Puisi : "Hitam Putih (Seri Preman Sakral #5)"
Belajar. Terus Belajar. Karena belajar, tak kenal usia. Karena belajar itu, untuk mengenali makna.
Jika hitam bukan berarti Gelap. Jika putih bukan berarti terang. Jika warna warni bukan berarti pelangi. Lalu apa makna dari makna.
Karena Suwung tanpa warna. Karena suwung bukan berarti hampa. Mudahnya dicap hitam. Disangkanya dicap putih. Berwarnapun ilusi mata. Yang menipu. Yang palsu.
Tahu tapi tak tahu. Paham tapi tak paham. Untuk apa pintar, tapi sok pintar. Mengajari. Menasehati. Seolah cap hitam itu tak berguna. Memandang preman sebelah mata. Dianggap sampah tiada guna.
Sungguh menabur garam di laut. Agar asin. Silahkan cari panggung. Tapi tak perlu menghitamkan yang sudah putih. Preman dianggap hitam. Saat sakral, preman akan jadi putih. Tapi harus Sirri. Tersembunyi. Rahasia. Karena sakralnya preman, yang menilai bukan manusia.
Tapi jangan pura pura putih, agar hitammu tersembunyi. Sungguh apa guna berpura putih, tapi sembunyikan hitam. Hanya dipuji oleh manusia.
Hitam putih. Tampak Dimata. Tapi rugi, jika tak paham makna. Simpan sendiri jika itu mustika, tak perlu diumbar agar orang lain memuja.
Karena yang lain, punya panggungnya sendiri. Punya jalan takdirnya yang hakiki. Â Menginspirasi bolehlah wajib, tapi jangan menggarami lautan. Apalagi memperalat untuk tujuan gelap.
Hitam putih. Jadilah pilihan sederhana. Itu pilihan. Biarkan Sukma ini terus belajar. Memaknai warna. Jangan anggap preman pasti hitam, karena sakral belum tentu putih.