Mohon tunggu...
Irene Cynthia Hadi
Irene Cynthia Hadi Mohon Tunggu... Editor - Editor

Just an ordinary girl from Surakarta, who writes perfect moments at the perfect time...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

A Short Trip to Bali: The Center-North Region of Bali

12 April 2016   10:34 Diperbarui: 29 Agustus 2016   09:38 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   [caption caption="Pura Ulun Danu Beratan, berdiri di tengah kabut (Sumber: dokumentasi pribadi)"][/caption]Cahaya matahari pagi menyeruak masuk dan mengetuk kaca jendela kamar tempat kami menginap. Tak terasa, hari telah berganti. Baru saja rasanya kami mendarat di Pulau Dewata, kini kami harus kembali bersiap menyongsong perjalanan di hari kedua.

Pagi ini kami memutuskan untuk berwisata ke salah satu pura terkenal di Bali yakni Pura Ulun Danu Beratan. Tempat ibadah bagi umat Hindhu ini terletak di perbukitan Pecatu, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung. Perjalanan kami awali sekitar pukul 10.00 WITA. Keluar dari penginapan di Sunset Garden, kami pun bertanya kepada orang-orang sekitar untuk memastikan jarak antara penginapan dengan Ulun Danu Beratan sembari melihat aplikasi di ponsel. Benar saja, seperti yang tertera dalam aplikasi yang kami gunakan, Ulun Danu Beratan ternyata sangat jauh dari penginapan kami. Tercatat bahwa kami harus melalui perjalanan selama kurang lebih dua hingga dua setengah jam untuk sampai ke sana.

Berbekal rasa nekat, aplikasi dan rasa percaya diri, kami pun melaju meninggalkan Sunset Garden. Terik sinar matahari menyambut kami sepanjang perjalanan menuju Ulun Danu Beratan. Ya, pura satu ini memang begitu menarik perhatian karena sering dijadikan sebagai ikon Pulau Bali dalam berbagai iklan di media massa.

Sepanjang perjalanan menuju Ulun Danu Beratan, kami melewati banyak pura. Di depan setiap pura, kami menyaksikan berbagai macam bentuk Ogoh-Ogoh yang akan dibakar pada perarakan menyambut hari raya Nyepi malam nanti. Menyaksikan Ogoh-Ogoh ini menjadi bonus wisata tersendiri bagi kami. Ya, memang baru kali ini kami melihat Ogoh-Ogoh secara langsung dari jarak yang begitu dekat. Dan tentu saja, momen ini sangatlah langka karena Ogoh-Ogoh hanya akan muncul menjelang hari raya Nyepi.

Pura demi pura kami lewati dan Ogoh-Ogoh yang kami temui pun semakin bervariasi. Saya mengamati bahwa terlepas dari ukurannya yang begitu besar, bentuk dan warna Ogoh-Ogoh dibuat dengan begitu detail. Desain itu pulalalah yang memberikan karakter kuat pada setiap Ogoh-Ogoh. Oleh karenanya, terlepas dari rasa sedikit ngeri, saya justru semakin penasaran dengan bentuk Ogoh-Ogoh apa yang akan saya temui di pura berikutnya nanti.

Tak terasa, jalan yang kami lalui semakin menanjak, menuju ke arah perbukitan yang dihiasi awan gelap. Udara menjadi semakin dingin tatkala kami terus melaju naik. Tepat pada pukul 12.30 WITA kami akhirnya sampai ke Pura Ulun Danu Beratan. Untuk masuk ke pura ini kami hanya merogoh kocek Rp 10.000,00 per orang.           

Masuk ke kawasan wisata ini, kami disambut oleh sebuah pura besar di kanan dan kiri. Beberapa orang berpakaian tradisional sedang mempersiapkan sesajen di depan pura. Setelah melewati pura, kami disambut dengan suasana tenang yang begitu asri. Hamparan rumput hijau menghiasi lapangan luas yang membentang di hadapan kami.

Berjalan melintasi hamparan rumput, kami akhirnya memasuki gerbang berbentuk pura yang menghantar kami menuju ke sebuah danau. Di atas danau itulah, berdiri pura legendaris yang tercetak di lembaran uang Rp 50.000,00. Kabut menghiasi setiap sudutnya, menambah kecantikan serta pesona sakral dari Ulun Danu Beratan. Ya, dua kali saya mengunjungi pura ini, namun pesona sakralnya tetap ada dan tidak habis dimakan usia. Beberapa wisatawan termasuk saya, mulai asyik mengambil gambar. Saya beranjak dan pergi ke dermaga yang sepi dan kosong. Kawasan wisata ini memang menawarkan berbagai wisata air seperti becak air dan speedboat bagi para pengunjung. Sayang di hari itu, wisata air rupanya tidak sedang diminati pengunjung.

[caption caption="Dermaga danau di samping Ulun Danu Beratan (Sumber: dokumentasi pribadi)"]

[/caption]

Sekilas saya serasa kembali ke masa lalu, ketika saya dan teman-teman SMP ikut merasakan asyiknya naik speedboat di tengah udara dingin dan cuaca berkabut. Kala itu, bahkan bukit-bukit yang mengelilingi Ulun Danu Beratan tidak terlihat sama sekali karena tertutup kabut. Cipratan air yang dingin menambah asyiknya petualangan singkat kami di masa itu.

Saya kembali menikmati pemandangan Pura Ulun Danu Beratan, sambil asyik mengambil gambar. Tak berapa lama, saya melihat teman-teman saya sedang meminta bantuan dua orang asing untuk mengambil foto kami berempat di depan Ulun Danu Beratan. Selesai berfoto, eh ternyata merekalah yang giliran mengajak kami foto bersama.

Betapa kagetnya kami lantaran selesai berfoto, keduanya ingin ikut bersama kami untuk menginap di Kuta karena kami terlanjur bercerita bahwa kami menginap di Kuta dan naik motor ke Ulun Danu Beratan. Kami sempat mengobrol sebentar tentang persiapan hari Nyepi sebelum akhirnya kami pamit pulang karena langit mulai menggelap dan gerimis mulai turun. Kami beralasan bahwa kami harus segera turun ke Kuta dan pulang. Untungnya, para bule itu mengerti dan tidak jadi ikut pulang bersama kami.

Menikmati santapan khas Bali di tengah hujan 

[caption caption="Nasi Campur Ayam Betutu khas Bali, murah meriah (Sumber: dokumentasi pribadi)"]

[/caption]Mendung masih menggantung tatkala kami berkendara menuruni jalan berkelok untuk kembali ke Sunset Road. Rasa cemas dan resah menghampiri kami karena kami sadar bahwa hujan akan segera turun, sementara perjalanan kami masih jauh dan kami tidak membawa jas hujan. Ditambah lagi, perut meminta untuk segera diisi. Didorong insting dan rasa lapar, kami pun akhirnya menepi dan berhenti di sebuah rumah makan bernama Warung Nyoman.

Desain interior rumah makan ini begitu sederhana namun cukup unik karena kursi dan mejanya terbuat dari kayu utuh. Sebentar kami masuk ke warung ini, hujan deras turun disertai angin kencang. Kami pun segera membuka menu dan memesan nasi campur ayam betutu seharga Rp 20.000,00 saja. Tentu kami sedikit kaget dengan harga yang kami temukan. Baru kali ini kami menemukan rumah makan yang menyajikan makanan khas Bali dengan harga semurah ini.

Tak berapa lama, nasi campur kami pun datang. Ya, di dalam santapan kami ini terdapat nasi putih, suwiran ayam betutu, kacang goreng, sayur dan jerohan ayam yang digoreng serta kuah. Satu lagi yang spesial adalah sajian sambal matah khas Bali yang dibuat dari bawang merah dan cabai dengan sedikit minyak dan perasan jeruk nipis. Kami pun segera menyantap hidangan nasi campur ayam betutu ini.

Rasanya sungguh campur aduk. Gurih dan pedasnya ayam betutu bercampur menjadi satu dengan renyahnya kacang dan hangatnya nasi. Belum lagi hangatnya kuah serta rasa sayur daun singkong yang begitu gurih namun tetap terasa segar, menjadi pelengkap sempurna santapan kami kali ini. Tak menunggu lama, nasi campur kami pun habis dan kami menutup hidangan dengan segelas teh manis panas. Benar-benar pas rasanya hidangan dan minuman kami kali ini di tengah hujan deras yang begitu dingin.

Nasi Tempong dan Cita Rasa Italia di Pulau Dewata

Seusai menyantap nasi campur ayam betutu, kami pun segera kembali ke Sunset Garden untuk beristirahat dan mandi. Sayangnya, perjalanan kami tak semulus yang kami bayangkan. Hujan deras memaksa kami berempat yang tak modal jas hujan untuk berhenti dua kali di depan toko-toko kecil, untuk membeli jas hujan plastik seharga Rp 10.000,00. Di perhentian pertama kami hanya mendapatkan dua jas hujan. Ketika hujan mulai deras kembali, kami lalu berhenti lagi di sebuah minimarket sebelum akhirnya kami bisa pulang dengan selamat karena hujan sudah berhenti.

Tak terasa malam pun tiba. Kami segera beranjak dan menuju ke warung nasi tempong. Apabila Anda mencari warung makan dengan harga bersahabat, tidak ada salahnya untuk singgah di warung makan ini. Terdapat beberapa jenis nasi tempong yang ditawarkan di sini. Yang termurah adalah nasi tempong tempe penyet yang dibanderol dengan harga Rp 15.000,00 per porsinya. Nasi tempong ini terdiri atas nasi putih, sayuran berupa labu, bayam dan kacang panjangrebus, ikan asin dan tempe penyet serta dilengkapi dengan sambal bawang. Lain lauknya lain pula harganya. Nasi tempong ayam, nasi tempong rempela ati dan nasi tempong babat dibanderol dengan harga Rp 25.000,00.

Perut kenyang setelah diisi namun kami masih penasaran dengan pawai Ogoh-Ogoh yang akan dilaksanakan malam ini juga.Kami pun kembali melaju dan memutuskan untuk berkeliling Kuta. Benar saja sesampainya kami di Grandma’s Hotel di jalan Sriwijaya No. 368, Legian, kami menemukan wisatawan-wisatawan yang berjalan kaki sambil membawa senter dan mengenakan bando telinga kucing dengan lampu berwarna warni.

Tepat di bawah Grandma’s Hotel itulah kami menemukan sebuah restoran yang begitu ramai. Uniknya, semua pengunjung restoran bernama Bella Italia tersebut merupakan orang asing alias bule. Karena jalan semakin ramai dipadati wisatawan, kami pun memutuskan untuk berhenti dan mencoba kuliner yang tersaji di Bella Italia.

Kesan pertama saya saat masuk ke restoran ini adalah seperti dibawa ke Eropa atau Amerika. Ya, Bella Italia memang didesain seperti layaknya restoran-restoran di barat. Pagar yang dibangun mengelilingi restoran hanya menutupi separuh restoran. Taplak meja kotak-kotak berwarna merah dan putih serta cahaya lampu termaram, membuat saya seakan sedang bersantap di kafe yang muncul di film-film Hollywood.

Kedatangan kami langsung disambut oleh seorang pria berkebangsaan asing yang ternyata merupakan pemilik restoran Bella Italia. Ia tersenyum kepada kami yang sedang kebingungan mencari meja lalu berkata, “Wait for a minute. I will give you a table.” Benar saja, setelah kami menunggu sebentar, ia langsung memberikan meja yang baru saja kosong. Nampak pelanggan-pelanggan lain yang semuanya juga orang asing, berdiri di depan pintu sambil melongok ke dalam restoran, mencari mejayang kosong. Tak lama, pramusaji datang untuk menawarkan menu kepada kami berempat.

Kami memesan Prosciutto pizza seharga Rp 79.000,00 dan es krim gelato vanilla dengan harga Rp 25.000,00. Sembari menunggu, kami mengabadikan momen di jejaring sosial dan mengamati bule-bule di sekitar kami. Kami sedikit terkejut saat menyadari bahwa satu orang menyantap satu pizza. Wow! Padahal, pizza yang disajikan restoran ini berukuran besar dan biasanya disantap oleh dua sampai tiga orang.

Setelah menunggu cukup lama (karena antriannya banyak), pizza kami pun datang! Yey! Prosciutto pizza yang kami pesan berisi pepperoni dan keju mozarella. Homemade pizza ini tipis dan renyah. Rasanya? Gurih dan nikmat! Perpaduan keju mozarella dan pepperoni yang gurih, membuat kami langsung menghabiskan pizza ini hanya dalam beberapa menit. Hehehe... Tak berapa lama, gelato vanilla yang kami pesan pun datang. Gelato ini memiliki tekstur yang begitu lembut, dilengkapi dengan saus coklat dan meses di atasnya. Meskipun agak terlalu manis namun gelato ini menjadi makanan penutup yang pas setelah menyantap pizza tadi.

Selesai bersantap, kami berjalan kaki di sekitar Grandma’s Hotel. Terbersit di pikiran kami untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Potato Head Beach Club. Kami berhenti dan bertanya pada beberapa ibu yang duduk di depan sebuah rumah. Sayangnya, mereka tidak mengetahui Potato Head Beach Club yang hendak kami tuju. Kami justru disuruh pulang sebelum gelap karena semua lampu jalan akan segera dimatikan untuk menyambut Hari Nyepi. “Sudah pulang saja, soalnya jalanan macet. Terus nanti tengah malem lampu sudah dimatikan semua,” kata salah satu ibu. Ibu-ibu yang lain mengangguk-angguk. Mengikuti saran para ibu itu, kami pun mengurungkan niat untuk pergi ke Potato Head Beach Club.

Perempatan Grandma’s Hotel dan Bella Italia semakin dipadati wisatawan yang hendak melihat pawai Ogoh-Ogoh secara langsung. Kami berdiri diantara kerumunan wisatawan yang menunggu Ogoh-Ogoh lewat. Hampir 15 menit kami menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda Ogoh-Ogoh akan lewat untuk diarak. Kami pun menyerah. Udara yang begitu panas dan kondisi jalan yang ramai dan penuh sesak, akhirnya memaksa kami untuk pulang dan beristirahat, meninggalkan Legian.

 

Rangkaian perjalanan:

1. Ogoh-Ogoh

2. Pura Ulun Danu Beratan, Bedugul

3. Nasi Campur Ayam Betutu

4. Nasi Tempong

5. Bella Italia

6. Melihat pawai

 

Tips:

1. Selalu bawa jas hujan dan air minum setiap hari.

2. Usahakan jangan pulang terlalu malam pada malam Nyepi karena semua lampu jalanan akan mati pada pukul 12.00 WITA meskipun Nyepi baru dimulai pukul 06.00 WITA.

 

Sekian rangkaian perjalanan saya di hari kedua ini. Sampai jumpa di edisi ketiga “A Short Trip to Bali” Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun