Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Diary

Monolog Eko Irawan: "Narasi Merawat Idealisme"

21 Februari 2023   19:14 Diperbarui: 21 Februari 2023   19:16 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri seri monolog Eko Irawan

Monolog Eko Irawan
"Narasi Merawat Idealisme"

Hujan memang tak merata. Barusan menembus derasnya. Tapi perjalanan harus terus dilakukan. Karena berhenti itu, buang waktu percuma. Jika menunggu, terus menunggu apa? Menunggu siapa? Karena diam, dicaci maki. Bergerak dirasani.

Benar, ternyata memang tak merata. Disana terang benderang. Tak ada bekas hujan. Dan aku dilihat orang orang, karena basah kuyup dengan jas hujan. Tadi kepikiran berteduh saja, tapi bismillah, melangkah pasti ada Berkah.

Hidup juga seperti cuaca. Prediksi perlu, tapi jika hanya sibuk prediksi ke prediksi tapi tidak melakukan apa apa, yang didapat hanya omong kosong. Jadi ingat jaman togel. Orang orang berjudi, sibuk meramal angka yang akan diundi. Prediksi katanya jitu, tapi saat diumumkan angka yang keluar, tebakannya Zonk. Iya jika tak pakai uang dan waktu, ini judi pakai uang, jika kalah ya habis. Dan yang dapat jutaan itu, ternyata hanya mitos. Mana tunjuk jari yang kaya dari Judi?

Tapi hidup bukan lahan perjudian. Bukan lahan prediksi. Terlena dinina bobo malas, akan dihempas waktu. Yang lain sudah eksplorasi langit, kita masih sibuk mengurusi yang tak penting.

Apa itu yang tak penting? Banyak. Bisa berjilid jilid jika ditulis jadi buku tentang cara hidup dengan omong kosong dan saat tua nanti dapat jaminan menyesal.  kok dulu tidak begini dan kok dulu tidak begitu, endingnya.... Pikir sendiri. Sudah Tak ibadah pada Tuhan, hidup tak berguna dan kelak mati sia sia. Terus apa yang dimaksud hidup?

Warung Pojok Tebo Selatan. Semangkuk mie instan pedas dengan taburan Lombok dan telur ayam rebus. Minumnya  minuman energi. Aku sudah jahat dengan menyiksa diri, lupa makan untuk jaga kesehatan. Bukan sedang hidup hemat, tapi memang tak punya cuan. Kali inipun ngebon lagi, karena tubuh minta disuapi makanan. Tubuh berontak tak bisa diajak kompromi. Sudah lelah, jika sakit nanti, tambah perkara.

Iya ini sudah kelewatan, siksa tubuh diri sendiri. Dipaksa kerja romusha tanpa makan tapi endingnya tetap tak dapat cuan untuk beli makan. Parah dalam kondisi kurang makan, kurang tidur tapi harus kerja keras. Iya jika nanti dibayar Gedhe. Pulang bisa kipas kipas. Tapi ini apa.

Kenyang, lalu menikmati segarnya minuman energi dicampur es. Kali ini tak pesan kopi. Perlu variasi. Bosan juga hidup dijejali mimpi mimpi. Mimpi juga perlu, tapi hidup penuh mimpi kapan jadi nyata. Karena hidup ini nyata, butuh tindakan nyata. Mimpi itu motivasi, tapi hidup terus mimpi dan tidak bangun bangun dari tidur, lalu kapan berusaha mewujudkan mimpi mimpinya?

Jujur ini tak ilmiah. Tak diajarkan diperguruan tinggi. Tak ada karya profesor yang membahas keadaan ini. Mungkin aku yang belum tahu, atau belum baca bukunya. Tapi inilah narasi orang orang yang salah jalan, dan bahkan tak tahu jalan. Sebuah narasi yang tak penting, tapi dialami pribadi pribadi manusia. Mungkin malu diceritakan, tapi terjadi nyata dikehidupan. Efeknya bikin penderitaan. Nyata ada, tapi dianggap tak penting. Malah jadi ngibah orang sekampung.

Sebenarnya aku sedang apa? Semua punya dunianya sendiri sendiri. Dan ditengah kegalauan ini, pasti ada narasi merawat idealisme. Sebuah perjuangan abstrak yang orang lain tidak paham. Dikiranya sudah tidak waras. Tapi demi membuktikan diri, idealisme itu perlu dirawat.

Semua ingin lebih baik. Ingin bahagia. Tapi ternyata kata bahagia itu tidak ada dalam kamus orang Jawa. Bahagia berasal dari kata Happy. Hanya urusan materi saja. Punya apa. Punya ini itu dalam khasanah harta benda. Sukses hanya urusan harta. Faktor didalamnya, apakah bahagia. Jiwanya apa sejahtera.

Orang Jawa mengenal tujuan hidup sebagai ayem tentrem. Sebuah keadaan yang seimbang antara fisik dan non fisik. Ayem tentrem bukan malas, tapi sebuah tujuan yang diperjuangkan. Usaha. Soal hasil, disyukuri dan dievaluasi. Sabar dan syukur jadi ukuran. Ikhlas tanpa kata ikhlas.

Ngomong apa ini. Baca jika ingin paham narasi merawat idealisme ini. Jujur aku bukan tokoh berpendidikan tinggi yang jadi titik tolak panutan. Apa manusia dihormati dalam kelas kasta. Inspirasi bisa diketemukan siapapun, bahkan dari anjing. Dalam gempa Turki baru baru ini, ada anjing pelacak yang ditugaskan menemukan korban yang tertimbun gempa. Puluhan nyawa manusia tertolong dan bisa diselamatkan. Hingga akhirnya anjing itu akhirnya gugur tertimpa reruntuhan. Anjingpun bisa jadi pahlawan, dan berjasa menolong puluhan nyawa tertolong dari bencana. Itu anjing, kita manusia. Sudahkah kita punya jasa untuk manusia lain dan seisi alam semesta ini?

Narasi merawat idealisme. Diperjuangkan. Mungkin sekarang perjuanganku tak menghasilkan cuan instan. Hingga untuk merawat tubuh dengan makan saja, harus utang di warung. Tubuhpun jadi kurus demi merawat idealisme. Salah? Iya menurut orang yang belum merasakan susahnya meraih ayem tentrem. Tak sefrekuensi, mana bisa sinergi?

Pojok Tebo Selatan, 21 Februari 2023
Ditulis oleh Eko Rody Irawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun