Pesona langit akhirnya memikat diriku. Disuatu malam, 4 Agustus aku menemukan langit malam begitu mempesona. Diruang terbuka dibelakang rumah yang biasanya untuk jemuran. Ada kawat dan penjepit baju disana. Kulihat gemerlip bintang membentuk lukisan indah.Â
Aku termenung. Dari mana kumulai. Langit begitu luas. Diantara pengetahuanku, ternyata hanya sedikit yang kupaham soal dunia kosmologi dan astronomi. Sedikit banget.Â
Akhirnya kutatap langit malam itu. Sang pencari langit sedang bimbang. Jika sebegitu luasnya langit, mampukah disederhanakan? Menjepit langit. Itulah akhirnya judul puisi yang kutulis. (Ini linknya)
Dengan menjepit langit, aku temukan sence licentia poetica, sebuah rasa mencapai kebebasan sejati dalam proses menulis ku. Aku tak tahu. Aku ingin tahu. Untuk apa aku tahu, jika aku simpan sendiri. Output proses belajar akan berguna jika aku tulis. Minimal bisa menghibur banyak orang. Jika ilmu itu bermanfaat, tentu akan membahagiakan bukan.
Menjepit langit adalah menyederhanakan upaya memahami kesadaran tingkat kosmik. Ini tentang bagaimana cara pandang kita memahami sesuatu. Saat kita duduk, sense sight kita akan berbeda dengan berdiri.Â
Pencari langit tak bisa berdiam disatu tempat saja. Sight level kosmik tentu akan berbeda dengan sight tingkat loteng. Cara pandang kita meningkat, jika kesadaran kita mencapai ultimate consciousness, rasanya kita akan sampai pada pemahaman baru yang spektakuler.
Malampun kian larut. Kukembali ke kursi perpustakaan miniku. Disitulah aku duduk bertafakur merangkai ide mulai dari sastra, sejarah, budaya dan sekarang soal pesona langit. Untuk apa? Eksplorasi cosmic consciousness begitu mempesona. Inilah puncak dari licentia poetica, sebuah makna kebebasan baru dalam menulis dan menciptakan karya. Dan langit menyediakan resource tak terbatas.Â
Sejak kapan manusia mulai mempelajari langit? Pengetahuan astronomi hampir dimiliki semua etnis di Nusantara, baik masyarakat maritim maupun agraris. Kendati dibalut mitologi, nenek moyang Nusantara telah merekam dan menjelaskan dengan baik fenomena alam yang diamatinya termasuk astronomi.Â
Sebagaimana dikutip dari Historia, di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit.
Di Bali, wariga adalah istilah untuk menyebut primbonnya. "Naskah lontar kemudian juga ada yang disebut wariga, karena memuat pengetahuan astronomi dan penanggalan rumit.