Mohon tunggu...
Irawan
Irawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pelahap informasi...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jika Pejabat Negara Bertransaksi Tunai Miliaran Rupiah (Kasus Anas)

5 Juni 2014   08:03 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:16 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14019045711516928481

[caption id="attachment_340369" align="aligncenter" width="530" caption="Foto: Merdeka.com/imam buhori"][/caption]

Ada yang tersisa dari persidangan perdana terdakwa koruptor Anas Urbaningrum di pengadilan Tipikor Jakarta, hari Jumat (30/5/14) lalu. Sidang tersebut beragendakan pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Anas.

Dari persidangan, terungkap modus bagaimana cara seorang pejabat negara menghindari pencatatan dalam membelanjakan uangnya yang diperoleh dari hasil pengumpulan komisi proyek-proyek pemerintah yang berasal dari dana APBN. Salah satu contohnya, pada pembelian dua bidang tanah seluas 3.200 m2 dan 7.800 m2 di Yogyakarta. Bayangkan, terdakwa Anas melakukan transaksi pembelian tanah seharga Rp. 15,7 miliar, dilakukan secara tunai!

Jaksa menyebutkan cara terdakwa Anas bertransaksi tunai miliaran rupiah itu sbb;

- Terdakwa Anas menggunakan nama orang lain, yaitu mertuanya sendiri K.H. Attabik Ali

- Terdakwa Anas menggunakan uang tunai rupiah senilai Rp. 1,5 miliar, mata uang dollar AS senilai USD 1,1 juta

- Terdakwa Anas juga mengunakan 20 batang emas murni yang masing-masing beratnya 100 gram

- Terdakwa Anas menambahkan dua bidang tanah seluas 1069 m2 dan 85 m2.

Dalam dakwaan Jaksa, asal harta terdakwa Anas disebutkan dari persenan proyek APBN sejumlah Rp. 116 miliar dan USD 5,2 juta, yang sebagian besar digunakan untuk dana penunjangan kegiatan pemenangan terdakwa Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Terdakwa Anas juga dituduh menerima gratifikasi berupa mobil Toyota Harrier senilai Rp. 670 juta dan Toyota Vellfire senilai Rp. 750 juta. Terdakwa Anas dituntut Jaksa dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Dan sudah tentu terdakwa Anas menolak mengakui tuduhan itu, sehingga segala bukti akan dihadirkan di persidangan-persidangan selanjutnya.

Di jaman serba canggih begini, di mana transaksi biasanya dilakukan melalui perbankan, transaksi tunai miliaran rupiah seperti yang dilakukan terdakwa Anas tersebut tentu akan sangat merepotkan.

Pertama, menghitung uang kertas lembar demi lembar pastilah kegiatan yang menyebalkan. Uang rupiah senilai Rp. 1,5 miliar, jika menggunakan pecahan Rp. 100 ribu, maka akan ada 15.000 (lima belas ribu) lembar yang harus dihitung! Sementara uang dollar AS senilai USD 1,1 juta, jika semuanya pecahan USD 100, maka akan ada 11.000 (sebelas ribu) lembar! Bisa jadi, si penjual lembur semalaman menghitung helai demi helai lembaran uang tersebut, kecuali dia punya mesin penghitung otomatis seperti yang digunakan kasir bank. Lagipula, pembeli juga akan ikutan begadang menjadi saksi penghitungan uang.

Kedua, bagaimana memastikan bahwa puluhan ribu lembar uang tunai tersebut adalah asli? Ini adalah resiko besar, dan pengecekan lembar demi lembar tentu akan sangat melelahkan. Transfer antar perbankan adalah cara paling bijak untuk menihilkan resiko seperti ini.

Seharusnya penjualnya curiga ketika pembelinya menyatakan ingin membeli dengan cara tunai, karena pasti ada apa-apanya, apalagi jika diketahuinya bahwa sang pembeli atau yang diwakilinya adalah seorang pejabat negara. Masak tidak merasa bahwa ada yang tidak beres? Semestinya langsung dilaporkan saja ke KPK, jadi pada saat transaksi terjadi langsung diciduk dengan (OTT ) Operasi Tangkap Tangan, dan panen bukti bergepok-gepok uang tunai tersebut.

Apalagi sebenarnya jika merujuk pada UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pada pasal 5 ayat 1, seorang penjual yang menerima transaksi mencurigakan seperti itu bisa terkena tindak pidana. Lengkapnya pasal tersebut berbunyi sbb;

"Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"

Jadi hanya seorang penjual yang sangat polos sekali saja yang sama sekali tidak menaruh curiga jika ada pejabat negara bertansaksi dengannya memakai uang tunai, dan ini pasti jarang sekali, sehingga penjual tersebut sangat mungkin terkena delik pasal tersebut di atas.

Jadi berhati-hatilah jika bertransaksi penjualan dengan seorang pejabat negara, apalagi jika nilainya fantastis namun pembayarannya secara tunai!

Sumber : Tribunnews, Detiknews

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun