31 Desember 2019, 22:23 WIB
Hari terakhir di tahun 2019 malah ku habiskan di kantor, mengejar deadline editan. Rasanya energiku sudah terkuras habis hari itu. Perasaanku campur aduk karena lelah dan sedih karena hati tengah dirundung masalah. Setelah pekerjaan selesai, aku melangkah gontai untuk pulang ke rumah. Jalanan depan kantor sudah ditutup oleh pemerintah. Ada pesta rakyat katanya. Aku terpaksa berjalan kaki dari bundaran patung kuda hingga bundaran HI. Hujan yang turun sedikit mereda, hingga menyisakan gerimis-gerimis kecil yang membuat pusing kepala. Meski hal itu tak menyurutkan semangat warga Jakarta dan sekitarnya yang berlalu lalang di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin dengan riang gembira. Perayaan tahun baru di pusat kota Jakarta itu memang biasanya meriah. Aku tidak tertarik, hanya ingin lekas pulang ke rumah.
"Makasih mbak, jaga kesehatan. Sing selamet."
Mendadak dadaku hangat. Aku melesat masuk ke dalam rumah, malu untuk meneteskan air mata di depan orang asing ini. Yang pasti, Ia telah menutup 2019 ku pada suatu kesimpulan, bahwa hujan yang turun tanpa henti pun bisa menawarkan kehangatan.
Aku melepas sepatu kulit hitam kesayangan di depan teras. Berharap esok pagi matahari akan mengeringkannya. Seperti aku berharap tahun yang baru akan memberikan semangat baru untukku dan tak lagi mengingat-ingat tahun 2019 yang mematahkan hatiku.
31 Desember 2020, 20:21 WIB
Pada hari terakhir tahun 2020 yang melelahkan ini, hujan juga turun dengan cukup deras di Bekasi. Aku teringat pada malam pergantian tahun setahun yang lalu. Malam itu aku tidak menyadari bahwa esok paginya banjir datang menggenangi lantai rumahku. Banjir juga menghanyutkannya sepatu hitam kesayangan bersama harapan akan 2020 yang menyenangkan.
Tahun 2020, memang berat untuk semuanya. Pandemi yang datang banyak memberikan dampak pada kehidupan kita. Aku masih lebih beruntung, bisa tetap gajian seperti biasa. Aku masih bisa membeli sepatu hitam yang baru dari produsen sepatu lokal terkemuka. Suatu pagi, sepatu itu datang diantar abang JNE berseragam merah. Saat itu aku tersadar, aku sangat beruntung masih bisa membeli sepatu yang bahkan jarang dipakai karena lebih banyak bekerja di rumah. Sementara sebagian besar orang, seperti abang pengantar paket JNE misalnya, harus tetap pergi keluar untuk mencari nafkah. Tentu pandemi ini sudah banyak berdampak pada kesehariannya. Setiap langkahnya saat bekerja adalah pertaruhan nyawa.
Pandemi memang menyerang seluruh sendi-sendi kehidupan, tapi di sisi lain ada rasa kemanusiaan yang justru bersinar lebih terang. Indahnya lagi, sekecil apapun kebaikan, iya bisa menular dengan cepat. Bagiku, ada banyak cara untuk bisa saling memberi kekuatan di masa pelik ini. Misalnya dengan memesan masakan teman penyiar yang banting setir berjualan camilan. Kemudian makanan itu aku kirimkan pada teman-teman yang bekerja sebagai tenaga kesehatan. Di lain waktu, aku memesan sejumlah masker kain buatan tangan seorang teman untuk dibagikan pada para pekerja jalanan.Â