Mohon tunggu...
Irda Yanti
Irda Yanti Mohon Tunggu... Operator - Panwascam Berastagi

Pengawal Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sistem Proporsional Terbuka atau Sistem Proporsional Tertutup?

31 Mei 2023   12:09 Diperbarui: 31 Mei 2023   14:47 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2024 mulai banyak diperbincangkan tentang sistem pemilu yang akan dilaksanakan apakah sistem pemilu Popersonal terbuka atau Proporsional tertutup pada Tahun 2024.  Pemilu dimaksudkan untuk memilih orang tertentu yang akan menjadi wakilnya di parlemen, dan akan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan rakyatnya, sesuai dengan dapil pemilihan dan fokus komisinya masing-masing. Pemilu dalam rangka mengisi jabatan-jabatan tertentu di pemerintahan, seperti Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota, hingga Kepala Desa, dalam lembaga eksekutif. Sedangkan pada lembaga legislatif, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Awal mula  sistem Proporsional terbuka

Sebagai koreksi atas sistem proporsional tertutup, terutama sepanjang era Orde Baru. Sistem pemilu Proporsional terbuka yang berlaku hingga saat ini lahir dari Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VII/2008. Mahkamah Konstitusi (MK) menyempurnakan sistem proporsional terbuka terbatas pada Pemilu 2004 yang saat itu menggunakan bilangan pembagi pemilih (BPP). perolehan kursi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut teratas setelah memenuhi BPP.

Bila ditelusuri lebih jauh, Putusan MK tersebut dibacakan pada 23 Desember 2008 atau berdekatan dengan pemilu legislatif pada 9 April 2009. Meski terbilang singkat, MK tidak merombak sistem proporsional terbuka. MK hanya menyempurnakan mekanisme perhitungan suara dan berlaku hingga saat ini. Bahkan, dukungan atas Putusan MK melahirkan Perppu Nomor 1 Tahun 2009. DPR kemudian mengesahkan Perppu menjadi UU No. 17 Tahun 2009.

Viralnya sistem Pemilu Proporsional Tertutup ini karena ada pihak yang memohon uji materi UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang mempermasalahkan Pasal 168 ayat (2), yang menyatakan bahwa: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Sebagai informasi, pemilu pertama pasca reformasi pada tahun 1999 menggunakan Sistem Proporsional tertutup. Sedangkan Sistem Proporsional tertutup adalah sistem pemilu dimana pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, melainkan partai politik peserta pemilu.

Pemilu sistem proporsional terbuka bergantung pada calon yang diajukan oleh partai, elektabilitas calon menjadi indikator utama. Seorang calon anggota legislatif atau eksekutif diharuskan memiliki nilai tawar yang tinggi, kemampuan ekonomi dan dukungan masyarakat.

Sedangkan sistem proporsional tertutup, menitik beratkan pada laju elektabilitas partai politik, semakin tinggi kepercayaan dan daya tawar suatu partai politik, perolehan kursi juga semakin banyak.

Kedua sistem di atas hanya bersifat pilihan saja, karena kedua sistem di atas tetap mengakomodir kepentingan rakyat, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2). Sejatinya kedua sistem tersebut memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing.

Kelebihan dan Kelemahan Sistem Proporsional Terbuka/ Tertutup

Untuk lebih jelasnya, dengan ini ditampilkan beberapa pendapat dari berbagai sumber mengenai Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Terbuka.

KELEBIHAN SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP:

  1. Memperkuat partai politik melalui kaderisasi.
  2. Memberikan kesempatan lebih luas pada kader yang potensial.
  3. masyarakat cukup memilih tanda gambar partai dan partai yang akan menentukan kader-kader terbaiknya ke parlemen.
  4. Menekan potensi politik uang.
  5. Mempermudah dalam memenuhi kuota perempuan, atau etnis yang dianggap minoritas karena Parpol yang menentukan calon legislatornya.
  6. Meningkatkan peran Parpol dalam perkaderan sistem perwakilan, serta mendorong institusionalisasi partai.
  7. Biaya Pemilu menjadi murah, karena Surat Suara yang dicetak hanya gambar partai.

KELEMAHAN SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP:

  1. Partai berkuasa penuh dalam menentukan siapa-siapa yang akan duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi.
  2. Menutup kanal partisipasi publik yang lebih besar, karena masyarakat tidak memilih caleg.
  3. Menjauhkan akses hubungan antara pemilih dengan wakilnya pasca pemilu menjadi rentetan akumulasi kekecewaan publik.
  4. Membuat komunikasi politik tidak berjalan dan kesempatan calon terpilih lebih tidak adil.
  5. Krisis calon anggota legislatif (caleg) tak bisa dielakkan karena sedikit yang berminat dan serius maju jadi caleg, karena sudah bisa diprediksi siapa yang akan terpilih.
  6. Kurang sesuai untuk partai kecil atau partai baru yang belum banyak dikenal.
  7. Tidak responsif terhadap perubahan yang pesat.
  8. Berpotensi menguatkan oligarki di internal Parpol.
  9. Berpotensi dilakukannya politik uang di internal Parpol dalam menentukan nomor urut calon.
  10. Dianggap sebagai kemunduran demokrasi.

KELEBIHAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA;

  1. Pemilih dapat memilih langsung wakilnya yang akan duduk di parlemen.
  2. Pemilih akan memilih satu nama calon anggota legislatif yang dia kenal tanpa melihat partai dan yang dianggap dapat mewakili aspirasinya.
  3. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat.
  4. Partisipasi dan kendali masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.
  5. Mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan.
  6. Sistem proporsional terbuka merupakan kemajuan dalam berdemokrasi.

KELEMAHAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA;

  1. Melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader terbaik partai, sehingga terpilih wakil yang gagal menjaga pintu (gate keepers) moral dan tanggung jawab, alih-alih perjuangkan rakyat, fungsi pengawasan pun tidak maksimal.
  2. Rakyat berdaulat penuh. Namun realitas kondisi masyarakat yang masih lapar dan miskin, cenderung memilih wakil yang memiliki modal dan berduit, mengabaikan soal fatsun politik, moralitas apalagi kapasitas.
  3. Fakta selama ini menunjukkan trend proporsional terbuka melahirkan wakil rakyat instan, berbekal akses kapital dan popularitas semata.
  4. Konsekuensi dari proporsional terbuka, terjadi persaingan yang kurang sehat (politik destruktif) antar caleg dalam satu partai, tabiat ganjil kontestasi sesama caleg satu partai, bukan berperang dengan partai lain.
  5. Seorang caleg tidak perlu bersusah payah menjadi pengurus partai. Cukup menjadi penumpang gelap dan terpilih dalam sebuah hajatan pemilu lewat operasi sentuhan akhir (finishing touch) yang sempurna.
  6. Kader yang sudah berjuang dan berdarah-darah membesarkan partai selama ini tidak terpilih dalam pemilu legislatif karena minim modal.
  7. Bagi seorang caleg membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi.
  8. Penghitungan hasil suara rumit.
  9. Sulit menegakkan kuota gender dan etnis.
  10. Muncul potensi mereduksi peran parpol.
  11. Persaingan antar kandidat di internal partai.
  12. Biaya pemilu menjadi sangat besar, terutama untuk mencetak Surat Suara, kertas Rekapitulasi Penghitungan Suara dari tingkat TPS, PPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPUD dan KPU Nasional.

Apapun keputusannya, baik sistem proporsional terbuka atau tertutup, rakyat tetap pemilik suara. Rakyat tetap berdaulat. Oleh karenanya, keputusan MK apapun nanti tetap harus dapat diterima seluruh rakyat. Agar implementasinya berjalan sesuai harapan, mari percayakan kepada mereka yang telah diamanatkan oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan.

Tetapi memang sehebat apapun sumberdaya yang dimiliki lembaga pengawas pemilu pada semua tingkatan, tetap membutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi proses demokrasi agar menghasilkan pemilu yang berkualitas lebih baik.

Penulis : IRDA YANTI,SE (Panwascam Berastagi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun