Minggu lalu saya menonton film penutup di Tolerance Film Festival 2019 di IFI Jakarta berjudul "For Sama", sebuah film dari kisah nyata seorang Jurnalis perempuan dan keluarganya yang bertarung hidup dalam konflik perang di Suriah. Film For Sama memenangkan anugrah Film Dokumenter Terbaik di Festival Film Cannes 2019 dan juga puluhan penghargaan internasional lainnya.
Film ini berhasil membuat saya merasa sangat prihatin dengan konflik yang terjadi di Suriah, tapi di lain sisi juga merasa bersyukur dengan nikmat hidup di negara Indonesia yang tentram dan damai. Film ini terasa "nyambung" dengan serpihan fenomena sosial yang terjadi di sekitar saya、khususnya tentang keberadaan pengungsi perang yang ramai berdatangan di Jakarta.
For Sama menceritakan perjalanan Waad Al Khateab, seorang jurnalis perempuan dan seorang ibu yang bertahan hidup bersama keluarga kecilnya dalam perang di Suriah. Sama adalah nama putri dari Waad Al Khateab, lahir tahun 2016 ketika konflik di Aleppo, Suriah semakin memanas.
Waad memfilmkan hidupnya di kota Aleppo yang dikuasai pemberontak selama lima tahun, dengan tujuan sang anak suatu saat nanti bisa mengerti perjuangan seperti apa yang harus dilalui oleh orang tuanya untuk bertahan hidup dalam situasi perang.
Film ini mengikuti perjalanan Waad bersama sang suami , Hamza Al Khateab yang berprofesi sebagai Dokter, yang memilih tetap bertahan di Aleppo demi alasan kemanusiaan dan juga kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran.
Sebagian besar lokasi film ini bertempat di Rumah Sakit tempat Hamza bekerja, dimana ia juga adalah salah satu pendiri rumah sakit tersebut.
Di saat makin banyak warga Aleppo mengungsi karena perang yang terus berkecamuk, Hamza dan Waad memutuskan tetap bertahan di Aleppo selama bertahun tahun, karena Hamza punya kecintaan dan tanggung jawab begitu besar terhadap profesinya sebagai Dokter.
Saat konflik perang Suriah memanas, tentu rumah sakit menjadi tempat yang luar biasa sibuk. Setiap hari Hamza menangani puluhan tindakan operasi para pasien korban tembakan, bom atau ledakan. Dengan membawa sang putrinya yang masih bayi tiap hari ke rumah sakit, Waad memfilmkan berbagai peristiwa dan tragedi di rumah sakit.
Genangan darah dan kematian di depan mata menjadi pemandangan biasa yang harus disaksikan oleh Waad dan sang putri setiap hari. Tapi juga banyak momen momen kehangatan dan kebersamaan di antara sesama para karyawan rumah sakit yang didokumentasikan Waad.
Rumah sakit sudah seperti "rumah sendiri" bagi Waad dan Sama, bahkan para dokter dan para perawat pun sudah menganggap Sama menjadi "idola kecil" dan bagian penting dari rumah sakit.
Kejadian ini yang pada akhirnya membuat hampir seluruh orang karyawan rumah sakit memutuskan untuk meninggalkan kota Aleppo, yang semakin hancur lebur karena perang.
Walaupun berat untuk meninggalkan rumah sakit yang ikut dibangun dan begitu dicintainya, Hamzah bersama keluarga kecilnya akhirnya memutuskan untuk keluar dari Suriah dan mengungsi ke negara Jerman hingga kini. Scene yang memilukan terlihat saat Hamzah dan Waad berbicara di depan rumah sakit yang sudah hancur dan akhirnya keluarga kecil itu memutuska keluar Aleppo untuk mengungsi、dan di sepanjang jalan terlihat suasana Aleppo yang sudah seperti kota mati dan hancur lebur. Tak terbayang bagaimana pilunya hati saat harus terpaksa meninggalkan kota dan seluruh hidup yang dicintai 、karena kondisi perang.
Peristiwa pengeboman di rumah sakit ini pula yang membuka mata dunia, bahwa perang di Suriah sudah benar benar mengkhawatirkan. Bahkan Waad dan Hamza pun menggunakan kesempatan saat hadir di Festival Film untuk mengkampanyekan stop pemboman rumah sakit.
Ada yang mengungsi melalui jalan darat, ataupun melalui jalur laut atau udara. Di negara negara baru tersebut, para pengungsi dari Suriah juga memiliki kesempatan untuk hidup dan menetap dan dilindungi oleh pemerintah.
Para pengungsi dari Suriah ini juga banyak didapati di Indonesia, terutama di kota Jakarta. Kebanyakan mereka masuk ke Indonesia melalui kapal kapal dengan tujuan utama untuk mengungsi ke Australia, tapi kondisi membuat mereka terdampar di Indonesia.
Kebetulan belum lama saya pernah mendatangi camp pengungsi di Kali Deres, Jakarta Barat, yang sebagian besar datang dari negara berkonflik seperti Afganistan ,Sudan dan Suriah.
Di camp tersebut ada ribuan pengungsi yang hidup dalam kondisi memprihatinkan dan hidup hanya bergantung dari "belas kasih" pemerintah Indonesia dan juga masyarakat sekitar.
Saat saya berkunjung kesana, saya melihat sendiri di sekitar camp ada beberapa spanduk besar dipasang yang mengatasnamakan penduduk komplek sekitar yang mengungkapkan keberatan mereka terhadap keberadaan para pengungsi.
Ratusan pengungsi tersebut mendirikan tenda tenda darurat di trotoar depan Gedung UNHCR dan sepanjang Jl Kebon Sirih sebagai upaya untuk menarik perhatian publik akan keberadaan para pengungsi yang membutuhkan penanganan segera.
Tentu keberadaan ratusan pengungsi "nangkring" di jalan protokol seperti itu membuat kota terlihat menjadi kumuh tapi sekaligus membuat saya miris akan keberadaan para pengungsi Suriah dengan kondisi yang memprihatinkan.
Mereka hidup hanya bergantung dari belas kasihan, walaupun keberadaan mereka juga seringkali dianggap sebagai gangguan keamanan bagi warga sekitar.
Ada seorang kawan baik saya seorang penulis terkenal yang rutin datang ke camp pengungsi untuk memberikan pelatihan "Writing for Healing" untuk anak anak pengungsi. Terakhir yang saya tahu para pengungsi perang tersebut sudah dipindahkan oleh ke Islamic Center di Jakarta Utara. Saya berharap semoga saja kondisi mereka disana lebih membaik dan mereka tak kehilangan harapan untuk terus hidup.
Film For Sama membuat saya memahami tentang keberadaan para pengungsi Suriah yang membanjiri banyak negara termasuk di Indonesia.
Film ini juga menggelitik kesadaran saya untuk memberi empati dan rasa Toleransi kepada para pengungsi perang yang berikhtiar sebisa mungkin untuk bertahan hidup. Saya bersyukur bisa mendapatkan pelajaran sangat berharga dari film For Sama di Tolerance Film Festival. Berikut ini adalah Trailer film For Sama .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H