Apa kabar dulur?
Sapaan yang begitu ‘nyess’ dihati, sejenak mengingat kembali ( Alm ) Once Suharno, pelatih sepakbola Arema Malang. Dulur itu sedulur ( dalam bahasa jawa ), yang artinya saudara. Sapaan yang membuat kita dekat, meski kita belum tentu kenal secara lahir dan batin. Dimensi persaudaraan itu luas sekali. Kadang kita susah mendiskripsikannya.
Namun ada juga yang tak kenal saudara, yaitu makelar. Makelar tak kenal saudara. Makelar hanya kenal untung. Makelar dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai middleman/ broker. Dalam salah tulisan yang saya kutip dari salah satu jurnal diterangkan bahwa broker adalah an individual or firm that charges a fee or commission for executing buy and sell orders submitted by an investor. Dan salah satu perannya adalah executes orders on behalf of clients. Iya, seorang broker mengeksekusi perintah atas nama klien. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Normal. Apalagi di negeri ini kan jamak semua dimakelari.Â
Namun menjadi istimewa jika yang menjadi makelar adalah bukan orang biasa dan apa yang dimakelari adalah sesuatu yang diluar kebiasaan. Yang terbaru ( katanya ) pak ketua lembaga perwakilan kita yang terhormat itu yang jadi makelar. Yang dimakelari apa? Perpanjangan kontrak karya sebuah perusahaan top.
Lupakan soal apa yang dimakelari, pertanyaannya mengapa jadi makelar? Apa iya patut? Bukankah legislasi, anggaran dan pengawasan adalah elemen yang begitu esensial yang seharusnya diperankan? Sudah sukseskah tiga peran itu dijalankan hingga pada akhirnya mengambil peran yang lain? Adakah penelitian yang sahih, sehingga kita boleh mengatakan ketiga peran itu sudah hebat dijalankan oleh para wakil kita? Sudah begitu longgarkah waktu bapak ini sehingga bisa mengambil peran yang bukan semestinya nyambi middleman?
Tak perlu bilang ini demi kepentingan rakyat, jika rakyat yang bapak jadikan argumentasi itu entah dimana alamat sebenarnya alias alamat palsu. Entah sudah berapa kali rakyat dijadikan objek penderita. Sebuah argumen yang tak argumentatif. Sebuah dialektika semu yang coba dibangun. Logika dan nalar yang kita punya, coba dibalik oleh konklusi yang berangkat dari penafsiran eksklusif milik para penguasa ini.
Ataukah jangan – jangan tesis dari Abdel, comic ternama itu benar adanya? Kata Abdel, kadang manusia punya passion yang berbeda dengan apa yang digelutinya. Nah mungkin rabaan saya, passion bapak kita ini, bukan di lembaga yang ( katanya ) terhormat itu, namun di tempat lain. Entahlah. Saya pastikan nalar saya tak mampu menjangkaunya.
Mengutip pesan mas Ladrang Rampak Panuluh, sebagai sesama penggemar artikel maiyahan saya ingin mengingatkan saja kepada para pengelola negeri, pelayan dan wakil wakil kami, bahwa pada akhirnya Tuhan yang paling tahu Akidahmu, Rakyat Butuh Akhlakmu. Akhlak berarti menembus dimensi yang tidak hanya bersifat personal, namun berlaku juga pada tataran sosial termasuk didalamnya akhlak politik, akhlak ekonomi dan sebagainya.Â
Salam Indonesia Raya !
Â
Â