Ini adalah pengalamanku menghabiskan Tahun baruan sekaligus Maulidan di Mesjid Luar Batang , dari mulai Makan Nasi Kebuli berjamaah hingga bertemu pengungsi muslim dari Afrika
Mengakhiri tahun 2016 kemarin, saya berencana menghabiskannya di Mesjid, maksudnya buat berkontemplasi akhir tahun. Lalu terpikir untuk mencari mesjid bersejarah yang belum pernah saya kunjungi. Entah kenapa di senja Sabtu sore itu, langkah kaki saya menuntun saya ke Mesjid Luar Batang, yang terletak di Pasar Ikan, Jakut. Walaupun saya seorang Tour Guide , saya belum prnh berkunjung ke mesjid ini padahal letaknya cukup dekat dg pelabuhan Sunda Kelapa tempat saya sering membawa Tur.
Saya tiba di Mesjid yang telah berdiri sejak abad 17 itu saat bakda maghrib, dan saya sungguh kaget mendapati area Mesjid itu begitu dijejali orang . Saya pikir itu karena malam tahun baruan. Tapi setelah bertanya ke seorang tukang parkir, itu karena peringatan malam Maulidan Nabi yg jatuh hari Minggu. Jadi malam Maulidan Nabi saat itu cukup spesial, karena bertepatan dg malam tahun baruan Masehi.
Saya sebenernya ga tahu kalau peringatan Maulidan Nabi di Mesjid itu seperti apa acaranya , tapi saya tertarik untuk mengikuti prosesinya. Setelah sholat Isya berjemaah dan bersholawat, para jemaah dipersilahkan makan malam bersama dg menu Nasi Kebuli yg telah disediakan pihak mesjid (wah...makan gratis..bener bener di luar dugaan saya). Maka berbondong bondong lah para jemaah mengantri Nasi Kebuli
Saya melihat, santapan nasi Kebuli disediakan dengan piring piring besar, dan disantap beramai ramai. Kelihatan seru sekali, tapi antrian begitu panjang sempat bikin jiper. Eh ternyata ada satu keluarga yang menawarkan saya makan bareng bersama mereka. Alhamdulilah, mungkin ini rejeki tante tante cantik...hihihi
Ternyata makan nasi Kebuli berjemaah seperti ini adalah prosesi rutin di Mesjid Luar Batang setiap ada peringatan Maulidan. Nasi Kebuli yg disediakan banyak banget daging kambingnya, dan bener bener kuat aroma kambingnya.
Ada hal yang paling menarik mata saya saat berada disana, yaitu keberadaan seorang keluarga berkulit hitam seperti orang Afrika. Karena saya kepoan orangnya, jadilah saya mengajak berkenalan. Ternyata mereka hanya bisa bicara dg portugis, dan sedikit sekali bahasa inggris. Dengan mencoba komunikasi dg berbagai cara, saya mengetahui kalau mereka ternyata adalah pengungsi dari Angola, yang melarikan diri dari negaranya karena konflik saudara yang tak berkesudahan.
Mereka bercerita, di negaranya umat muslim sebagai minoritas tidak punya kebebasan beribadah, dan mendapatkan banyak teror. Karena itu mereka melarikan diri dan sampai ke Indonesia, dan sudah satu tahun tinggal di Jakarta, di daerah Kembangan, Jakarta Barat.
Saya sungguh tertarik dengan keluarga dari Afrika ini, jadi malam itu saya bertanya alamat mereka dan bertanya apa boleh mengunjungi mereka untuk bersilahturahmi
Malam itu, saya pulang dengan rasa keharuan membuncah. Mengingat betapa bersyukurnya saya sebagai Muslim tinggal di Indonesia, sebagai mayoritas dan bebas mau beribadah apapun.
LIfe has so many twists. Malam tahun baruan itu saya berniat ke Mesjid untuk menyepi, tapi ternyata saya menemukan keramaian. Dan di dalam keramaian itu, saya mendaptkan hikmah dari keluarga pengungsi Afrika.
Terima kasih 2016, tinggal di negara yang makmur dan aman sentosa, cukup sudah itu seharusnya membuat saya merasa bersyukur sedalam dalamnya atas apapun yang terjadi sepanjang tahun ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H