Beberapa hari belakangan ini, banyak masyarakat yang mengeluh tentang kenaikan tarif dasar listrik. Hal ini bisa dilihat melalui beberapa postingan di beberapa sosial media. Masyarakat mengeluh tentang tarif yang tiap bulan kian meningkat dan kiat mencekik dompet mereka. Sebagai sumber energi yang paling fleksibel listrik jelas sangat dibutuhkan, khususnya untuk beberapa industri kecil, mereka sangat membutuhkan si lambang petir ini dan jika TDL terus naik, mereka mau tak mau harus menyiasatinya dengan berbagai cara atau jika tidak usaha mereka kemungkinan besar akan bangkrut.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah kenaikan ini benar-benar sebuah harga yang dinaikan? Atau sebuah harga yang sebelumnya terkena diskon kemudian telah dicabut label diskonnya?
Melalui web resminya listrik.org PLN menjelasakan kenaikan ini adalah dampak dari pencabutan subsidi yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah. Ada rincian yang coba PLN jelaskan di situ. Jenis pemakain yang yang mendapatkan subsidi dan yang tidak, tingkat kenaikan, jenis golongan beserta tarifnya. Dan informasi yang sepertinya sangat menghentak kepala yaitu per juli 2017 nanti, pemerintah akan menerapkan TDL dengan tariff adjusment atau tarif yang menyesuaikan tiga faktor yaitu perubahan nilai tukar rupiah, harga bahan bakar, dan inflasi bulanan.
Berikut rincian sederhana tentang kenaikan TDL per januari 2017:
Untuk daya 900 VA periode januari-februari naik 30% menjadi Rp 791/Kwh, kemudian tarif naik lagi 30% dibulan maret-april, kemudian naik 30% dibulan mei-juni sebesar Rp 1.352/Kwh. Terkahir dibulan Juli kenaikan akan mengikuti tiga hal yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Sebagian besar masyrakat sudah merasakan dampak kenaikan ini, daya 900 VA adalah adalah daya yang rata-rata digunakan oleh masyarakat luas dengan kenikmatan subsidi di dalamnya, sampai Desember 2016, tercatat pengguna sebanyak 23 juta. PLN sendiri beranggapan hanya ada 4,1 juta pengguna saja yang sebenarnya betul-betul berhak mendapatkan subsidi tersebut.
Lalu apakah ini sesuatu yang tepat atau hanya sebuah keputusan yang sepihak tanpa melihat faktor-faktor lainnya?
Sampai di sini apakah detak jantung masih stabil atau makin meningkat karena merasa jengkel. Turunkan emosi dulu, atur nafas. Jika sudah, mari kita lihat secara menyeluruh tentang kenaikan ini.
Kenaikan TDL yang kita rasakan saat ini sebenarnya bukan tanpa alasan yang jelas. Kenaikannnya menang sudah benar-benar jelas dan itu menjadi salah satu sumber berita yang aromanya menggoda sekali untuk portal berita online medioker dan yang masiv sekalipun, dengan bumbu tambahan mereka menjadiakannya sesuatu yang membuat kita hanya melihat satu arah saja seperti kuda delman, tanpa mau menyelam lebih dalam.
Sebelumnya fakta mencacat bahwa ada 34 proyek besar pembangkit listrik yang sempat mangkrak terhenti proses pembangunannya. Kalau boleh melihat catatan fakta lagi, ini adalah peninggalan pemerintahan sebelumnya, namun menyalahkan masa lalu tentu bukan sifat yang arif.
Kenaikan TDL atau lebih tepatnya pencabutan subsidi yang dilakukan saat ini adalah upaya untuk pemerataan listrik di seluruh wilayah indonesia. Khususnya luar Jawa yang untuk menerangi gelap saja mereka masih menggunakan apa yang digunakan manusia jaman batu : api.
Dari total 35.000 MW, pemerintah bersama PLN berencana akan membangun 109 pembangkit masing-masing terdiri 35 proyek oleh PLN dengan total kapasitas 10.681 MW dan 74 proyek oleh swasta/Independent Power Producer(IPP) dengan total kapasitas 25.904 MW, setelah sebelumnya di tahun 2015 PLN mendatangani kontrak pembangkit sebesar 10.000 MW. "Target 35 ribu MW bukan target main-main, itu realistis. Jadi harus dicapai dengan kerja keras," tandas Joko Widodo. "Listrik yang cukup, adalah kunci bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," imbuhnya.
Kemudian pada Jumat (17/3/2017) Pt. PLN telah meneken nota kesepahaman untuk penggarapan 16 proyek, yang merupakan bagian dari program 35.000 MW, Rencananya proyek-proyek itu mulai dikerjakan tahun ini dan ditargetkan selesai pada 2018.
"Pengerjaan proyek ini adalah komitmen pemerintah untuk merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35.000 MW dalam kurun waktu 5 tahun (2014-2019) yang telah dikukuhkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019," tutur Sofyan Basir Direktur utama PLN.
Seperti saat kita memasang lampu atap, pemerintah sepertinya memang tak main-main tentang listrik. Mereka sadar kebutuhan listrik di indonesia memang benar-benar belum merata. Lalu, mengapa penggenjotan pembangunan listrik sepertinya baru dilakukan satu-dua tahun belakangan ini, kenapa tidak dilakukan lima atau enam tahun yang lalu? Bukankah kalau dilakukan secara beratahap mungkin imbas kenaikan TDL bisa diminimalisir atau gampangnya semua pihak bisa bahagia. Tapi, menyalahkan masa lalu tentu bukan sifat seorang jatmika seperti yang dikatakan sebelumnya.
Sebagai masyarakat, tentunya sudah seharusnya kita sadar apa yang telah dilakukan pemerintah adalah sebuah keputusan dari orang-orang yang terdidik mengenai pekerjaan yang mereka geluti. Menuding semua orang di pemerintahan adalah hanya berisikan orang-orang tolol adalah sebuah sifat yang lebih pandir dari menyalahkan masa lalu. Kita bersyukur dengan adanya listrik yang sudah berkelana jauh hinggga plosok, saudara kita yang sebelumnya susah untuk membaca buku kini bisa dengan terang membedakan huruf a dan d, dapat menikamati saluran tv untuk sarana hiburan dan edukasi, misalnya. Sebagai saudara yang baik tentu kita harus meredam emosi atau mengalihkan energi emosi kita untuk berbagi kepada sesama.
Untuk pemerintah TDL yang naik ini adalah sebuah masalah baru yang mulai tumbuh di kepala masing-masing masyarakat, pemerintah harus menghilangkan atau setidaknya mengurangi beban-beban yang dialami masyarakat luas, menjamin harga sembako murah misalnya, harga sayur-mayur dan daging-dagingan bisa stabil dan kebijakan yang membantu masyarakat agar bisa mengurangi raut cemberut di wajah mereka.
Terakhir, sebagai masyarakat yang mengaku sudah modern kita juga mestinya berfikir dengan lebih dalam, melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Sebuah gedung mungkin akan hanya seperti kontrakan kosong jika hanya dilihat dari sisi atas saja. Tapi, bagaimana gedung itu berdiri, fungsi dan tujuannya, isi dari gedung itu sendiri, jenis material yang dipakai dsb, adalah sebuah hal yang harus kita lihat juga. Tak seorangpun mau disebut kuda delman, dan sudah semestinya manusia berpikir dan memaknai sesuatu dalam berbagai sudut pandang. Karena, begitulah seharusnya cara berpikir manusia.
sumber data: himpunan riset penulis.
sumber gambar: google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H