Dulu, waktu kerja di sebuah agen perjalanan, di bilangan Jakarta Selatan, ada kejadian yang lucu-lucu ngenes.
Namanya juga agen perjalanan, semua hal berkaitan dengan urusan jalan-jalan dilakonin. Pemesanan tiket, vocher hotel, paket tour, pengurusan dokumen perjalanan, sampai asuransi perjalanan. Tahun 1990-an sistem belum secanggih sekarang yang serba online, dan nyaris semua urusan dapat dilakukan langsung oleh calon pelancong.
Suatu hari ada dua remaja datang dengan membawa tiket untuk sebuah penerbangan. Mereka bermaksud untuk membatalkannya dan minta pengembalian uang. Tentu saja ada  potongan administrasi dan rentang waktu tertentu untuk proses pengembalian uang (refund). Teman saya, sebagai kasir menjelaskan prosedur tersebut, lengkap dengan tanggal kapan mereka bisa datang kembali untuk mengambil uang pengembalian tiket. Kemudian, terjadilah 'tawar-menawar' antara anak-anak remaja ini dengan kasir.
Anak ABG perempuan dengan paras cantik itu mengajukan keberatannya, "Kenapa lebih dari tiga hari? Kenapa nggak bisa langsung?" Padahal sebelumnya, teman saya sudah menjelaskan, karena kami kantor cabang, maka harus melewati beberapa tahap. Laporan ke kantor pusat, dan lain sebagainya. Sekali lagi, itu tahun 90-an. Â Belum semua sistem terintegrasi dengan baik.
Tapi, rupanya anak cantik itu tidak peduli dengan semua penjelasan. Ngotot minta proses refund-nya secepat yang ia harapkan.
Konon kabarnya, kan pembeli adalah raja, maka teman saya selaku kasir mengulangi lagi penjelasannya dengan emosi terkendali dan raut wajah sabar lagipula ramah. Tapi, yang kemudian terjadi di luar dugaan kami semua. Si anak gadis dengan nada tinggi, mimik petantang-petenteng ngomong, "Mbak, Bapak saya bule, tau?!" Â Mendengar 'pengumuman maha penting' dari ABG perempuan seperti itu, sontak teman saya menjawab, "Kalau Bapak kamu bule, terus kenapa?" Â sambil melanjutkan, " Bule atau bukan yang refund, aturannya tetap sama." Bukannya diam, anak itu malah nyaut, "Saya bawa Bapak saya ke sini, ya?!" katanya dengan nada mengancam. "Silakan," demikian kasir merespons tantangannya.
Setelah kejadian, kami yang ada di sana tertawa. Betapa menjijikannya sikap angkuh anak yang merasa superior hanya karena bapaknya bule, yang berpikir ke-bule-an bapaknya dapat membuat urusan jadi lancar. Bisa jadi, dia sering mendapatkan perlakuan istimewa karena paras separo bulenya itu, atau ketika ia bersama bapaknya. Mungkin, dari situlah ihwal jumawanya.
Buat sebagian kita, ketemu dan berhadapan dengan WNA adalah sesuatu yang wah. Padahal, sama-sama orang. Manusia. Hanya saja, memang ada beberapa perbedaan yang kasat mata, seperti warna kulit, rambut, bahkan mata, juga postur tubuh. Bahasa tentu saja berbeda.
Melihat sesuatu yang berbeda memang menarik. Namun, akan jadi sesuatu yang aneh kalau karena perbedaan itu menimbulkan sikap merendahkan diri atau meninggikan diri lebih dari yang lainnya.
Misalnya, nih kadang kita sering melihat, di Monas, ujug-ujug ada orang asing dikerubuti orang-orang lokal, untuk sekedar diminta berfoto bersama. Padahal WNA itu hanya turis yang sedang tamasya. Bukan artis atau pesohor, tetapi mereka bule. Keberadaannya mencolok dan menarik. Saya kadang memperhatikan, raut muka mereka juga heran dan kaget, karena tiba-tiba saja mereka bagaikan selebritis dikerubuti penggemarnya. Belum lagi, (nah, ini yang paling konyol, yang pernah saya lihat) ada yang minta tanda tangan!