Mendongkel Preman Menatap Sakral
Teruslah bergerak, Seperti awan berarak. Tak terhenti dalam petir bergejolak.
Dalam kelam awan penuh badai.
Tapi jadi hujan, berkah dinanti kesuburan bumi.
Hanya kulit terbranding preman. Hanya luar terlihat garang dan sangar. Apa yang ditakutkan? Jangan nilai orang dari penampilannya saja.
Mendongkel preman, menatap sakral. Saat salah itu manusia. Dan benar hanya karena Allah Yang Kuasa. Sempatkan sejenak menaruh Fikiran, Fungsikan kemurnian akal. Lampah Hening. Merenung. Tafakur. Munajat...
Apa artinya baju Fana. Diajeni dipanggung manusia. Dicari hingga lupa umur dan waktu terlena. Aku tak pusing dengan kata orang. Hinaan itu, seperti kaca. Yang mengucap, terpantul disana.
Tak manfaat mengadili orang lain. Itu bukan maqom mu. Siapa yang angkat dirimu, hingga mulutmu setajam silet? Sungguh terlalu, merasa benar tapi lupa tak pernah menakar nalar.
Mendongkel preman, menatap sakral. Tak berjubah putih, tak mengaku paling bersih. Itu rahasiaku, tak perlu aku posting di medsos. Tersimpan di sini, dalam Sukma.
Rahasia sejati. Tersembunyi bukan sembunyi. Jauhkan diri dari sombong, pamer dan iri dengki. Aku berusaha baik, tapi tak ingin dipuji baik. Karena juri kehidupan bukan mulut ghibahmu.
De Huize Dongkel, 17 Februari 2023
Ditulis oleh Eko Irawan
Untuk Seri Preman Sakral 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H