Tontonan tingkah laku para anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu (2009-2014) dan periode sekarang (2014-2019 dalam 2 bulan ini benar-benar membingungkan. Mereka berkelahi memperebutkan kursi pimpinan. Mereka berkelahi untuk meloloskan RUU-RUU yang akan menguntungkan kelompoknya sendiri. Bahkan di sidang MPR nanti untuk menentukan pimpinan MPR, yang dari namanya saja ada kata "permusyawaratan", juga mungkin tidak akan jauh-jauh dari perebutan kursi pimpinan MPR. UU MD3Â khususnya memang memungkinkan partai-partai gurem mengungguli partai pemenang pemilu dalam perebutan kursi pimpinan, bahkan bisa menyapu habis semuanya
Mereka terlihat jelas mewakili kepentingan partainya masing-masing, untuk merebut sebanyak mungkin kekuasaan.
Tapi lucunya, dalam setiap pernyataan yang dilontarkan, mereka selalu berdalih: "berjuang untuk rakyat, demi kepentingan rakyat". Apa benar begitu?
Ambil contoh saja, sikap salah satu anggota KMP di DPR, yaitu PKS, dengan corongnya Hidayat Nur Wahid, dalam keributan saat pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada.
Tahun 2012 lalu, PKS menolak keras Pilkada lewat DPRD, tercermin dari pernyataan Hidayat Nur Wahid kepada wartawan, seperti dilansir Republika (2/4/2012), sbb:
--- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak wacana pemilihan kepala daerah tak langsung. Bagi PKS, pilkada tak langsung buruk bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. "Jangan halangi kedaulatan rakyat," kata Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nurwahid kepada wartawan di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (2/4).---
Jadi saat itu, hak memilih langsung kepala daerah adalah kedaulatan rakyat. Terdengar sangat benar, bukan?
Yahh itu mah dulu, ketika PKS belum melihat kesempatan kekuasaan di daerah yang bisa diperoleh dengan Pilkada lewat DPRD.
Lalu sesudah Pileg dan Pilpres 2014, peta politik pun bergeser. Melihat kemungkinan penguasaan atas posisi kepala daerah melalui keanggotaan solid KMP di DPRD-DPRD, PKS pun berbalik arah mendukung Pilkada lewat DPRD.
Alasan yang dikemukaan ke publik pun yang normatif saja, lupa dengan frasa "kedaulatan rakyat" yang pernah dikumandangkannya, seperti dilansir Tempo (10-9-2014).
--- Menurut Hidayat, pemilihan lewat DPRD tak melanggar konstitusi. Rujukannya, ujarnya, adalah Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Bunyinya, "Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". (Baca: KPK: Pilkada di DPRD Ancaman Demokrasi)
"Demokratis itu bisa melalui pemilihan langsung atau lewat DPRD," kata Hidayat. Dia mengatakan pemilihan langsung banyak mudaratnya karena banyak yang tidak akur setelah pemilihan kepala daerah.
Hidayat bahkan mengancam akan memberikan sangsi berat kepada anggota PKS yang menolak Pilkada lewat DPRD. Dia menuturkan keputusan yang disepakati oleh pimpinan pusat PKS harus diikuti oleh kader di seluruh daerah.---
Dan setelah RUU Pilkada lolos disahkan dengan opsi Pilkada lewat DPRD dalam persidangan paripurna DPR yang penuh drama pada 26-09-2014, kembali PKS melalui Hidayat Nur Wahid memberikan pernyataan mengklaim kemenangan mereka adalah demi rakyat, seperti dilansir Detiknews (26-072014).
-- "Kami yakin ini kemenangan demokrasi untuk rakyat. Tragedi seperti kemarin (25/9) Gubernur Riau (Annas Maamun) ditangkap tangan KPK lagi-lagi hasil Pilkada langsung," kata Hidayat di Gedung DPR, Jumat (26/9/2014).--
Jadinya membingungkan, "rakyat" mana yang dimaksud beliau ini? Jangan-jangan defenisi "rakyat" itu adalah beda pada waktu sebelum dan sesudah pilpres 2014.
Contoh-contoh lain mungkin ada, baik dari kelompok KMP maupun KIH.
Begitulah, walau kita bisa bisa membaca ke arah mana dan apa maksud sesungguhnya manuver-manuver wakil rakyat kita, tetap saja para wakil rakyat terpilih itu semua mengklaim bahwa kelakuannya adalah demi rakyat. Kenapa semuanya tidak terus terang saja, sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H