Duck syndrome adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dimana seseorang, terutama mahasiswa tampak tenang dan terkendali dipermukaan, tetapi sebenarnya mengalami stres dan kecemasan yang sangat besar di dalam. Fenomena ini sering diibaratkan seperti seekor bebek yang terlihat mengapung dengan tenang di atas air, padahal di bawah permukaan kakinya bergerak cepat untuk tetap bertahan. Istilah ini sangat relevan dalam konteks kehidupan kampus, dimana tekanan akademik, sosial, dan emosional sering kali membuat mahasiswa merasa tertekan, meskipun mereka tampak baik-baik saja dari luar.
Banyak mahasiswa yang merasa perlu untuk mempertahankan citra yang sempurna di depan teman, keluarga, dan masyarakat, sehingga mereka berusaha menyembunyikan perasaan stres, cemas, dan ketidakpastian. Tekanan untuk berhasil, baik akademis maupun sosial, bisa sangat kuat, terutama di lingkungan di mana prestasi akademik sangat dihargai. Akibatnya, mahasiswa sering merasa terisolasi, berpikir bahwa mereka satu-satunya yang kesulitan mengatasi tekanan ini, padahal kenyataannya, banyak dari mereka mengalami hal yang sama.
Duck syndrome dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara, termasuk insomnia, kelelahan, kecemasan, dan bahkan depresi. Mahasiswa yang mengalami sindrom ini mungkin merasa kewalahan oleh tugas dan tanggung jawab yang mereka hadapi, tetapi mereka enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak kompeten. Hal ini diperparah oleh budaya yang menekankan pentingnya terlihat sukses dan sejahtera sehingga mahasiswa merasa harus selalu tampil prima, meskipun didalam mereka berjuang keras.
Tekanan sosial juga berperan besar dalam fenomena ini. Dengan adanya media sosial, mahasiswa sering kali merasa harus menunjukkan kehidupan yang sempurna didunia maya, meskipun kehidupan nyata mereka jauh dari ideal. Perbandingan sosial yang tidak realistis ini dapat memperburuk perasaan tidak berdaya dan memperkuat duck syndrome. Melihat teman-teman yang tampaknya berhasil menjalani kehidupan kampus dengan mudah bisa membuat seseorang merasa semakin tidak mampu, meskipun kenyataannya banyak dari mereka juga mengalami kesulitan yang sama.
Untuk mengatasi duck syndrome, penting bagi mahasiswa dan institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental. Mahasiswa perlu didorong untuk berbicara tentang perasaan mereka dan mencari bantuan ketika mereka merasa kewalahan. Program konseling dan dukungan harus mudah diakses dan penting untuk menekankan bahwa mencari bantuan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan.
Selain itu, ada kebutuhan untuk mengubah cara kita memandang kesuksesan. Kesuksesan tidak selalu harus berarti prestasi akademis yang sempurna atau kehidupan sosial yang sibuk. Sebaliknya, penting untuk menghargai kesejahteraan emosional dan mental serta keseimbangan hidup. Mahasiswa harus diajarkan bahwa tidak apa-apa untuk mengambil istirahat, untuk membuat kesalahan, dan untuk belajar dari pengalaman mereka daripada berusaha untuk selalu tampil sempurna.
Dalam kesimpulannya, duck syndrome adalah fenomena yang mengkhawatirkan dikalangan mahasiswa dimana mereka merasa harus menyembunyikan perjuangan mereka demi mempertahankan citra yang sempurna. Penting bagi kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat untuk lebih peka terhadap tanda-tanda stres dan kecemasan disekitar kita dan untuk mendukung satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup.
Dengan mengatasi stigma yang terkait dengan kesehatan mental dan memberikan dukungan yang diperlukan, kita dapat membantu mahasiswa mengatasi duck syndrome dan mencapai kesejahteraan yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H