Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah di Balik Puisi (Seri Sketsa Sam Oke #5)

12 Agustus 2022   21:38 Diperbarui: 12 Agustus 2022   21:50 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nulis puisi itu mudah, semua orang pasti bisa. Gampang. Ndak perlu repot. Tulisan paling mudah ya menulis puisi." Begitu penilaian orang tentang menulis puisi.  Apa memang benar menulis puisi itu mudah? Tinggal Corat coret, langsung jadi. 

Kok yang berkata seperti itu dan menilai saya sebagai sastrawan murahan tidak ada bukti nyata telah menulis sebuah puisi dahsyat sekaliber Chairil Anwar? Ya begitulah, jika nuruti omongan orang. Bisa gila dan akhirnya bakat minat kita mati tanpa kreasi lagi. Omongan orang iri dengki memang kejam sekaligus tak bermutu. Semakin kita putus asa, mereka semakin gembira. 

Matilah sebuah kemampuan diri anugerah Illahi. Dan  hanya karena di bully orang mulut ember, tukang paido tak bermutu, padahal dia berkarya apa, apa kritikus sastra terkenal, ternyata hanya jago omong doang, tapi miskin karya. Bahkan karyanya nol besar, tapi omongannya setinggi langit, tapi tanpa bukti. 

Apa kita akan berhenti berkarya hanya karena ghibah tukang paido tak bermutu? Semangat ayo semangat. Tunjukan dirimu mampu. Bergeraklah dalam diam, tak perlu kamu menjelaskan, tapi buktikan. Karyamu akan jadi bukti nyata, lalu tanyalah padanya, mana karya maha hebatnya. 

Pujangga sejati tak akan bermulut ember, tapi mengkritik yang mengedukasi hingga kamu termotivasi untuk meningkatkan kapasitasmu secara gentelment dan profesional. Tak perlu teori, buktikan saja dengan konsistensi karya, masih banyak manusia lain yang mampu mengapresiasi karyamu. 

Kisah Dibalik Puisi 

Kadang menulis sebuah puisi itu dikerjakan dengan susah payah. Namun setelah jadi, ternyata tak memperoleh apresiasi. Sayapun mengalaminya juga. Apa saya berhenti? Tentu tidak. Itu semacam cambuk motivasi bagi saya untuk terus mengeksplore puisi apa yang layak dapat apresiasi.

Kadang menulis puisi itu bisa lancar sekali tulis langsung jadi. Tapi kadang bisa seminggu berlalu, satu judul saja tak jadi jadi. Sense menulis puisi ternyata seperti seorang pelukis. Butuh mood yang pas hingga melahirkan masterpiece. 

Kadang ide brilian itu tiba tiba selintas muncul saat posisi kita sedang tidak mood. Misal lagi bersepeda motor di jalan. Beberapa meter kemudian, karena konsentrasi kita pada keselamatan berkendara, ide dimaksud tiba tiba hilang. Tiba tiba kita lupa, akan ide tersebut. 

Kadang ide itu kita ingat, tapi tiba tiba sesampai di rumah langsung disambut pertengkaran dan perselisihan. Langsung ide itu ambyar. 

Menulis ide jadi puisi dibutuhkan waktu yang bersahabat. Sambil ngopi atau tempat lain yang mendukung efektifitas menulis. Jika menulis ditempat berkumpul orang diskusi dan sekali waktu kita diminta pendapat, tentu konsentrasi kita akan buyar. 

Ide sebuah puisi bisa datang dimana saja dan kapan saja. Apa bisa disetting? Ternyata tidak. Misal saya duduk di depan komputer. Jaringan internet ready dan kencang. Mau cari apa saja, langsung ready akses. Tapi saya malah buntu ide, karena dalam puisi ada proses merubah ide jadi kata, membangun emosi positif agar puisi kita tidak hambar. 

Puisi itu baris kata yang memiliki ruh. Ada nyawanya. Ada ceritanya. Ada alur maksud dan tujuan. Bisa informatif, bisa inspiratif, bisa menghibur dan bisa curhat. Untuk mengumpulkan energi positif ini, tidak sembarang tempat bisa mengayomi penulis puisi. Butuh ruang dan waktu nyaman yang bersahabat. 

Kisah diatas adalah pengalaman saya sendiri. Tanpa teori, yang penting bukti. Apa saya sok menggurui? Semoga tidak. Saya menulis ini setelah menghitung berapa jumlah puisi yang saya tulis dengan tagar #Puisi Eko Irawan. Itu hanya puisi yang saya memasang tagarnya secara konsisten, masih ada yang kadang lupa memasangnya. Disitu ketemu 557 puisi yang sudah saya tulis. Jadi saya minimal ada pengalaman dari proses menulis puisi ini. 

Proses ini juga butuh waktu dan tentu juga biaya paket data. Jika karya saya dinilai miring dan tak bermutu, rasanya aneh. Kisah dibalik puisi itu begitu dramatis, lalu secara sepihak dianggap sastra murahan, pujangga kampungan dan penulis tak bermutu yang kurang kerjaan. Bagi saya itu menyakitkan. Itu pekerjaan orang tidak kenal, maka tak sayang. 

Dianggapnya menulis puisi itu bak pekerjaan anak SD. Sehingga dianggap gampang dan tidak perlu melalui proses seperti diatas. Sketsa Sam Oke #5 ini semacam curhat, tapi juga pemantik. Semoga tulisan ini dibaca oleh para penulis yang juga mengalami apa yang saya alami. Dihina? Silahkan. 

Tapi itu kaca yang melambangkan kualitas hasil karya dari diri mereka sendiri. Kaca itu memantul gambar diri kita sendiri dan saat menghina tanpa ilmu, hanya berdasar gibhah tak bermutu, tentu gambar itu pula citra diri sang penghina sendiri. Ingat jari telunjuk menuduh orang lain, ternyata ada empat jari yang mengarah pada diri kita sendiri. 

Banyak mana jari yang menunjuk orang lain, ternyata ada 4 jari yang menunjuk diri sendiri. Mengapa tak memberi apresiasi positif saja, agar dia semakin bersemangat berkarya?

Semoga tulisan ini menginspirasi.

Malang, 12 Agustus 2022

Ditulis oleh Eko Irawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun