"Banyak cinta dan mimpi mendekat untuk ku kecup. Aku meluapkan segala inginku pada sebuah tulisan. Tulisannya agak sedikit kurang menarik untuk dibaca. Tapi yasudahlah pikirku mengakhiri tulisan singkat itu. Eh tunggu dulu kenapa aku menulis kisahku di sini? Apakah ini tidak terlalu dramatis atau sedikit tragedi atau bagaimana ya?"
"Baca apa kamu?" Tanyanya dengan mata liar menatap buku harian di tanganku.
"Kalian masih di sini?" Ayo segera berkemas. Bentar lagi mau Maghrib."
"Randita!" Teriak Keni berlari mengejarnya.
"Dasar Keni kepo amat dengan yang ku tulis."
***
"Wangi apa ini? Seperti aroma parfum perempuan yang duduk di depanku tadi. Kenapa aku bisa ingat aroma parfumnya ya?"
Kring....kringgg...kring....
"Awas! Menyingkirlah!"
Agung tersentak sambil terlompat ke arah bapak-bapak yang sedang membawa beberapa karung beras. Ia meruncingkan mulutnya menatap Khadijah yang lewat dengan sepeda jadulnya. Ia pun kembali menatap salah seorang bapak tua yang sedang berusaha mengangkat karung beras ke pundaknya. Ia menghampirinya dengan wajah bersalah.
"Maaf pak saya gak sengaja. Sini saya bantu pak!"
Bapak itu tak menjawab. Ia berhasil menaikkan karung beras itu berkat Agung. Setelah itu bapak itu tersenyum kecil dan berlalu tanpa menoleh lagi ke arah Agung.
"Hampir saja aku mendapatkan Omelan. Alhamdulillah bapak itu tidak memarahiku. Kalau tidak aku pasti tak tenang."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H