Mohon tunggu...
Iranti Mantasari
Iranti Mantasari Mohon Tunggu... -

A muslimah, book lover, media observer, political Islam enthusiast, learner, and someone who wish to enlighten the world through her writings.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Terbukanya "Pandora Box" Kota Malang

16 September 2018   14:29 Diperbarui: 16 September 2018   14:50 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke. Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu 'setuju'.

Sekiranya itulah lirik lagu yang dilantunkan oleh Iwan Fals mengenai harapannya akan mereka yang katanya mewakili suara rakyat, agar mereka tak hanya diam, tak hanya mengangguk, tak hanya setuju, apatah lagi setuju jika diberikan uang panas.

Masih hangat tersajikan di hadapan publik, berita mengenai kasus 41 anggota DPRD Kota Malang yang menjadi tersangka KPK. Penetapan 22 anggota legislatif baru-baru ini merupakan kisah lanjutan setelah sebelumnya 19 anggota lainnya terjerat kasus yang serupa (DetikNews 4/9/18).

41 wakil rakyat tersebut semuanya tersandung kasus penerimaan uang terkait pengesahan RAPBD-P (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan) Kota Malang tahun 2015 dengan dugaan masing-masing menerima Rp 12,5 -- 50 juta.

Nama 10 partai politik pun ikut mencuat seiring terjerembabnya kader mereka dalam kasus gratifikasi ini. Hal ini tentu saja sangat menarik perhatian masyarakat, karena kantor DPRD Kota Malang kini hanya menyisakan 4 anggota legislatif yang tak terkena kasus ini.

Fenomena ini akan sangat mungkin semakin menguatkan persepsi yang tumbuh di masyarakat bahwa korupsi ataupun penyuapan merupakan 'budaya yang mendarah daging' di negeri ini. Selentingan ini meskipun merupakan sebuah fakta, tentu akan sangat mengusik siapapun yang peduli dengan keberlangsungan negeri yang dikenal oleh dunia sebagai negeri yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam.

Apabila diperhatikan lebih jauh, kasus semacam ini bukanlah kejadian pertama yang terdengar oleh khalayak negeri. Masalah ini hanyalah repetisi dari kasus-kasus sebelumnya yang tak kalah mengerikan.

Jika begini adanya, dapatkah dikatakan bahwa semua ini hanyalah tindakan segelintir oknum? Konklusi demikian tentulah konklusi yang pendek dan dangkal. Karena mengapa kasus seperti ini terus berulang dengan pelaku dan jenis kasus yang berbeda-beda setiap waktunya?

Pernyataan Prof. Mahfud MD rasanya bisa menjawab pertanyaan ini, "Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga" (Republika, 7/10/13). Lima tahun sudah pernyataan ini diucapkan oleh sosok yang namanya sempat heboh disebut akhir-akhir ini, namun hingga kini masih juga relevan.

Biaya mahal yang harus dikucurkan oleh para anggota legislatif akan sulit tertutupi jika hanya mengandalkan gaji pokok saja, karena itulah tidak sedikit dari mereka yang kemudian memilih untuk mengambil jalan pintas gratifikasi pun korupsi.

Nominal yang tak jarang menembus angka milyaran yang harus mereka kucurkan ketika masa kampanye, membutuhkan dana lebih banyak dari gaji pokok bulanan dan tunjangan yang mereka terima yang masih harus dipotong juga untuk kepentingan partai dan lain sebagainya.

Melihat sistem di Indonesia ini seperti membuka kotak Pandora. Dalam mitologi Yunani, kotak Pandora ini diibaratkan sebagai kotak yang jika dibuka maka seluruh kejahatan dan keburukan akan menjangkiti manusia.

Terlepas dari keshahihan mitologi ini, namun analoginya bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini. Bahwa sistem di Indonesia ini dapat mentransformasikan malaikat menjadi iblis. Orang yang baik bisa berubah menjadi korup. Orang yang shalih pun bisa disulap menjadi ahli maksiat.

Hal lain yang tak kalah miris dari beberapa penjelasan di atas adalah bahwa para pelaku yang ditetapkan menjadi tersangka tersebut tidak sedikit yang tertulis "Islam" dalam kolom agama di KTP mereka. Padahal merupakan hal yang jelas dipahami bahwa perbuatan korupsi, suap, ataupun gratifikasi semua sama haramnya di dalam Islam, tak peduli besar atau kecilnya nominal yang diterima oleh si pelaku.

Inilah yang sering luput dari pandangan publik terkait berbagai masalah yang melanda negeri. Seluruhnya dilihat hanya sebatas perilaku oknum yang tidak bertanggungjawab semata. Namun akar masalah mendasarnya tak dilirik bahkan diabaikan. 

istem politik sekuler yang diterapkan dalam negeri ini sejatinya adalah hulu atau induk dari sekian banyak problematika yang terjadi. Sekularisme yang menihilkan peran agama bahkan Tuhan dalam menjalankan pemerintahan sangat mungkin akan melahirkan pemangku jabatan yang juga jauh dari aturan ilahi.

Tersebab itulah, para pejabat, termasuk di dalamnya adalah mereka yang menyandang gelar sebagai wakil rakyat yang di pundak mereka terdapat amanah umat, sangat urgen untuk bisa hidup dan beraktivitas dalam sistem yang meniscayakan otoritas Tuhan di dalamnya.

Terlebih mayoritas dari mereka adalah Muslim, maka otoritas Allah sebagai sebaik-baik pembuat aturan bagi seluruh hambaNya sama sekali tak boleh dihilangkan. Jika peran Allah tetap dihilangkan dalam mengatur banyak aspek kehidupan, termasuk pemerintahan, maka hal itu sama saja dengan membiarkan negeri ini terus menerus berada dalam jurang kemaksiatan.

Ditulis oleh: Iranti Mantasari, BA.IR
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun