Varian baru virus corona mengharuskan semuanya waspada. Disiplin prokes (prosedur kesehatan) wajib diperketat lagi. Bagi kita di Indonesia, baru saja angka kasus covid-19 menurun di sejumlah daerah. Belum puas rasanya menarik nafas lega setelah marathon 2 tahun menghadapi corona.
Terlebih lagi bagi para penyintasnya. Masih belum sirna trauma masa terpapar virus. Lengkap dengan berbagai rasa sakit dan gejala, beragam dinamika dan bermacam cara pula kita bertahan menjalani kelangsungan hidup. Sekarang sudah datang lagi gelombang susulan bernama Omicron, varian virus barunya.
Berita terkini menyebut, Para peneliti di Afrika Selatan menemukan beberapa bukti bahwa varian Omicron lebih mudah menginfeksi ulang penyintas Covid-19, dibandingkan varian sebelumnya. Dibandingkan varian pendahulunya seperti Alpha, Beta, Gamma dan Delta, Omicron diperkirakan memiliki kemampuan bermutasi lebih cepat.
Varian berkode B.1.1.529 ini pertama dilaporkan ke WHO (World Health Organization) pada 24 November 2021 dari Benua Afrika. Varian yang menggunakan nama huruf ke-15 alfabet Yunani ini oleh WHO kemudian dicatat dalam daftar Variant Of Concern (VOC). Maknanya virus tersebut masuk kategori tertinggi bagi virus variant corona dalam hal penularan, gejala penyakit, resiko menginfeksi ulang dan mempengaruhi kinerja vaksin.
Awal November lalu, para penyintas covid-19 di salah satu desa di Kepulauan Bawean, kabupaten Gresik, Jawa Timur, saling sharing. Pembicaraan hangat tercipta ketika para penyintas covid-19 bertemu dalam satu meja. Tak ketinggalan saya. Mengurai cerita tentang proses awal penyebaran virus di pulau selebar Kota Batu Malang itu.
Luas daratan Bawean sekitar 196,3 km saja. Dalam diskusi santai itu kami mereview lagi bagaimana tindakan umum yang dilakukan saat pandemi.
Mengingat-ingat lagi Kesigapan yang kami lakukan ketika anggota keluarga atau tetangga terpapar virus. Penerapan prosedur kesehatan di lingkungan dan menahan diri untuk tidak keluar rumah tanpa ada kepentingan mendesak. Kemudian bemunculan juga kisah-kisah perjuangan dari para penyintas ini dalam bertahan melewati masa sulit. Bagaimana masing-masing penyintas memiliki gejala awal sakit yang berbeda. Tidak sedikit pula dari kami yang tidak bisa bertahan.
Covid-19 bagi para penyintas di wilayah kepulauan terluar seperti Bawean, hingga sekarang masih meninggalkan bekas traumatis. Salah seorang penyintas berpendapat, andai saja bisa, jangan lagi menyebut nama corona. Sebut saja nama lain supaya kita tidak terlalu takut mendengarnya.
Semua orang berkeinginan bisa hidup dengan bernafas lega tanpa corona. Tanyakan pada penyintas lainnya, pasti mereka pun menginginkan untuk tidak dihampiri lagi virus yang sama. Terlebih lagi mereka yang pernah mengalami gejala berat dan berhasil melewati masa kritis.
Ide para penyintas untuk mengakali ingatan pada trauma covid-19 dengan nama lain itu terdengar nyeleneh. Padahal maksudnya hanya untuk sedikit memanage trauma dan rasa takutnya saja.