Kompasianival ku sendiri.
Kompasiana itu ibarat rumah. Tempat berkarya. Bagaimana sulitnya kehabisan paket data, tak bisa menulis. Mau nunut WiFi, tapi nunut tetring siapa. Banyak lokasi free WiFi, tapi suasa tempatnya tidak bisa mendukung cara kerja menulis. Tak punya paket data, serasa terusir dari rumah. Jadi demi paket data, tentu harus rela mengorbankan kepentingan lain.
Ajang Kompasianival itu ibarat pesta. Sudah sudah berhari hari, bertahun tahun, sekali waktu perlu healing. Perlu hiburan. Saat panggung itu tersedia, alasannya klasik. Tak punya duit.Â
Namun kesedihan ini bukan potret buram. Berdamai saja dengan segala keterbatasan yang nyata terjadi. Sebagai kompasianer, kelana masa depan harus tercipta dalam wujud Kompasianival ku sendiri. Kemlecer memang terjadi, tapi apa daya jika dipaksa, sama saja berbuat kebodohan.
Lagian nyata tak ada, untuk apa pamer kesombongan, pura pura digdaya, jika setelahnya menderita. Uang memang bukan tujuan utama. Tapi tanpa uang, saat bensin motormu habis dijalan, apakah ada SPBU yang bersedia memberikan bensin gratis?Â
Mencipta Kompasianival ku sendiri bukan tak mampu, tapi syukuri saja apa yang ada. Evaluasi ini bagai sketsa yang mungkin bagi kompasianer yang lain dianggap lucu. Kok bisa? Dan kata kok dan kok yang lain. Jika pernah ada dilevel yang runyam seperti ini, tentu kata tersebut bisa dipahami.Â
Hobby memang hobby, seharusnya suatu moment menyenangkan. Namun saat hobby malah bikin sengsara, untuk apa memaksa diri. Nikmati saja apa yang ada. Disyukuri proses yang tengah berjalan di depan kita. Yakin saja, hasil tak akan mengingkari perjuangan.
Malang, 1 Desember 2022
Ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H