"Salah satu amal terbaik adalah mengerjakan pekerjaan dengan kesungguhan, kecintaan, dan penuh syukur" (anonim)
Fredriech Silaban adalah Arsitek Indonesia yang sangat saya kagumi karya-karyanya. Silaban telah banyak menghasilkan karya monumental seperti Masjid Istiqlal yang merupakan Masjid terbesar di Asia Tenggara, Monas, Gelora Bung Karno, Gedung Bank Indonesia, hingga Tugu Khatulistiwa di Pontianak. Setiap kali membawa Tur ke Mesjid Istiqlal dan Monas, saya tak pernah luput bercerita tentang Silaban kepada tamu tamu saya.
Karena itu, ketika ada kesempatan Peluncuran buku Biografi Silaban minggu lalu di Gedung Bank Indonesia, saya tak melewatkannya. Buku Biografi Silaban ditulis oleh seorang arsitek muda Setiadi Sopiandi , dengan tebal sebanyak 548 halaman dan dibandrol seharga Rp 980 ribu (mahal amat yakk!).
Yang tak disangka sangka, di acara Peluncuran Buku itu ternyata juga dihadiri oleh tiga anak Silaban, yang jauh jauh datang dari berbagai penjuru. Mereka adalah Pak Poltak Silaban yang kini berdomisil di Jerman, Tigor Silaban yang kini berdomisil di Papua, dan Pak Panogu Silaban, satu satunya anak Silaban yang meneruskan profesi sang ayah sebagai arsitek.
Ketika Silaban ingin mengikuti Lomba Desain Masjid Istiqlal yang dibuka untuk umum, Silaban sempat mengalami dilema sehubungan dirinya sebagai penganut agama Kristen Protestan. Tapi kecintaannya terhadap Profesi yang dijalaninya, membuat Silaban memberanikan diri mengikuti Lomba prestisius itu.
Pemerintah Indonesia saat itu memang menggagas pembangunan sebuah Masjid terbesar di Asia Tenggara. Sebagai persiapan membuat rancangan desain Masjid Istiqlal, Silaban berkeliling banyak Masjid dari Aceh hingga Madura dengan biaya sendiri, untuk mempelajari desain-desain Masjid. Silaban juga banyak bertanya dan berdiskusi dengan berbagai Ulama yang ditemuinya, tentang keutamaan nilai-nilai Islam.
Selama perjalanan dalam rangka survey tersebut, Silaban kerap dilanda kegalauan, apalagi ia kerap didatangi pendeta-pendeta yang mempertanyakan keputusannya mengikuti lomba desain Masjid Istiqlal.
"Kamu kan orang Kristen, ngapain sih mau capek-capek bikin desain Mesjid segala?", mungkin kira-kira pertanyaan seperti itu yang kerap ditujukan kepada Silaban.
Guna memantapkan hatinya untuk mengikuti lomba desain Masjid Istiqlal, setiap hari Silaban selalu berdoa meminta petunjuk kepada Tuhan. Doa Silaban yaitu "Tuhan, jika ini adalah jalan yang terbaik dari Mu juga baik untuk kemanusiaan, berikan saya jalan untuk kemenangan. Namun jika ini bukan hal yang baik di jalanMu, tolong gagalkan saya, atau buatlah saya sakit."
Desain Silaban yang berkonsep "Ketuhanan", akhirnya memenangkan Juara pertama. Oleh Presiden Soekarno, kemenangan Silaban itu disebut sebagai "By the Grace of God" (Berkat Kemurah Hatian Allah). Saat diumumkan sebagai Juara Pertama, Buya Hamka adalah salah satu orang yang pertama kali memberikan selamat dan memeluk Silaban. Buya Hamka adalah salah satu Ulama Besar yang ajaran-ajarannya masih terus dikenang hingga kini.
Walaupun memiliki jabatan yang tinggi dalam proyek pembangunan Istiqlal, tapi Silaban selalu terjun langsung ke lapangan. Setiap hari jam 6 pagi, Silaban sudah ada di lokasi proyek.
Padahal saat itu Silaban berdomisili di Bogor. Hal inilah yang selau diingat oleh anak-anaknya, bahwa selama pembangunan Istiqlal, Sang Ayah selalu pergi di pagi buta dari rumah supaya bisa tiba di lokasi proyek paling pagi, bahkan sebelum para mandor dan para pekerja mulai berdatangan. Kerap Silaban juga membawa anak-anaknya ke lokasi proyek untuk melihat langsung perkembangan pembangunan Masjiid Istiqlal.
Dalam masa panjang proses pembangunan Mesjid yang memakan waktu belasan tahun, tak sedikit Silaban didatangi pihak pihak yang berusaha menyogoknya atau mempengaruhinya untuk berbuat curang, termasuk dari pejabat-pejabat tinggi pemerintahan saat itu. Bahkan ia juga pernah didatangi utusan dari Kerajaan Saudi Arabia, yang mempengaruhinya untuk pindah ke Saudi dan meninggalkan proyek Masjid Istiqlal. Tapi Silaban terus berteguh hati dengan idealismenya untuk tetap mewujudkan Masjid Istiqlal yang dirancangnya.
Pak Poltak juga bercerita, sebenarnya di rancangan yang dibuat Silaban, lantai Dasar Mesjid Istiqlal sengaja dikosongkan karena diperuntukkan sebagai tempat evakuasi warga jika sewaktu waktu di Jakarta terjadi bencana seperti banjir atau bencana alam lainnya. Tapi saat ini, seperti kita tahu, lantai dasar Mesjid Istiqlal banyak diperuntukkan sebagai kantor berbagai organisasi keagamaan.
Silaban ikut menyaksikan saat Masjid Istiqlal diresmikan di tahun 1978. Enam tahun kemudian, Silaban meninggal setelah sebelumnya lama berjuang dengan penyakit Kanker Kelenjar Getah Bening. Menurut salah satu anaknya, salah satu sebab penyakit kanker sang Ayah adalah karena faktor stress karena banyaknya tekanan dari berbagai pihak termasuk dari para pejabat pemerintahan saat menyelesaikan proyek Masjid Istiqlal. Tapi menyaksikan Masjid Istiqlal yang merupaakn Masjid terbesar di Asia Tenggara mewujud menjadi nyata, adalah kebahagiaan yang tak terhingga bagi Silaban di tahun tahun terakhir hidupnya.
Saat menutup pembicaraan, ada satu pertanyaan yang saya ajukan kepada anak anak Silaban, "Kenapa Silaban, yang notabene bukan seorang Muslim, mau repot repot berjuang sepeti itu demi Mesjid Istiqlal?"
Salah satu anaknya menjelaskan, "Itu semua dilakukan Ayah saya demi kecintaan dan tanggung jawab terhadap profesi seorang Arsitek. Demi untuk meninggalkan suatu karya terbaik untuk terus dikenang."
Penjelasan dari anak Silaban tersebut sangat mencerahkan. Saya pernah membaca sebuah tulisan, bahwa salah satu amal terbaik yang bisa dilakukan manusia, adalah mengerjakan pekerjaannya dengan sungguh sungguh, penuh kecintaan dan penuh syukur, hingga memberikan manfaat untuk orang di sekitarnya.
Masjid Istiqlal adalah salah satu bentuk amal terbaik yang ditinggalkan seorang Silaban. Walaupun kini raganya tidak ada lagi, tapi Silaban tak akan pernah mati. Manfaat yang dirasakan begitu banyak orang dengan adanya Masjid Istiqlal, dan juga karya karya monumental yang pernah dirancangnya, akan membuat spirit seorang Silaban terus hidup dan dikenang.
Terima kasih Pak Silaban atas inspirasi dan ketelandannya yang sungguh luar biasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H