Mohon tunggu...
Ira Pranoto
Ira Pranoto Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga

Menebar kebaikan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkah Tak Terhingga

25 Juni 2020   23:07 Diperbarui: 25 Juni 2020   23:13 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada masa paceklik ini, aku bersama suami, anak dan beberapa wanita dari Bani Sa'ad bin Bakar, pergi meninggalkan kampung. Tujuan kami sama, mencari anak atau bayi untuk disusui.

Inilah pekerjaan kami, menyusui anak atau bayi orang-orang kaya di kota. Berharap mendapat imbalan yang cukup memadai dari bapak si bayi yang akan kami susui.

Menyusukan anak pada orang-orang di desa merupakan tradisi di kalangan tokoh Bangsa Arab. Dengan menyusukan anak di desa diharapkan anak akan terhindar dari polusi pergaulan kota dan untuk menghirup udara segar pedesaan. Selain itu anak atau bayi yang diasuh di desa akan terbiasa berbahasa Arab dengan bagus dan terhindar dari kesalahan dalam berbahasa Arab.

Aku sadar, saat paceklik ini, tak banyak air susu yang keluar, bahkan bayiku sendiri tiap malam menangis karena kelaparan. Apa mau dikata, menyusui bayi/anak orang-orang kaya di kota adalah pekerjaan kami.

Sesampainya di Mekkah, kami berpencar. Mencari bayi yang akan kami bawa pulang. Di antara bayi yang akan disusui, ada seorang bayi yang ayahnya sudah meninggal. Tak satu pun dari kami mau mengambil bayi tersebut. Apa yang akan kami dapat dari seorang bayi yatim? Begitu pikir kami.

Sampai hari menjelang petang, aku tak kunjung memperoleh bayi yang akan kami bawa pulang. Sementara semua wanita dalam rombongan masing-masing telah mendapat satu anak untuk disusui.

Melihat hal tersebut, aku menemui suamiku.

"Suamiku, aku tak mau pulang dalam keadaan tangan kosong."

"Lantas, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan mendatangi bayi yatim itu."

"Jangan! Kau tak akan mendapat apa-apa kalau menyusui dia."

"Demi Allah, aku akan tetap ke sana. Aku akan bawa bayi itu, daripada kita pulang tanpa hasil."

"Kamu yakin dengan keputusan ini?"

"Ya, aku yakin. Dengan membawa bayi itu, semoga Allah memberikan keberkahan pada kita."

Kutemui ibu dan kakek bayi yatim itu.

"Kamu sungguh-sungguh akan membawa cucuku?"

"Benar, Paman."

"Akan tetapi kami tak dapat memberikan banyak imbalan padamu."

"Tak mengapa, Paman. Saya berharap dengan membawanya, kami akan mendapat keberkahan dari Allah."

"Baiklah kalau kau bersedia membawanya. Saya harap kau memperlakukannya dengan baik."

"Tentu, Paman."

Ibu sang bayi yatim itu menyerahkan anaknya padaku.

"Tolong jaga anak saya, Bu! Terima kasih, Ibu sudah bersedia menjadi ibu susu bagi anak saya."

"Ya. Saya janji akan menjaga anak Ibu dengan baik."

Kugendong bayi itu, wajahnya bersih, tampan. Dia tidak rewel dan aku merasa seolah-olah tidak keberatan menggendongnya.

Kunaiki keledaiku, lalu mencoba menyusui bayi ini. Sungguh, aku hampir tak mempercayainya.Bayi ini menyusu dengan lahapnya sampai kekenyangan. Bahkan bayiku sendiri juga menyusu dengan lahap. Malam ini, kami bisa tidur dengan tenang dan nyenyak. Menyimpan tenaga untuk kembali ke kampung esok hari.

Sebelum tidur, suamiku sempat memeriksa unta kami yang sudah tua. Tanpa diduga, puting susunya penuh. Lantas diperah dan kami minum susunya hingga kenyang.

Esok harinya saat pulang, kami menemui peristiwa yang menakjubkan.

"Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah."

"Saya juga berharap begitu."

"Lihatlah, unta dan keledai kita, jadi segar dan kuat."

"Benar. Mereka berjalan tak seperti saat kita berangkat."

"Bahkan unta dan keledai kita mendahului hewan tunggangan teman-teman kita yang lainnya."

"Sungguh beruntung kita membawa bayi ini."

Begitulah, selama dalam perjalanan pulang, tak satu pun hambatan kami dapatkan. Bayi yang kubawa tak pernah rewel. Begitu pula dengan bayiku sendiri.

Keajaiban ini berlanjut saat kami sudah sampai di kampung halaman. Sumur yang semula kering, menjadi penuh air jernih. Kebun yang kering meranggas berubah menghijau. Domba-domba yang kami miliki makan daun dan rumput segar dengan kenyangnya hingga puting susunya penuh.

Selama dua tahun, kususui anak yatim ini. Selama itu pula hidup kami berkecukupan. Dia tak pernah merepotkan kami, bahkan kehadirannya menjadi berkah bagi kami.

Aku tak menyangka kalau tenyata anak susuku adalah insan istimewa. Insan pilihan Allah yang membawa risalah-Nya. Dialah utusan Allah terakhir, penutup para nabi. Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam.

Karena aku pernah menjadi ibu susunya, namaku pun dikenal oleh orang-orang yang mengimaninya. Menjadi salah satu perempuan yang pernah hidup bersama beliau. Menjadi salah satu perempuan yang kisahnya dikenang sepanjang masa. Aku ibu susu Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, Halimah As-Sa'diyah

.***

Jepara, 23.06.2020

Maroji' : Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri,Ummul Qura.

Ditulis oleh Ira Pranoto 

Repost, sudah tayang di FB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun