Mohon tunggu...
Ira Wulandari
Ira Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Karena sudah muak memendam pikiran-pikiran ini, jadi saya putuskan menyebarkannya di sini. Selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Alasan Saya Memilih Sastra Indonesia

12 September 2024   07:43 Diperbarui: 12 September 2024   07:45 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Element5 Digital: pexels.com

Saya dibesarkan di lingkungan yang hampir tidak mengenal buku. Sekolah dasar saya bisa dibilang hampir tidak pernah mengedukasi murid-murid untuk keperpustakakan dan membaca buku. terlebih memang perpustakaan yang ada di SD saya pada saat itu "tidak ada apa-apanya". Saya juga merasa perpustakaan itu eksluksif.

Pada saat di SMP dan SMA pun tidak jauh berbeda. Akses pada buku menjadi sesuatu yang sulit untuk didapatkan. Ada beberapa alasan dulu saya sulit mengakses buku. Pertama, lingkungan keluarga dan sosial yang tidak memiliki kesadaran bahwa buku adalah hal yang penting. Kedua, kurangnya edukasi dan persuasi dari tenaga terdidik dalam literasi (saya baru dapat persuasi ini saat SMP, tapi tidak merasa terajak). Ketiga, kurangnya fasilitas yang disediakan sekolah dan pemerintah bagi murid dan masyarakat untuk mengakses literatur. Keempat, harga buku yang mahal dan tidak ramah bagi kantong kalangan menengah dan menengah ke bawah.

Untungnya saya mempunyai kepribadian yang selalu ingin tahu banyak hal dan berubah. Bisa dibilang saya orangnya agak "iri-an" sekaligus mengagumi seseorang yang memiliki kesuksesan. Hal itu ternyata membuat saya sedikit-sedikit bisa mulai mengakses buku dan suka untuk membaca buku.

Sesekali saya membaca novel-novel populer karena ada teman-teman saya yang mempunyai buku itu sehingga saya meminjam bukunya. Namun, buku itu tidak membuat saya tertarik untuk membaca lebih banyak karena isinya yang garing dan aneh. Saya juga merasa tidak ada yang bisa diambil dari buku itu.

Ketika kelas 3 SMA saya mulai membaca buku-buku yang berhubungan dengan sejarah, baik fiksi maupun nonfiksi. Buku-buku itu ternyata menjadi kunci sebuah pintu di pikiran saya untuk lebih menyukai bacaan karena buku-buku itu memberikan wawasan dan pengalaman pada diri saya yang sulit untuk dijelaskan.

Beberapa buku saya baca lagi, terutama yang fiksi. Bedanya dari buku-buku yang saya pinjam dari teman saya adalah buku-buku yang saya baca itu punya pesan yang kuat dan memang "menyuarakan sesuatu". Dari isinya pun menggambarkan sosial-budaya yang relevan dengan realitas sehingga saya mendapatkan gambaran kehidupan manusia di berbagai kalangan.

Buku-buku itu berpengaruh pada keputusan yang saya buat saat masuk kuliah, yaitu memilih jurusan Sastra Indonesia. Alasannya adalah karena saya inign mengetahui lebih mengenai sastra, terutama sastra Indonesia. Jurusan itu erat hubungannya dengan analisis-analisis cerita dan menghubungkannya dengan berbagai hal yang dimuat dalam teori-teori. Itu  yang memang saya cari dan ingin saya pelajari.

Menurut saya jurusan Sastra Indonesia sama halnya seperti jurusan Filsafat yang dampaknya lebih banyak dan lansung pada individu yang memperlajarinya dibanding pada masyarakat pada umumnya. Artinya tidak seperti rumpun eksakta yang outcome dari pelajarannya bisa berdampak langsung untuk  dunia; bisa dilihat dan dirasakan secara jelas.

Dosen saya mungkin tidak akan setuju dengan pendapat saya itu. Mereka mungkin akan mengatakan bahwa jurusan ini bermanfaat dan berdampak banyak bagi masyarakat. Kita sebagai orang yang secara formal memperlajarinya hanya punya kewajiban untuk mengedukasi bahwa literatur itu perlu, baru masyarakat akan berdampak. Sementara itu, penelitian-penelitian sastra yang ada tidak berdampak langsung pada masyarakat pada umumnya, hanya pada yang memerlukan saja yang menjadikan penelitian itu sebagai bahan referensi agar menciptakan suatu masyarakat dan kehidupan dunia yang lebih baik. Jadi jurusan saya ini dan penelitian yang dilakukannya berperan sebagai jembatan.

Balik lagi ke cerita saya. Awalnya saya berpikir semua orang yang memilih jurusan ini memiliki tujuan yang sama dengan saya, tetapi ternyata tidak. Hampir setengah lebih teman seangkatan saya berkata bahwa mereka memilih jurusan ini karena salah pilih atau ini menjadi pilihan kedua karena jurusan ini mudah dimasuki. Sedih rasanya mendengar hal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun