. Terus gimana? Kami harus terus membaca dan bahkan kadang diem sejenak, mencari kata-kata yang hilang gara-gara blank tadi, supaya perayaan Ekaristi kembali berjalan.

3. Eh....keserimpet jubah di altar!

Sama sih penyebabnya. Panik atau kurang persiapan (dan jubahnya kepanjangen gara-gara salah pilih ukuran), akhirnya ada beberapa diantara kami yang mengalami hal ini. Bayangkan coba! Ketika seluruh umat (dan Romo dan misdinar) sedang fokus sama kami yang mau naik ke mimbar atau altar, dan kami keserimpet jubah. Hmm...tentunya pengalaman yang nggak terlupakan namun lucu untuk diingat.

4. Jadi deket sama Romo

Iya dong... Namanya lektor dan petugas liturgi lain pasti deket sama Romo-Romo di paroki. Serunya, kami bisa bercanda dan mendapatkan pengarahan dan bimbingan langsung dari Romo. Kami juga bisa curhat sama Romo layaknya curhat dengan teman sebaya.

5. Punya adik-adik baru

Ya, jadi lektor artinya kami punya keluarga baru. Nggak hanya dari kalangan lektor aja, kami juga dapat adik-adik baru yakni para misdinar. Mereka yang masih kecil-kecil dan imut-imut, ikut menambah keceriaan waktu latihan dan perayaan Ekaristi di gereja. Nggak jarang, kami juga ikut bercanda dengan mereka.

6. Harus siap jadi mentor

Jadi lektor artinya kita juga harus siap jadi mentor. Kenapa? Karena kami yang sudah jadi lektor lebih lama, pasti akan tergerak untuk membimbing lektor-lektor baru. Memang tidak sekaku seperti di sekolah atau di tempat les, kebanyakan dari kami membimbing lektor baru dengan berbagi pengalaman. Bimbingan yang diberikan pun selow karena kami saling berbincang seperti dengan teman sebaya. Oleh karenanya, dengan jadi mentor, para lektor senior pun akan belajar untuk menjadi guru dan pembimbing yang baik, sekaligus belajar bersama dengan para lektor baru.

7. Jadi tambah PeDe

Berdiri di hadapan ratusan umat dan belajar menjadi mentor para lektor baru, ternyata bisa menambah rasa percaya diri lho. Karena memang, berbicara di hadapan orang banyak itu membutuhkan rasa percaya diri yang besar. Dan itulah yang dapat kami peroleh dari pelayanan yang satu ini. Nah, kepercayaan diri ini juga ikut kami bawa dalam kegiatan-kegiatan lain.

8. Jadi rajin membaca Kitab Suci

Kalo dulu sebagai umat kami hanya sekedar mendengarkan Kitab Suci, ketika jadi lektor kami mau nggak mau harus belajar, membaca sekaligus menyerapi inti dari setiap bacaan Kitab Suci. Mulai dari kitab Deuterokanonika, surat-surat Rasul Paulus dan belajar mendongeng lewat bacaan-bacaan Perjanjian Lama, semuanya harus kami kuasai. Dan kalau kami nggak ngerti, kami pun bertanya sama lektor senior atau sama Romo.

9. Harus siap menerima kritik

Jadi lektor berarti harus siap menerima kritik dari semua kalangan. Kritikan bisa datang dari teman sesama lektor, umat atau bahkan dari petinggi gereja dan Romo sekalipun. Sakit nggak? Sakit lah pasti. Apalagi kalau pas kita jelek-jeleknya dan langsung dikritik abis. Tapi ingat, kritikan itu membangun ya guys. Jangan down karena kritikan orang lain. Justru dengan adanya kritik, kami para lektor bisa mengetahui kelemahan kami dan belajar lagi untuk memperbaiki diri.

10. Dapet teman dari berbagai kalangan profesi dan usia

Bergabung dalam organisasi lektor membuka peluang untuk berkenalan dengan banyak orang, termasuk dari beragam kalangan usia dan profesi. Ya, sebagai satu-satunya petugas liturgi yang tidak dibatasi usia dan jenis kelamin tertentu, lektor membuka kesempatan bagi siapa saja yang bersedia melayani dan mau berlatih untuk membaca Kitab Suci. Dari sini juga kami bisa saling berbagi pengalaman dan sekaligus menjalin relasi dengan banyak orang yang tergabung dalam organisasi lektor.

11. Jadi tahu seluk beluk Ekaristi dan liturgi

Ini nih salah satu keuntungan lektor yang lain. Kami bisa belajar dan lebih mendalami agungnya perayaan Ekaristi. Kok bisa? Dengan menjadi bagian dari perayaan Ekaristi itu secara langsung, kami bisa lebih menghargai dan menjalaninya, bahkan ketika kami sedang tidak bertugas sekalipun. Saat gladi bersih untuk misa besar pun, kami secara nggak langsung juga belajar tata cara liturgi yang benar.

12. Harus menjaga suara

Karena suara menjadi faktor penting dalam tugas pelayanan lektor, maka setiap lektor harus menjaga kualitas suaranya. Caranya adalah dengan tidak terlalu sering makan gorengan dan minum es serta menjaga daya tahan tubuh. Apalagi sebelum tugas besar pada hari-hari raya, lektor harus benar-benar menjaga kesehatan dan suaranya agar bisa membaca dengan baik pada hari H.

13. Belajar membaca dengan hati

Membaca dengan hati? Membatin dong? Hehehehe..nggak lah. Membaca dengan hati artinya para lektor harus mengerti dengan jelas inti dari setiap bacaan Ekaristi. Lektor harus mengetahui latar belakang bacaan dan memposisikan diri sebagai orang atau penulis bacaan. Itulah mengapa kami harus bisa ‘masuk’ ke dalam bacaan, baik itu bacaan berupa kisah dengan berbagai macam karakter yang berganti-ganti maupun bacaan berupa surat seperti surat Rasul Paulus. Lektor harus mampu membayangkan kondisi yang tertulis dalam bacaan, mendalami setiap karakter dan menyampaikannya kepada umat.

Ya, menjadi lektor memang memberikan banyak sekali pengalaman yang luar biasa. Namun sama seperti pelayanan lain, satu hal yang terpenting adalah kami harus tetap menjaga hati dan etika, agar pelayanan kami tidak terhenti dalam perayaan Ekaristi di gereja kami masing-masing, namun juga menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kami. Akhir kata, selamat melayani dan Tuhan memberkati! (cyn)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun