Mohon tunggu...
Irdia Bushori
Irdia Bushori Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah Mentari Bagi Pikiranku dan Malaikat Bagi Jiwaku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Skema Sukses Pemenangan Caleg Dpr Ri 2014

24 Februari 2014   02:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Irdia Bushori

Pemilihan anggota legislatif yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 tinggal menghitung hari, berbagai strategi pemenangan dilakukan oleh sang calon anggota legislatif dan timnya untuk sampai pada tujuan utama yaitu menduduki kursi legislatif. Adu gagasan, adu strategi dan taktik menjadi jamuan di hampir semua sudut. Jargon-jargon kampanye menjadi santapan mata telanjang lewat berbagai atribut kampanye, mulai dari stiker, spanduk sampai baliho berukuran besar. Sekalipun sudah ditertibkan oleh Satpol PP atas instruksi Panwaslu tetap saja masih banyak terdapat atribut kampanye para calon anggota legislatif. Apakah cara lama ini masih menjadi acuan bagi para calon anggota legislatif untuk meraih simpati publik? Pertanyaan lebih mendasar, seberapa berpengaruh atribut kampanye terhadap tingkat keterpilihan seorang calon anggota legislatif?

Hasil survey yang di himpun oleh lembaga-lembaga survey politik menyatakan bahwa fenomena banyaknya atribut kampanye ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan seorang calon anggota legislatif. Mengapa? Karena masyarakat semakin sadar bahwa pilihan politik mereka kepada salah satu calon anggota legislatif tidak sedikitpun membawa perubahan mendasar kepada diri mereka secara langsung. Prosentase pemilih yang memiliki pendapat seperti ini hampir 60% yang rata-rata berusia 25-50 tahun. Pemilih di kisaran usia ini adalah pemilih yang sudah pernah mengikuti gelaran pesta demokrasi setiap periodenya. Mereka yang berada pada usia ini sudah sering mengamantkan suaranya pada salah satu calon anggota legislatif yang kemudian berhasil melenggang ke kursi legislatif, dan mencalonkan diri kembali (incumbent) pada periode berikutnya namun sang pemilih tersebut tidak mendapatkan perubahan berarti dari sang calon anggota legislatif.

Pemilih yang kedua berada pada kisaran usia 50-80 tahun pemilih ini cenderung apatis (masa bodo) terhadap pesta demokrasi karena bagi mereka tidak ada satupun calon anggota legislatif yang benar-benar membawa ataupun mewakili aspirasi mereka, sehingga bagi mereka keikutsertaannya dalam pesta demokrasi tidak menjadi hal penting. Pemilih ketiga adalah pemilih muda atau pemilih pemula, mereka yang berusia 17-25 tahun, secara psikologis pemilih pemula atau pemilih muda memiliki hasrat keingintahuan yang besar ia cenderung ingin menelusuri secara mendalam berbagai hal yang terkait dengan sosok serta figur sang calon anggota legislatif, dalam arti luas pemilih dalam kategori “baru” ini berusaha untuk mempelajari, memilah, meneropong dan membandingkan antara satu sosok figur calon anggota legislatif dengan calon anggota legislatif lainnya, pilihan mereka cenderung berubah bahkan sampai saat hari H pelaksanaan pemungutan suara.

Jika atribut kampanye menjadi begitu tidak efektif lantas apakah media paling efektif bagi calon anggota legislatif untuk meraih simpati publik?

PENDIDIKAN POLITIK VS BRUTALISME DEMOKRASI

Beberapa calon anggota legislatif tingkat daerah maupun pusat mengeluh, sudah terlalu banyak uang yang saya keluarkan untuk ongkos politik menjelang pemilihan anggota legislatif ini, bahkan jika nanti terpilih 50% gaji saya di legislatif harus saya setor ke partai “ucapnya mengeluh”. telatkah? Tidak! tidak pernah ada kata telat dalam upaya perbaikan dan kebaikan, jika anda salah satu calon anggota legislatif yang begitu tergiur untuk sampai pada kursi legislatif dengan menggunakan cara lama, maka buanglah jauh-jauh cara berpikir anda. Cara lama yang selalu di pakai untuk meraih suara rakyat adalah dengan menggunakan fasilitas-fasilitas Negara dengan menggunakan (APBN, APBD) seperti pembangunan atau perbaikan jalan, jembatan, tempat-tempat ibadah, sekolah, pengobatan gratis, ambulan gratis yang semua itu didapat melalui kerjasama antar rekanan-rekanan kementerian maupun dinas-dinas terkait di tingkat provinsi, kabupaten ataupun kota, kampanye terselubung lewat media-media resmi pemerintah provinsi, kabupaten atau kota serta banyak lagi perangkat Negara yang di sulap sedemikian rupa demi kepentingan sang calon anggota legislatif, belum lagi pembagian sembako gratis berlogo partai dan bergambar sang caleg dengan senyum lebarnya, bagi-bagi baju koko gratis, dana bantuan pendidikan, dana bantuan korban bencana (banjir, longsor, gempa bumi dsb) sampai yang terang-terangan membagi-bagikan uang tunai.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang budaya politiknya masih tergolong rendah, budaya politik rendah adalah pekerjaan rumah di hampir semua Negara berkembang termasuk Indonesia. Budaya politik rendah ini yang membuat bangsa kita seperti berjalan di tempat, tidak beranjak, malah cenderung berjalan mundur kebelakang, masyarakat dengan budaya politik rendah menjadikan gelaran pesta demokrasi sebagai ajang seremonial belaka, tidak menjadikan gelaran pesta demokrasi sebagai wadah ideal untuk melakukan koreksi atas rezim cacat periode sebelumnya yang dianggap tidak berpengaruh langsung kepada masyarakat. masyarakat tidak menganggap penting hajatan demokrasi, yang lebih penting bagi mereka adalah melakukan rutinitas harian seperti bekerja demi membiayai kebutuhan diri dan keluarganya, bagi mereka tak ada satupun hal yang dapat dirubah dalam gelaran pesta demokrasi. Trend negatif ini terjadi sejak pemilu 1999, masyarakat menjadi terbiasa dengan pola, strategi dan taktik para calon anggota legislatif, mereka disuguhi oleh akses dan kemudahan musiman seperti pembagian sembako bahkan uang tunai secara terang-terangan, yang akhirnya membuat mereka tak lagi melihat visi-misi sang calon anggota legislatif melainkan menjadikan pesta demokrasi 5 tahunan sebagai ajang pengumpulan pundi-pundi materil (uang/barang). Alhasil pilihan politik (political interest) mereka bukanlah pilihan politik yang berdasarkan pada ketertarikan secara kognitif yang mengedepankan pilihan rasional atas dasar pembacaan utuh terhadap kualitas sang calon anggota legislatif melainkan pilihan kondisi material semata.

Tak heran jika mereka menerima semua bantuan itu dengan sangat antusias malah beberapa kalangan masyarakat (RT, RW, Lurah, Camat) berlomba-lomba menawarkan diri menjadi event organizer untuk mengumpulkan bantuan-bantuan materil (uang/barang) dari semua calon anggota legislatif namun tidak memilih sang pemberi bantuan tersebut. Miris.

Inilah realitas sosial politik masyarakat Indonesia, kita tidak bisa menutup mata atas kondisi ironis yang terjadi ditengah-tengah kita, lihat bagaimana fenomena golput (golongan putih) terus menggejala, jika mau fair bertanya dengan calon anggota legislatif incumbent terkait prosentasi data faktual masa pemilih yang dikumpulkan lewat mapping (pemetaan) tim pemenangan sang calon, maka akan didapati akumulasi perolehan suara yang berbanding terbalik dengan hasil pemungutan suara dilapangan. Artinya memetakkan pemilih dengan cara lama tidak menjadi jaminan mutlak perolehan suara dikarenakan faktor-faktor seperti yang telah penulis paparkan diawal. Inilah gejala akut transisi demokrasi bangsa “besar” yang jika terus dibiarkan maka akan melahirkan brutalisme demokrasi, dimana masyarakat secara sadar memanfaatkan momen demokrasi prosedural (Pilleg/Pilpres) sebagai alat penyanderaan terhadap hakikat demokrasi esensial, demokrasi esensial sebagaimana yang kita pahami adalah demokrasi yang mengedepankan pilihan politik berdasarkan rekam jejak, kualitas, kualifikasi, kompetensi dan alat ukur-alat ukur ideal lainnya.

Pada akhirnya pilihan ada ditangan kita, mau menjadikan bangsa ini terus terjebak pada labirin brutalisme demokrasi yang berakibat fatal terhadap masa depan anak cucu kita?, atau menjadikan gelaran pesta demokrasi 5 tahunan ini sebagai sarana pendidikan politik masyarakat? Ditangan anda para calon anggota legislatif yang terhormat masa depan bangsa dan Negara dipertaruhkan, dan ditangan kita Tuhan mengamantkan suara-Nya. Semoga kebaikan dan perbaikan selalu menyertai setiap perjalanan kita. amin

“Kemenangan sejati adalah kemenangan melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri” (Muttafaqun Alaih)

Penulis adalah Koordinator KRITIS Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun