Dari total 35.000 MW, pemerintah bersama PLN berencana akan membangun 109 pembangkit masing-masing terdiri 35 proyek oleh PLN dengan total kapasitas 10.681 MW dan 74 proyek oleh swasta/Independent Power Producer(IPP) dengan total kapasitas 25.904 MW, setelah sebelumnya di tahun 2015 PLN mendatangani kontrak pembangkit sebesar 10.000 MW. "Target 35 ribu MW bukan target main-main, itu realistis. Jadi harus dicapai dengan kerja keras," tandas Joko Widodo. "Listrik yang cukup, adalah kunci bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," imbuhnya.
Kemudian pada Jumat (17/3/2017) Pt. PLN telah meneken nota kesepahaman untuk penggarapan 16 proyek, yang merupakan bagian dari program 35.000 MW, Rencananya proyek-proyek itu mulai dikerjakan tahun ini dan ditargetkan selesai pada 2018.
"Pengerjaan proyek ini adalah komitmen pemerintah untuk merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35.000 MW dalam kurun waktu 5 tahun (2014-2019) yang telah dikukuhkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019," tutur Sofyan Basir Direktur utama PLN.
Seperti saat kita memasang lampu atap, pemerintah sepertinya memang tak main-main tentang listrik. Mereka sadar kebutuhan listrik di indonesia memang benar-benar belum merata. Lalu, mengapa penggenjotan pembangunan listrik sepertinya baru dilakukan satu-dua tahun belakangan ini, kenapa tidak dilakukan lima atau enam tahun yang lalu? Bukankah kalau dilakukan secara beratahap mungkin imbas kenaikan TDL bisa diminimalisir atau gampangnya semua pihak bisa bahagia. Tapi, menyalahkan masa lalu tentu bukan sifat seorang jatmika seperti yang dikatakan sebelumnya.
Sebagai masyarakat, tentunya sudah seharusnya kita sadar apa yang telah dilakukan pemerintah adalah sebuah keputusan dari orang-orang yang terdidik mengenai pekerjaan yang mereka geluti. Menuding semua orang di pemerintahan adalah hanya berisikan orang-orang tolol adalah sebuah sifat yang lebih pandir dari menyalahkan masa lalu. Kita bersyukur dengan adanya listrik yang sudah berkelana jauh hinggga plosok, saudara kita yang sebelumnya susah untuk membaca buku kini bisa dengan terang membedakan huruf a dan d, dapat menikamati saluran tv untuk sarana hiburan dan edukasi, misalnya. Sebagai saudara yang baik tentu kita harus meredam emosi atau mengalihkan energi emosi kita untuk berbagi kepada sesama.
Untuk pemerintah TDL yang naik ini adalah sebuah masalah baru yang mulai tumbuh di kepala masing-masing masyarakat, pemerintah harus menghilangkan atau setidaknya mengurangi beban-beban yang dialami masyarakat luas, menjamin harga sembako murah misalnya, harga sayur-mayur dan daging-dagingan bisa stabil dan kebijakan yang membantu masyarakat agar bisa mengurangi raut cemberut di wajah mereka.
Terakhir, sebagai masyarakat yang mengaku sudah modern kita juga mestinya berfikir dengan lebih dalam, melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Sebuah gedung mungkin akan hanya seperti kontrakan kosong jika hanya dilihat dari sisi atas saja. Tapi, bagaimana gedung itu berdiri, fungsi dan tujuannya, isi dari gedung itu sendiri, jenis material yang dipakai dsb, adalah sebuah hal yang harus kita lihat juga. Tak seorangpun mau disebut kuda delman, dan sudah semestinya manusia berpikir dan memaknai sesuatu dalam berbagai sudut pandang. Karena, begitulah seharusnya cara berpikir manusia.
sumber data: himpunan riset penulis.
sumber gambar: google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H