Mohon tunggu...
Irawan
Irawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pelahap informasi...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jam Tangan Soeharto dan Panglima TNI, serta Fenomena Batik KW

24 April 2014   18:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:15 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333063" align="aligncenter" width="496" caption="Panglima TNI sedang memakai jam tangan Richard Mille. Foto: mothership.sg"][/caption]

Dulu waktu belum jamannya media online, beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca sebuah berita di media cetak, tentang jam tangan Alm. Soeharto, presiden RI kala itu. Seorang wartawan menanyakan kepada Soeharto tentang harga jam tangan beliau. Ternyata penjelasan Soeharto di luar dugaan, bahwa jam tangannya bukanlah asli, dan dibelinya hanya seharga 5 dollar kala itu. Istilahnya kalau sekarang bukan barang ORI (asal kata: original) tetapi KW (kualitas, biasanya diikuti nomor yang menunjukkan tingkat kualitasnya). Soeharto menambahkan bahwa walau murahan, namun karena yang pakai seorang Presiden RI tentu lah akan disangka barang mahal.

Dan sekarang juga ada pertanyaan lagi tentang jam tangan orang penting. Ribut-ribut tentang koleksi jam tangan super mahal Panglima TNI Moeldoko oleh media negara tetangga Singapore, yang berlanjut juga di media Indonesia, ternyata menunjukkan bahwa Moeldoko punya hobi mengumpulkan jam tangan KW. Misalnya jam merek Richard Mille RM 011 Felipe Massa Flyback Chronograph “Black Kite”, versi asli harganya sangat mahal, lebih dari 1 miliar rupiah, namun Moeldoko mengaku membelinya hanya seharga 5 juta rupiah saja, seperti dilansir Tribunnews. Dan sama dengan Soeharto, walaupun hanya barang KW tapi karena profil pemakainya tentu saja disangka barang asli dan mahal, sampai-sampai menjadi sumber berita nasional dan malah juga internasional.

Bagaimana dengan baju batik? Apakah ada versi ORI dan KW?

Pemerintah rupanya punya definisi sendiri tentang kualitas baju batik. Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi pada Selasa 22/4/2014, seperti dilansir Detiknews, memberikan pemahaman yang mengejutkan tentang baju batik. Menurut Bayu, batik yang dibuat dengan proses printing (sablon) adalah bukan sebagai batik meskipun punya motif seperti batik.

[caption id="attachment_333066" align="aligncenter" width="552" caption="Batik printing dipajang di kios. Foto: Detiknews"]

13983151601713534869
13983151601713534869
[/caption]

"Kalau printing itu bukan batik apalagi terutama yang diimpor,” tegas Bayu saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan Jalan Ridwan Rais Jakarta.

Menurut Bayu, batik adalah kain yang sudah melalui proses yang cukup panjang dengan motif asli Indonesia melalui proses tulis maupun cap. Bayu menambahkan jenis batik Indonesia kini banyak ditiru di negara lain.

“Batik kita banyak ditiru di luar negeri. Batik itu harus pakai malam, canting, lilin dan celup,” imbuhnya.

Nah lho, padahal baju batik sekarang amat populer dan mulai banyak dipakai masyarakat luas di berbagai kesempatan, tidak seperti dulu yang hanya pada acara resmi, seperti hajatan pernikahan, misalnya. Baju batik sekarang juga sudah umum dipakai sebagai baju kerja, terutama pada hari Jumat, yang biasanya merupakan hari bebas seragam.

Dan jika dilihat dengan baik, umumnya baju-baju batik tersebut di atas bukanlah terbentuk dari batik tulis, tetapi dari batik printing.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya mudah, yaitu masalah harga dan ketersediaan. Popularitas batik di masyarakat meroket sejak Batik resmi diakui oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi milik Indonesia pada 2 Oktober 2009. Kebutuhan kain batik juga meningkat pesat, dan mayoritas dipenuhi oleh batik printing yang merupakan produk industri massal. Harga jelas lebih murah daripada batik tulis, dan ketersediaan juga melimpah.

Bahkan Indonesia juga sampai mengimpor batik dari berbagai negara, yang sudah berjalan lebih dari 4 tahun. Pada 2013 lalu, impor kain batik printing menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 278 ton atau senilai kira-kira USD 5 juta, dari berbagai negara. Rinciannya seperti berikut;

- Turki : 5,6 ton atau USD 192 ribu

- Korea Selatan: 16,8 ton atau USD 331 ribu

- Jepang: 13,3 ton atau USD 348 ribu

- Hongkong: 32 tonatau USD 397 ribu

- Italia: 43 ton atau USD 937 ribu

- China: 134 ton atau USD 2,1 juta

Mungkin maksudnya Wamendag adalah untuk mengurangi laju impor batik printing, karena industri dalam negeri sendiri merasa sangat terdesak dengan banjir impor tersebut yang harganya malah lebih murah, dan juga untuk mempromosikan lebih lanjut batik tulis asli Indonesia.

Tapi mengatakan bahwa baju batik yang telah dikenakan dengan bangga oleh masyarakat setiap harinya, walau bukan terbentuk dari batik tulisan, sebagai bukan batik, atau batik KW atau batik palsu, mungkin perlu ditinjau ulang. Tidak enak buat yang mendengarnya, dan memakainya. Beda dengan pejabat tinggi seperti Panglima TNI, yang walau memakai barang KW tetapi dianggap barang asli. Jadi pernyataan Wamendag itu lebih baik dianggap saja sebagai pernyataan pribadi saja ya, bukan mewakili pemerintah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun