Mbah, begitu saya menyebut orang tua ibu saya, mbah lanang (mbah laki-laki atau kakek) dan mbah wedok (mbah perempuan atau nenek). Mbah memiliki 5 orang anak, 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki. Saya adalah cucu pertama mbah, yang dilahirkan oleh ibu saya, anak pertama mbah.
Sebagai cucu pertama yang diasuh dan dididik semenjak berusia 6 bulan, saya memiliki rasa tanggung jawab yang dibagi rata antara orang tua saya dan kedua mbah saya. Dulu, ketika saya masih berumur 5 atau 6 bulan, ibu saya mengandung lagi, kalau orang Jawa bilang “kesundulan”. Itulah sebabnya saya di “ceraikan ASI” oleh ibu saya dan diambil oleh mbah, di asuh. Jadilah saya anak mbah, hehehe.
Ketika menginjak masa kanak-kanak, saya sempat mengalami polemik di benak saya, terasa aneh dan ganjil. Saat itu saya masih tinggal bersama mbah, saya gamang, kalau berada di dekat orang tua saya merasa “jauh”, komunikasinya aneh untuk anak-anak seumuran saya yang baru menginjak kelas 2 SD. Tetapi ketika bersama mbah, saya merasa seperti “anak tiri”, terasa ganjil juga.
Saya merasa kangen dan rindu pada orang tua yang masih berada di luar kota, namun ketika saya tinggal bersama orang tua kandung saya justru saya sakit demam yag tak kunjung sembuh, kata orang tua dulu saya “malarindu” sama mbahnya, cucu yang udah kena bau tangan mbahnya. Ya, begitulah masa kanak-kanak dan remaja yang saya jalani, serba salah dan kebingungan.
Bingung dan terasa gamang…. Namun, menginjak masa kedewasaan ini, saya mulai bisa menyikapinya seperti apa. Dan Alhamdulillah komunikasi dengan orang tua saya juga sudah mulai membaik beberapa tahun ini, komunikasi dengan mbah pun masih berjalan dengan lancar. Memang terlihat bahwa sikap dan tingkah laku saya berbeda bila dibandingkan dengan adik-adik saya yang diasuh langsung oleh orang tua, mungkin pola pengasuhan antara orang tua dan mbah saya memang berbeda, maka menghasilkan karakter yang berbeda pula.
Tradisi kuno masih tetap berlaku, dimana anak perempuan yang telah menikah akan dibawa oleh suaminya, dia akan berada di manapun suaminya berada, meninggalkan orang tuanya. Anak laki-laki mbah pun merantau ke luar kota. Dan kembali ke masa sekarang, dimana besok adalah Hari Raya Idul Adha 1432 H, tak seorang pun anak mbah yang berada di sini. Sepi… dan mbah sering menagis karena kesepian, maka disinilah peran saya sebagai seorang cucu memilih untuk menemani mbah, menemani masa tua mereka berdua. Sepi memang, namun insyaAllah dengan adanya saya di sini dapat mengobati sedikit perasaan mbah yang “ditinggalkan” oleh anak-anaknya.
Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, karena hidup ini tidak melulu mengurusi tentang siapa salah dan siapa yang benar. Inilah resiko hidup, ada yang datang maka ada juga yang pergi. Bukan karena anak-anak mbah menjadi durhaka, namun jarak yang begitu jauh atau kesibukan suami yang tidak bisa ditinggal menjadi beberapa kendala kenapa mereka tidak bisa pulang menyambut dan merayakan Hari Raya Idul Adha besok. Dan, selagi saya masih belum memiliki berbagai kesibukan di luar rumah, maka saya akan mengasuh kedua mbah dengan kasih sayang seperti ketika dulu mereka mengasuh saya.
Hari Raya Idul Adha akan kami rayakan dengan kesederhanaan, meskipun mungkin mbah akan menangis kembali besok ketika mengenang masa-masa indah atau masa-masa ramai saat semua anak dan cucunya berkumpul. Semua ini adalah pelajaran bagi saya, hingga ketika orang tua saya lanjut usia seperti mbah, maka saya juga harus siap mengasuh mereka, atau sebelum saya dijemput oleh calon suami saya, maka saya akan berbakti kepada mereka yang telah mengasuh dan mendidik saya hingga menjadi seperti sekarang ini.
Selamat merayakan Hari Raya Idul Adha 1432 H, semoga kita semua mendapat berkah dan karunia dari Allah SWT, amin ya robbal’alamin. Berkumpullah bersama keluarga atau orang tua Anda selagi Anda masih memiliki waktu luang yang panjang :)
051111
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H