Ini cerita Hujan. Menembus badai ditengah jalanan berkelok dari Gladak perak. Taruhan nyawa, karena tak hati hati pasti wasalam. Tersapu banjir, diancam longsor, listrik padam, los kontrol bisa masuk jurang.
Dua hati yang retak. Tak penting Bahas siapa salah siapa benar. Karena sudah jatuh keputusan Takdir. Dalam beban kejiwaan, sakit yang tak bisa sembuh hanya dengan minta maaf. Itu dulu, sekarang tidak. Cinta itu tidak pikun. Dan itu sudah terjadi. Ada dalam catatan Illahi.Â
Hasilnya, bersama dalam kesulitan. Hubungan rumit. Rejeki sulit. Hidup sempit. Karena kesucian sudah ditumbalkan. Kita bayar mahal untuk hidup pura pura baik baik saja. Dikepung azab, dihimpit dosa. Tanpa Maaf.
Waktu itu akan tiba. Diteruskan sama dengan sengsara. Karena baju kotor saja risih dipakai. Apalagi cinta ternoda? Harus dicuci, tapi kau meremehkan tirtayatra Mahameru. Mana sang ahli ibadah yang amalnya sundul langit itu? Kenapa lari? Katanya pangeran paling mulia?Â
Caramu kemarin hasilnya sekarang. Lezat bukan? Kau ingin balas dendam dengan cara setan. Jika diteruskan, sepanjang usia hanya dalam kemunafikan. Kenapa hidup sekali dibikin sandiwara?
Tobat sudah tak berguna. Karena hukum kesucian sudah ternoda. Diteruskan sama dengan mengambil tiket sengsara. Hidup palsu dalam drama. Buang usia, kelak mati sia sia, tanpa pahala.
Cerita Hujan dari Gladak perak. Jembatan itu sudah runtuh. Diganti jembatan baru. Dan hujan ini lambang gamblang. Diteruskan akan susah sepanjang usia. Mau? Iya jika tak waras. Kapan bahagia? Karena bahagia ada syariatnya.
Tunggulah, saat itu akan tiba. Kau masih kuperjuangkan.Â
Gladak perak, 19 Juni 2022
Ditulis oleh Eko Irawan