Seperti yang diketahui bersama, sejak akhir Juli tahun ini, Indonesia kerap diuji dengan berbagai bencana alam yang tak hanya menimpa satu tempat, tetapi terjadi di banyak titik.Â
Pada 29 Juli 2018, gempa bumi berkekuatan 6.4 SR mengguncang Pulau Lombok yang kemudian memicu beberapa gempa besar lain yang juga terjadi di Lombok. Dari gempa ini saja, 500an nyawa melayang, ribuan orang mengalami luka-luka, kerugian materil mencapai Rp 8,8 Triliun, bahkan ratusan ribu rumah serta ratusan infrastruktur terkategori rusak (Tribunnews 29/8/18).
Belum usai duka yang menghampiri segenap bangsa, lagi-lagi bumi ini diguncang dengan gempa yang tak kalah mencengangkan, bahkan disertai dengan tsunami. Bencana yang telah absen 14 tahun ini, kini menimpa wilayah Sulawesi Tengah, yakni daerah sekitar Palu dan Donggala yang menyebabkan ribuan nyawa meninggal dunia, meluluhlantakkan bangunan dengan tanah bahkan kerugian dari kerusakan infrastruktur mencapai Rp 8,07 triliun (Liputan6.com 14/10/18).
Terlepas dari dampak bencana dan kesedihan yang hingga kini masih melingkupi warga Palu dan Lombok, negeri ini justru terlihat semakin 'menantang' kemarahan Allah. Penduduk negeri ini memang menyadari bahwa semua bencana ini terjadi atas kehendak Allah, namun mereka seakan melupakan hukum sebab akibat yang berlaku dan dijelaskan dalam Islam mengenai bencana.
Jika saja hukum sebab akibat ini tidak dilupakan dan diremehkan, seharusnya kejahatan semacam perdagangan dan pemerkosaan anak tak akan terjadi. Dilansir oleh Tempo pada 17 Oktober 2018, seorang anak perempuan berusia 7 tahun dikabarkan telah diperkosa pada hari Selasa, 16 Oktober 2018 sekitar pukul 14.00 WITA.Â
Tak hanya itu, anak-anak yang menjadi korban bencana Palu dikabarkan menjadi incaran sindikat perdagangan anak (Teras.id 3/10/18). Oknum-oknum hitam ini berusaha memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan yang sedang dialami para korban gempa.
Tidak perlu menanyakan bagaimana keimanan penjahat-penjahat itu, karena mungkin mereka memang tak mempedulikan masalah agama, apalagi iman. Lingkungan yang memang berusaha dipisahkan dari agama seperti saat ini memang sangat mampu menghasilkan manusia-manusia  seperti itu, oportunis namun menihilkan perihal moralitas. Jika keimanan mereka tak perlu ditanyakan, maka yang patut  dipikirkan adalah, di mana akal dan nurani mereka?!
Sebejat-bejatnya manusia mungkin tidak akan melakukan itu jika memang akal dan nuraninya masih sehat. Pihak-pihak yang seperti ini jelas memperkeruh suasana yang dirasakan para korban. Zaman memang berganti, namun tindak tanduk manusianya tak jauh berbeda dari apa yang dihadapi oleh Nabiyullah Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam di masa jahiliyah dahulu.
Allah berfirman dalam surah Ar Ruum ayat 41-42:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: "Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)"
Abul Aliyah ketika menafsrikan ayat ini mengatakan barang siapa yang berbuat durhaka kepada Allah di muka bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah karena ketaatan.Â