masyarakat, ada pandangan umum yang mengaitkan nilai seorang laki-laki dengan kemampuannya untuk berprestasi dan memberikan kontribusi nyata. Pernyataan seperti laki-laki kalau tidak bisa apa-apa jadi sampah masyarakat mencerminkan pemikiran yang menekan dan membebani laki-laki untuk selalu berhasil dalam segala hal. Namun, apakah pandangan ini benar-benar adil dan proporsional?
DitengahPernyataan ini muncul dari ekspektasi sosial yang tinggi terhadap peran laki-laki. Dalam banyak budaya, laki-laki sering diharapkan menjadi penyokong utama keluarga, pemimpin, dan figur yang kuat serta mandiri. Ketika seorang laki-laki dianggap "tidak bisa apa-apa," label negatif seperti "sampah masyarakat" mungkin diberikan oleh lingkungan sekitar yang menilai dirinya berdasarkan standar pencapaian material atau status sosial tertentu. Namun, label ini mengabaikan kompleksitas manusia dan konteks hidup masing-masing individu.
Pandangan ini memperkuat stereotip bahwa nilai seseorang hanya dapat diukur melalui kontribusi ekonomi atau pencapaian tertentu. Hal ini bisa berbahaya karena mengabaikan dimensi lain dari nilai manusia, seperti kebaikan hati, integritas, ketekunan, atau kualitas-kualitas lain yang tidak selalu berhubungan dengan kesuksesan materi. Menganggap seseorang sebagai "sampah" hanya karena mereka tidak memenuhi kriteria tertentu mengabaikan bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri dengan tantangan dan perjuangannya masing-masing.
Lebih jauh lagi, gagasan ini dapat merugikan laki-laki itu sendiri. Tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik atau paling berhasil dapat menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Laki-laki yang merasa tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat mungkin merasa terisolasi, tidak berharga, dan putus asa. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya masalah individu tetapi juga masalah sosial yang memengaruhi komunitas secara keseluruhan.
Sebagai masyarakat, kita perlu meninjau kembali pandangan kita tentang nilai manusia. Tidak ada seorang pun yang seharusnya dianggap sebagai "sampah" hanya karena mereka tidak mencapai standar tertentu. Sebaliknya, kita harus memperlakukan setiap individu dengan empati dan pengertian, mengenali bahwa setiap orang memiliki kontribusi unik yang dapat diberikan kepada masyarakat, meskipun kontribusi tersebut mungkin tidak selalu terlihat atau diakui secara luas.
Selain itu, kita harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan mendorong pertumbuhan setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan. Ini bisa dimulai dengan memberikan akses ke pendidikan, pelatihan keterampilan, dan peluang ekonomi yang adil. Kita juga perlu mengubah narasi sosial yang terlalu fokus pada kesuksesan material dan mulai menghargai kontribusi non-material yang sama pentingnya dalam membangun komunitas yang sehat dan berfungsi dengan baik.
Pada akhirnya, kita perlu meninggalkan pandangan sempit bahwa "laki-laki yang tidak bisa apa-apa adalah sampah masyarakat." Kita perlu mengakui kompleksitas dan keunikan setiap individu serta memahami bahwa kontribusi seseorang terhadap masyarakat tidak selalu dapat diukur dengan cara konvensional. Dengan mengadopsi pandangan yang lebih inklusif dan empatik, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, dimana setiap orang, terlepas dari keberhasilan materi mereka, merasa dihargai dan diberdayakan untuk berkontribusi dengan cara mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H