Sebutlah saya sombong, tapi kemampuan saya mentranformasi kata-kata manis lewat perangkat digital bisa dibilang memang di atas rata-rata. Key performance indicator-nya sederhana, yaitu jumlah cewek yang berhasil luluh hatinya cuma lewat rangkaian SMS yang saya kirim. Nggak banyak yang tahu, tapi keunggulan yang saya miliki ini sebenarnya merupakan kelemahan utama saya : nggak berani ngomong langsung sama cewek.
Untuk ukuran anak kuliahan, penampakan saya dulu memang kurang bisa dibanggakan, apalagi dengan timbunan lemak yang betah menempel di sekitar perut saya. Keadaan ini semakin diperparah dengan kesulitan saya dalam bergaul, jangankan ngobrol, berdekatan dengan lawan jenis saja langsung keringet dingin. Saya lebih memilih berbicara pada kertas, daripada bicara pada makhluk hidup, kertas nggak akan protes meski saya coret-coret sampai lecek.
Apa boleh buat, umur saya makin bertambah dan orangtua saya semakin bosan ketika satu-satunya teman yang saya bawa ke rumah adalah lawan tanding main playstation. Dari situ saya mencoba mencari solusi dan teknologi seakan menjadi sebuah jawaban. Prinsip saya saat itu: Jika perempuan memang nggak bisa didekati dari dekat, ya dekati saja dari jauh!
Sejak saat itu saya selalu melatih kemampuan menulis. Bukan skill menulis skripsi yang bisa bikin saya lulus jadi sarjana, yang ini lebih rumit, skill menulis pesan singkat supaya lulus dari ujian kehidupan cinta. Sasaran saya saat itu adalah seorang cewek yang nomernya secara random diberikan oleh seorang teman. Nggak sampai 3 bulan dan voila! si cewek itu akhirnya setuju jadi pacar saya, ajaibnya lagi tanpa pernah sekalipun bertatap muka dengan saya (seingat saya cuma liat-liatan via foto fb saja).
Masa-masa unyu itu memang sudah berlalu, dan alhamdulillah, perempuan terakhir yang saya pikat dengan cara serupa (iya, jadian tanpa ketemu) sekarang menjadi istri saya. Saya cukup bangga dengan pencapaian ini, terbukti sudah bahwa ternyata kata-kata kita bisa setajam pedang dan bahwa ternyata tampang tidak selamanya menang. Cuma satu hal yang kadang bikin saya sedih, yaitu kenyataan bahwa sekarang saya tidak mungkin lagi menggunakan skill seperti ini. Bukan karena nggak bisa, cuma takut kena gampar aja.
Apa moral dari cerita ini? mungkin tidak ada, wong saya cuma curhat. Lagipula kalau semua tulisan di Kompasiana ini harus dibuat dengan dasar keilmuan, mungkin kolom digital kesayangan kita ini bakalan sepi kayak jalanan ibukota pas hari-H Lebaran. Nggak seru kan?
Selamat Selasa!
Â
image diambil dari brandinginasia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H