Menulis, buat sebagian orang adalah terapi diri. Sama halnya seperti saya. Dimulai dengan menulis buku harian ketika masih kanak-kanak. Seingat saya, masih kelas tiga SD, Â ketika pertama kali punya buku harian dan mengisinya dengan berbagai tulisan remeh. Sampai akhirnya, menulis buku harian atau buku agenda menjadi ritual saya sejak itu. Sampai sekarang.
Menulis apa saja yang  saya inginkan. Mulai dari kegiatan, rencana besok, sampai perasaan, entah itu perasaan berbunga-bunga atau sumpah serapah saat  murka yang tak terlampiaskan (biasanya, setelah emosi mereda, kalau dibaca ulang, malu sendiri, bisa-bisanya saya sedemikian beringas).
Kemudian, dalam salah satu kelas program studi konseling yang saya ikuti, seorang dosen menantang kami untuk mewujudkan apa yang kami impikan, dan apa yang akan kami lakukan untuk mewujudkannya. Kami diajak berpikir konkrit, bukan angan-angan semata. Tapi berani berencana dan mengambil langkah untuk memulainya.
Saya katakan, impian saya adalah ingin menerbitkan buku. Terus, pertanyaan selanjutnya adalah: berapa buku yang akan kamu terbitkan dalam setahun? Nah, lho!
Sejak itu, saya mulai melatih diri untuk menulis dengan lebih baik. Mengikuti berbagai kelas pelatihan menulis dan menantang diri untuk dapat menulis satu hari satu cerita. Â Seperti yang sedang saya lakukan, menulis setiap hari menanti pergantian tahun. Melatih konsistensi .
Kadang berhasil, kadang tidak juga. Kadang hanya menatap layar komputer sampai baterainya nyaris habis. Padahal,  saya punya catatan asbun  ide -- ide untuk menulis. Seperti di bawah ini:
Ide tulisan :
- Covid-19
- Isolasi diri
- Work from home
- Learning from home
- Komen negatif
- SFH Â bukan libur
- Tinggal di kost-kost-an
- Single mom
- Ikan cupang vs hamster
- Etika milienial
- Lansia
- Panjang umur antara berkat dan kutuk
- OMB vs OKB
- Merelakan duit yang angus di airlines
- Berdiam selama 14 hari
- Virus yang bikin parno
- Pelit di masa sulit
- Anak rantau
- Bujang lapuk
- Bos kampret
Meskipun ada daftar ide tulisan, tidak semuanya saya pakai. Teringat salah satu saran dari salah satu pengajar pada pelatihan menulis yang saya ikuti. Beliau mengatakan, menulislah apa yang ingin kamu ceritakan. Bebas. Karena, banyak hal bisa jadi inspirasi menulis.Â
Tentunya, dalam proses  belajar menulis,  saya pun belajar menerima saran untuk perbaikan tulisan saya.Â
Sejatinya, bagi saya, menulis bukan sekedar mewujudkan mimpi, tapi juga terapi diri memulihkan kepenatan dalam pikiran. Seolah semua keruwetan dalam pikiran dapat diurai ketika saya menulis.
Zaman sekarang, menerbitkan tulisan dalam bentuk buku dapat diwujudkan dengan mudah. Beberapa penerbit kadang mengadakan kelas penulisan yang kemudian membukukan semua hasil akhir latihan dalam sebuah buku antologi. Â Impian jadi kenyataan!Â
Hanya saja, memang diperlukan kerendahan hati untuk menerima perbaikan, ketekunan melatih diri, dan kebesaran jiwa untuk terus belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H