Puisi Esai Eko Irawan #4 : Ramai Yang Sepi
01
Mau tidak mau. Ditolak atau tidak. Baik Butuh atau tidak. Sekarang ada, sekarang terjadi. Dari balita hingga aki aki. Semua sibuk. Semua ramai.
Dari pagi, hingga menjelang pagi lagi. Hadir digenggam. Dari yang kerja, sekolah, kuliah hingga pengangguran. Pria wanita, tua muda Sangat tergantung. Tak bisa dipisah. Seperti Soulmate sejati. Dipisah sejenak saja, jadi terasing.
02
Media sosial jadi panggung sosialisasi. Meski dinilai tetangga, dianggap jarang komunikasi. Hidup sendiri sendiri. Seolah anti sosial. Memang ada plus minus. Hidup di masyarakat itu dunia nyata, media sosial itu dunia Maya.
Penting mana, sama sama penting. Harus bijak menggunakan. Pergeseran cara komunikasi, budaya baru jaman terkini. Ditolak terasing, tapi ditolak butuh. Terlalu condong sebelah, juga tak adil. Pilih kasih malah tergusur jaman.
Media sosial itu alternatif. Manusia tetap butuh manusia. Butuh bicara, namanya curhat. Butuh didengar, diapresiasi. Butuh bertanya, butuh aktualisasi diri. Quo Vadis hidup. Berbagi untuk tumbuh bersama.
Tak kenal maka tak sayang. Bagaimana bisa sayang, jika kenal saja tidak. Tanpa komunikasi, yang tampak adalah visual belaka. Berlebih dianggap pamer. Diam dianggap tak berperan. Nuruti omongan orang, bisa sinting. Bukan maju, tapi malah sibuk mengurusi penilaian orang.
03
Dunia nyata dunia manusia. Berproses jadi makhluk sosial yang berbudaya. Mau tak mau butuh orang lain. Anti sosial membuat dikucilkan. Dari lahir sampai mati butuh manusia lainnya. Walau kaya raya, saat mati tak bisa gali kubur sendiri. Tak mampu jalan sendiri ke liang lahat.
Secanggih smartphone mu tetap benda mati. Hanya alat. Hanya media. Membantu aktualisasi diri. Tapi ingat itu bukan mengganti fungsi sosial, bernama medsos, media sosial.
Dimedsos bisa jadi sangat riuh. Sangat terkenal. Terus update dan aktual. Teman datang dari seluruh penjuru bumi. Serasa nyata, serasa ramai. Walau tak kenal, seolah akrab. Seperti ada nyata. Walau semua itu dunia Maya. Ada tapi tak ada.