Malam terus merambat naik, ketika jemariku menuliskan ini,
Sebuah tulisan tentang kerisaun jiwa.
Antara ungkapan dan keluhan.
Tentang tulusnya harapan dan permohonan.
Keadaan yang seperti inilah, yang paling aku benci,
saat dimana aku sangat membutuhkanmu. Namun aku hanya mampu tersenyum hambar, mendapati kenyataan jika kamu belum ada di sisiku.
Aku layaknya perempuan-perempuan lain yang dalam perjalanan ini harus berani menentukan langkah.
Kalau hanya tujuannya untuk aku, ini bukanlah masalah. Aku bisa dengan mudahnya memutuskan bagaimana dan kemana langkahku selanjutnya.
Tapi dengan situasi ini aku tidak bisa begitu, karena ini menyangkut dirimu juga .
Bukan sekedar aku atau kamu, tapi kita. Rasanya terlalu egois diri ini, aku memutuskan nya sendiri.
Iya aku tahu, memori otakku masih berfungsi normal . Aku masih ingat dengan sangat jelas semua kata-katamu waktu itu,
"Jangan pernah salahkan jarak dan waktu, meskipun saat ini mereka jahat karena telah memisahkan kita untuk waktu yang tidak sebentar. Namun percayalah. Dimasa depan kita akan punya cerita indah, dibalik jahatnya jarak dan waktu".
Tapi saat-saat seperti ini, entah kenapa rasanya ingin sekali berbicara langsung padamu. Menatap matamu, untuk memastikan apakah aku masih ada disana.
Mendengar suara hatimu, mencoba mencari tahu apakah tempat itu masih hanya untukku. Atau hanya sekedar duduk disampingmu, menghabiskan waktu hanya sambil mendengar celoteh-celotehan bawelmu, yang tak pernah membosankan ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H