Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Panji Sinau Panji

26 Desember 2022   15:17 Diperbarui: 26 Desember 2022   16:26 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu itu, aku sangat tergesa gesa pergi ke candi Jajaghu. Jam sudah menunjukan pukul 10.25. aku pasti terlambat. Di ujung jalan Wisnuwardana, tampak megah candi Jajaghu. 

Di kaki candi sudah berkumpul membentuk lingkaran para audience yang Sabtu itu, tanggal 24 Desember 2022 tengah belajar bersama tentang Panji dan citra diri wanita Jawa Kuno. Acara ini dimaksudkan untuk memperingati Hari ibu dengan cara belajar relief di candi Jajaghu dilanjutkan ke museum Panji setelahnya nanti.

Jajaghu atau lebih di kenal sebagai Candi Jago berada di dusun Jago Desa Tumpang Kabupaten Malang. 

Dokpri Eko Irawan
Dokpri Eko Irawan

Bangga itu diawali dari tahu sejarahnya. Bisa jadi Tiap hari lewat disana, tapi jika tidak mengerti bangunan apa itu, kan rasanya aneh. Orang manca negara saja bela belain datang untuk mengagumi karya nenek moyang bangsa ini, kenapa yang lahir di negeri ini kok malah tidak tahu. Dan ternyata malah banyak yang tidak paham sejarah tentang candi Jago. 

Saya datang pertama kali ke Candi Jago pada tahun 1986, saat study wisata saat kelas 6 Sekolah Dasar. 

Candi Jago atau yang dikenal dengan sebagai Candi Tumpang disebut-sebut dalam Pararaton dan Nagarakrtagama sebagai candi pendharmaan Raja Wisnuwarddhana (Nagarakartagama) atau Ranggawuni (Pararaton) atau Narrarya Seminingrat (Prasasti Mula-Malurung).

Fungsi Candi Jago adalah pendharmaan Raja Wisnuwarddhana sebagai Buddha selain di Weleri sebagai Siwa. Informasi ini kita dapatkan dari pemberitaan kitab Pararaton dan Nagarakrtagama. 

Pada Kitab Pararaton disebutkan, "Panjenenganira Cri Ranggawuni ratu taun 14, moktanira 1194, dhinarma sira ring Jajaghu" (Soekmono, 1993). Sedangkan dalam Nagakrtagama disebutkan "Caka 1190 bhatara wisnu mulih ing curalaya pjah dhinarma ta sire Waleri Ciwawimbha len Sugatawimbha" (Pigeaud, 1962).

Candi pendharmaan adalah candi yang dibangun sebagai monumen atau peringatan bagi raja yang sudah mangkat dan dibuatkan arca perwujudan sebagaimana dewa yang disembah. Jadi candi bukan makam namun pendharmaan atau monumen peringatan raja atau keluarga raja yang telah mangkat.

Candi ini dibuat oleh penerus Wisnuwarddhana, yaitu Raja Kertanagara setelah upacara sraddha atau peringatan 12 tahun setelah kematian Wisnuwarddhana. Namun berdasarkan Kitab Nagarakrtagama direnovasi oleh Adityawarman pada masa pemerintahan Tribhuanatunggadewi masa Majapahit (Pigeaud, 1962).

Nama Tumpang berasal dari bentuk struktur bangunan candi ini yang berundak, bertumpuk dan bertumpang. Yaitu Susunan batu candi yang bertumpuk dan menumpang dari pondasi ke atas dan dahulunya ada semacam atap,  sehingga nama desa dan kecamatan disekitarnya terinspirasi dari struktur ini. Dalam ilmu gotak gatuk matuk, Tumpang dimaknai Watu numpang. 

Adakah batu yang dianggap sebagai watu numpang ini berada? Konon katanya memang ada di aliran sungai lajing dibawah jembatan ke arah dusun Kebonsari Tumpang kearah selatan. Namun sekarang batu dimaksud sudah tidak ada dan hanyut terbawa banjir besar. 

Monumen replika watu numpang sendiri pernah dibuat di depan kantor Kecamatan Tumpang yang lama, tepatnya diseberang Masjid Jami Al Huriyah Tumpang, namun sekarang sudah dibongkar. Dengan dibongkarnya monumen watu numpang ini seolah memberi jawaban bahwa asal usul kata tumpang bukan dari kata watu numpang, tapi dari struktur bentuk bangunan candi Jajaghu ini. Menurut Bapak Dwi Cahyono menjelaskan sbb :
relief cerita Parthayajna pada teras II sisi belakang, yang menggambarkan tentang suatu kompleks arsitektur berupa "wanasrama (asrama di dalam hutan)" dari suatu mandala atau karsyan, yang pada relief tertelaah merupakan bangunan khusus untuk para pertapa wanita (kili, tapasi, atau tapini). Partha (nama muda Arjuna) dan dua punakawan yang mengiringinya sempat singgah dan bermalam ketika dalam perjalannya untuk bertapa di Gunung Indrakila. 

Uniknya, secara arsitektural bentuk atap dari bangunan yang berada di titik sentrum pada kompleks wanasrama itu adalah "meru (sebutan kuno terhadap Gunung Himalaya" atau dinamai  juga dengan "tumpang". Atap tumpang dibuat bersusun, yang semakin keatas makin mengecil, dan pada umumnya berjumlah gasal (ganjil, yaitu 3 s.d. 11 susun). Bentuk atap  candi yang demikian ini banyak hadir pada bangunan-bangunan suci (baca "candi") Hindu ataupun.Buddhis dari era Majapahit (abad XiV-XVI Masehi).

Pada bangunan tersebut bahkan dibuat bersusun sebelas, yang pada bangunan suci pura di Bali hanya boleh dikenakan untuk pura utama kategori "kahyangan jagad". Bentuk atap pada arsitektur ini sebagai gambaran mengenai bentuk atap dari Candi Jajaghu -- yang kini telah tiada tanpa sisa, yang bisa jadi konon dibuat dari bahan kayu dan ijuk sehingga telah raib dimakan usia. 

Jika benar atap Candi Jajaghu bebentuk meru susun sebelas, berarti meupakan candi utama. Hal ini wajar, mengingat Candi Jajaghu adalah salah satu pendharmman bagi arwah raja Singhasari bernama Wisnuwarddhana (Sminingrat) sebagai Sogata dengan arca perwujudan berbentuk Amoghapasa -- sebuah pendharmmannya yang lain adalah Candi Wleri (Mleri) pada lembah sisi selatan Gunung Pegat di Srengat Kabupaten Blitar.

Toponimi (nama) desa dan sekaligus kecamatan padamana candi ini berada adalah "Tumpang",  yang sangat boleh jadi diambil dari sebutan untuk atap Candi Jago yang berbentuk tumpang tersebut. 

Panji Sinau Panji

Tergopoh gopoh saya mendekati candi Jajaghu. Ada yang unik saat saya bergabung dengan para audience, karena Saya bertemu Panji lagi khusuk menerima pembahasan masalah Budaya Panji. Ada Panji Sinau Panji.

Yang saya maksud Panji disini adalah Sam Joko Tebon, salah satu pemain Panji Laras Svara. Grup musik ini berhasil membahasakan budaya Panji dalam bentuk musik. Dan musiknya sangat unik dan menarik minat untuk didengarkan. Sang Panji sempat diundang ketengah Forum untuk menceritakan Panji dalam perspektif Panji Laras Svara.

Panji Sinau Panji, sudah selayaknya mendapat apresiasi. Saudara Agus Wayan, Joko Tebon, Mbak Siti, Iwan Dongkel dan semua anggota Panji Laras Svara menurut Bapak M Dwi Cahyono, membabar tentang Panji Laras Svara sbb: "salah satu diantara beragam kepiawaian yang dimiliki oleh Panji berkenaan dengan "seni bebunyian (seni suara)". 0leh karena itu, cukuplah alasan untuk menyematkan sebutan "suara (bahasa Jawa Lama "swara", dan "svara" dalam bahasa Sanskreta)" pada nama dirinya. 

Suara di dalam konteks ini adalah suara yang ditata (diistilahi dengan "tata swara" atau "titi swara"), atau sua- ra suara yang diharmonikan (laras swara atau titi laras), dan sekaligus suara yang estetikkan (seni swara). 

Atas dasar itu, berbicara tentang Panji dalam kaitan dengan seni suara, termasuk di dalamnya seni musik, terhadap diri Panji bisa disematkan unsur sebutan yang tepat dan khas, yakni "larassvara", hingga menjadi "Panji Laras svara". 

Bahwa Panji merupakan sesosok yang digambarkan sebagai memiliki kepiawaian dalam bidang musika terdukung baik oleh
(a) data tekstual maupun
(b) data artefaktual. 

Di dalam sumber data tekstual yang berupa susastra lama, Panji acap dikisahkan sebagai "musisi", yang mahir memainkan ragam instrumen musik (waditra), utamanya waditra jenis xylophone yang berupa salukat (gambang kayu atau bambu). 

Selain itu, Panji juga disebut-sebut sebagai piawai dalam memainkan waditra jenis crodophone berupa wina. Sesungguhnya, Panji bukan hanya cuma mahir dalam memainkan waditra-waditra itu (playing musical), namun lebih daripada itu Panji mahir pula dalam melaras bunyi musikal (manglaras) kepada waditra, khususnya waditra salukat.   

Dalam sumberdata artefaktual, jejak infomasi tentang Panji dalam hubungannya dengan seni musik kita dapati pada relief-relief candi. Salah satu panil relief cerita yang dipahatkan di Pen- dapa Teras II kompleks Candi Penataran serta yang baru-baru ini ditemukan di Candi Gambar Wetan menggambarkan Panji dan kekasihnya (Skartaji, alias Candra kirana) tengah asyik masyik berduet memainkan salukat. 

Relief lain mengenai Panji bermain musik juga didapati  pada Punden Berundak Kendalisodo di lereng  atas Gunung Penanggungan (Pawitra), yang menggambarkan Panji tengah memetik dawai wina sembari memangku Sang Kekasih di tepi Telaga. 

Suatu penggambaran mengenai fungsi musika dalam konteks asmara dan bahkan sebagai "penghantar asanggama". Panji di dalam sumber data artfaktual ini, sungguh tampil sebagai musisi yang handal.

Pendek kata, Panji adalah "sang musisi". Panji adalah pula sang pelaras harmoni suara musika. Atas dasar itu, maka amat beralasan untuk menambahkan perkataan "arassvara" kepada sosok seniman era Majapahit ini dengan unsur nama "laras svara" menjadi : "Panji Laras svara".
Beberapa Foto Bukti Panji terdapat dalam Relief Candi sbb :

Dokpri FB M. Dwi Cahyono
Dokpri FB M. Dwi Cahyono

Dokpri FB M. Dwi Cahyono
Dokpri FB M. Dwi Cahyono

Dokpri FB M. Dwi Cahyono
Dokpri FB M. Dwi Cahyono

Dokpri FB M. Dwi Cahyono
Dokpri FB M. Dwi Cahyono

Bagaimana penampilan Panji Laras Svara dapat kita saksikan di link berikut :
https://youtu.be/8xf-jBISb0U

Karena Panji Sinau Panji, yaitu Panji sebagai Pemusik dalam hal ini sosoknya adalah Panji Laras Svara sudah selayaknya diapresiasi karena turut serta mengangkat budaya Panji menjadi Panji Milenial. Selamat mengikuti perjalanan Panji Laras Svara pada karya selanjutnya.

Mesem Cafe, 24 Desember 2022
Ditulis oleh Eko Rody Irawan

Catatan :
Sumber diolah dari Penjelasan Arkeolog dan Pembakti Budaya, Bapak M. Dwi Cahyono dan penjelasan dari Panji Laras Svara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun