[caption id="attachment_362667" align="aligncenter" width="396" caption="Sidang paripurna DPR yang sunyi sepi . Gambar: Tribunnews"][/caption]
Hingar bingar RUU Pilkada menenggelamkan pembahasan RUU Pemerintah Daerah pada sidang paripurna DPR Jumat 26 September 2014 lalu. Bandingkan, jika saat penentuan RUU Pilkada yang penuh drama tersebut dihadiri oleh 496 anggota dari 560 total anggota DPR dan berlangsung berjam-jam dari Kamis sore sampai dengan Jumat dini hari, sidang paripurna pengesahan RUU Pemerintah Daerah hanya dihadiri segelintir anggota DPR saja, sekitar 60 orang, dan hanya berlangsung kurang lebih 60 menit, dalam nuansa yang aman nyaman tenang dan damai.
Dalam sidang tersebut, hanya dibahas satu perubahan RUU yaitu pasal 57 ayat 1 huruf (i), yang menyatakan larangan Kepala Daerah merangkap sebagai pimpinan parpol, yang telah disetujui untuk dihapus.
Dari draft RUU Pemerintah Daerah seperti dilansir situs DPR.go.id, ada klausul menarik pada pasal 37 s.d. pasal 58 yang membahas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu;
1). Kepala Daerah yaitu Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih sesuai Undang-Undang, dan tidak lagi satu paket dengan Wakil Kepala Daerah
2). Wakil Kepala Daerah yaitu Wagub dan Wabup/Wawakot merupakan jabatan setara pegawai negeri, dengan pangkat eselon 1B untuk Wagub dan eselon IIA untuk Wabup/Wawakot
3). Jumlah Wakil Kepala Daerah sesuai dengan besarnya penduduk, jadi bisa saja Kepala Daerah tidak mempunyai wakil sama sekali, atau malah lebih dari satu untuk Gubernur dengan penduduk daerahnya lebih dari 10 juta jiwa.
Yang menarik lagi adalah bahwa berbeda dengan praktek selama ini, selain lewat mekanisme DPRD, Kepala Daerah juga bisa diberhentikan oleh Presiden, tanpa perlu persetujuan DPRD!
Pada pasal 60 dan 61, dinyatakan bahwa Presiden dapat memberhentikan gubernur atas usul menteri dan bupati/walikota atas usul gubernur, bila dinilai melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melakukan kewajiban dengan baik sesuai tersebut pada pasal 48 huruf b (mentaati seluruh aturan perundang-undangan), melanggar larangan-larangan tersebut pada pasal 57, dan/atau melakukan perbuatan tercela.
Pada pasal 63, Presiden juga dapat memberhentikan kepala daerah dan wakilnya, tanpa usulan DPRD, jika didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan syarat sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Jadi, walau misalnya kepala daerah dipilih oleh DPRD, melalui UU Pemda ini, para Kepala Daerah tersebut harus bisa bekerja sama yang baik dengan Presiden, karena jika tidak bekerja dengan baik, sang Presiden berhak menindak mereka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H