Monolog : "Topo Ngrame"
Aku terdiam dipojok. Mereka lagi sibuk Bakan jagung, sosis dan ikan nila merah. Akupun bantu kipasi untuk menyalakan arang. Aroma harum semerbak.
Bercanda. Cerita. Menanti gemerlap pergantian tahun. Mereka semua masih muda. Ternyata aku yang paling tua disitu. Dibarak nila Slilir. Tempat 3 tahun belakangan. Menemukan lagi semangat hidup.
Hidup harus terus hidup. Harus dilanjutkan. Tak terasa 1000 hari lebih. Aku mondar mandir disitu. Jadi apa. Jadi siapa. Tidak jadi apa apa.
Tanpa mereka. Yang selalu mencari. Tanya kabarku. Mungkin aku berhalangan hadir. Pasti dicari. Dan dicari. Kemana.
Kadang aku tidak sambung dengan mereka. Jarak usia. Masalah hidup. Pengalaman. Semua beda. Semua jauh. Tapi merekalah keluarga baruku. Menerimaku, saat aku bukan siapa siapa.
Topo Ngrame. Mungkin itu kata yang mensketsakan hadirku. Disitulah kantong pelarianku. Lari agar aku tenang. Bisa mikir lagi. Bisa jadi diri sendiri.
Bertumpuk. Sakit dan putus asa. Semua jalan buntu. Frekuensi sedih mendera. Dibicakan, dicurhatkan atau sambat... Ah, pasti tak bisa jawab. Duniaku beda dengan dunia mereka.
Aku sudah kehilangan semuanya. Bahkan harapanku saja, sudah hilang. Aku sedang menipu diri. Pura pura bahagia. Tertawa ceria dengan mereka.
Tapi aku jangan kehilangan diriku sendiri. Jika hilang, aku bisa gila. Jati diri sirna.
Topo Ngrame. Tapi itulah jalan semesta. Rencana Illahi. Aku tak akan lawan. Ikuti saja. Mengalir. Bukan tidak berprinsip. Tapi aku butuh ruang waktu. Untuk bangkit. Untuk lahir lagi.