Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Belum Sirna Trauma Corona, Omicron Menghantui Pula

6 Desember 2021   20:50 Diperbarui: 6 Desember 2021   21:19 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Varian baru virus corona mengharuskan semuanya waspada. Disiplin prokes (prosedur kesehatan) wajib diperketat lagi. Bagi kita di Indonesia, baru saja angka kasus covid-19 menurun di sejumlah daerah. Belum puas rasanya menarik nafas lega setelah marathon 2 tahun menghadapi corona. 

Terlebih lagi bagi para penyintasnya. Masih belum sirna trauma masa terpapar virus. Lengkap dengan berbagai rasa sakit dan gejala, beragam dinamika dan bermacam cara pula kita bertahan menjalani kelangsungan hidup. Sekarang sudah datang lagi gelombang susulan bernama Omicron, varian virus barunya. 

Berita terkini menyebut, Para peneliti di Afrika Selatan menemukan beberapa bukti bahwa varian Omicron lebih mudah menginfeksi ulang penyintas Covid-19, dibandingkan varian sebelumnya. Dibandingkan varian pendahulunya seperti Alpha, Beta, Gamma dan Delta, Omicron diperkirakan memiliki kemampuan bermutasi lebih cepat. 

Varian berkode B.1.1.529 ini pertama dilaporkan ke WHO (World Health Organization) pada 24 November 2021 dari Benua Afrika. Varian yang menggunakan nama huruf ke-15 alfabet Yunani ini oleh WHO kemudian dicatat dalam daftar Variant Of Concern (VOC). Maknanya virus tersebut masuk kategori tertinggi bagi virus variant corona dalam hal penularan, gejala penyakit, resiko menginfeksi ulang dan mempengaruhi kinerja vaksin.

Awal November lalu, para penyintas covid-19 di salah satu desa di Kepulauan Bawean, kabupaten Gresik, Jawa Timur, saling sharing. Pembicaraan hangat tercipta ketika para penyintas covid-19 bertemu dalam satu meja. Tak ketinggalan saya. Mengurai cerita tentang proses awal penyebaran virus di pulau selebar Kota Batu Malang itu. 

Luas daratan Bawean sekitar 196,3 km saja. Dalam diskusi santai itu kami mereview lagi bagaimana tindakan umum yang dilakukan saat pandemi. 

Mengingat-ingat lagi Kesigapan yang kami lakukan ketika anggota keluarga atau tetangga terpapar virus. Penerapan prosedur kesehatan di lingkungan dan menahan diri untuk tidak keluar rumah tanpa ada kepentingan mendesak. Kemudian bemunculan juga kisah-kisah perjuangan dari para penyintas ini dalam bertahan melewati masa sulit. Bagaimana masing-masing penyintas memiliki gejala awal sakit yang berbeda. Tidak sedikit pula dari kami yang tidak bisa bertahan. 

Covid-19 bagi para penyintas di wilayah kepulauan terluar seperti Bawean, hingga sekarang masih meninggalkan bekas traumatis. Salah seorang penyintas berpendapat, andai saja bisa, jangan lagi menyebut nama corona. Sebut saja nama lain supaya kita tidak terlalu takut mendengarnya.

 Semua orang berkeinginan bisa hidup dengan bernafas lega tanpa corona. Tanyakan pada penyintas lainnya, pasti mereka pun menginginkan untuk tidak dihampiri lagi virus yang sama. Terlebih lagi mereka yang pernah mengalami gejala berat dan berhasil melewati masa kritis.

Ide para penyintas untuk mengakali ingatan pada trauma covid-19 dengan nama lain itu terdengar nyeleneh. Padahal maksudnya hanya untuk sedikit memanage trauma dan rasa takutnya saja. 

Suatu kebetulan jika dikaitkan dengan kalimat "ucapan adalah doa", sepertinya lyric lagu populer itu mendapatkan pembenarannya di moment ini. Bagaimana tidak, di awal bulan salah satu dari kami melontar ide untuk menjuluki corona dengan nama lain. Tak berselang lama di 24 Novembermya muncul sebutan virus dengan nama lain yang ternyata varian corona juga.

Dari berita televisi atau dari kerabat yang bekerja di luar negeri warga mendengar info penyebaran omicron di beberapa negara. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sudah bersiaga. Bisa dipastikan vaksinasi di Pulau Bawean sudah berjalan maksimal. 

Upaya pemerintah untuk membentuk herd imunity sudah dilaksanakan dengan bagus. Forkopimcam dan tenaga kesehatan masing-masing kecamatan di pulau bersinergy turun ke lapangan. Sementara warga pulau sendiri cukup kooperatif. Tidak ada kesulitan untuk melaksanakan program vaksinasi di Bawean. 

Hanya saja, berita tentang Omicron yang mutasinya disebutkan bisa menghambat kerja vaksin dan beresiko menginfeksi ulang ini sudah barang tentu membuat kita di kepulauan menjadi ketar-ketir kembali. Ternyata muncul dengan nama baru pun masih mengundang ketakutan dan kekhawatiran mereka. Khususnya pada para penyintas.

Pertolongan Tuhan

KM Bahari Express berlayar dari Pelabuhan Penyebrangan Gresik menuju Pulau Bawean/klikjatim.com
KM Bahari Express berlayar dari Pelabuhan Penyebrangan Gresik menuju Pulau Bawean/klikjatim.com
Sebagai warga yang menempati wilayah kepulauan terluar, dituntut untuk bisa bertahan hidup dalam keterbatasan dan kondisi alam yang sewaktu-waktu bisa berubah ekstrim. Hingga saat ini, kebutuhan warga pulau masih banyak bergantung dengan logistik dari daratan Jawa. Bila ombak  besar, dengan sendirinya transportasi terhenti. 

Artinya penyaluran logistik dari daratan Jawa ke pulau pun akan terganggu. Kelancaran penyaluran bahan-bahan pokok di pulau saat ini masih sangat bergantung pada kondisi alam. stabilitas harga dan ketercukupan minyak, gas dan sembako akan terpengaruh bila pelayaran terhenti. 

Kenyataan lain, pelayanan kesehatan di Bawean masih minim. Daya tampung ruang rawat inap rumah sakit di pulau masih tidak berimbang dengan rasio jumlah penduduk.  

Peralatan rumah sakit dan dokternya juga masih jauh dari cukup. Pemerintah daerah Kabupaten Gresik terus melakukan perbaikan untuk layanan kesehatan warganya. 

Namun hingga saat ini kasus-kasus tertentu dan emergency, semisal pasien butuh penangan operasi besar belum bisa ditangani di Bawean. Pasien masih dievakuasi ke rumah sakit di Pulau Jawa. Contoh umumnya seperti operasi Caesar saja warga saat ini masih harus dibawa ke rumah sakit umum daerah di Kota Gresik. 

Cobalah membayangkan dengan fasilitas kesehatan seperti itu menghadapi serangan gelombang corona dua tahun lamanya. Khusus Bawean konsep lock down total untuk menghambat penyebaran virus dari daratan yang lebih luas, belum bisa diterapkan.

Di desa tempat saya tinggal, hampir rata-rata warga adalah penyintas. Mereka pernah merasakan sensasi terpapar virus saat covid datang "menyapa" Bawean waktu itu. Tak pandang anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Semua "mendapat giliran" pada masanya. 

tak terkecuali saya sendiri dan suami. Kami yang hingga sekarang masih bisa berkomunitas dan berkomentar adalah yang diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Banyak penyintas, tidak sedikit juga jumlah warga lanjut usia dan paruh baya saat itu yang meninggal dunia akibat terpapar covid-19.

Tenaga medis tidak mampu menangani seluruh pasien. Ruang isolasi di rumah sakit pulau jelas tidak memadahi. Puskesmas kecamatan tidak menerima pasien covid. Akses ke rumah sakit umum daerah pun terpisah lautan. Tidak mungkin ditempuh juga di masa pandemi waktu itu. 

Terlalu banyak warga pulau yang terpapar virus. Oksigen langka. Penderita bergejala ringan, sedang dan berat dihadapkan pada situasi yang sama. Jalan terakhir yang ditempuh warga pulau adalah isolasi mandiri untuk segala bentuk keluhan dan gejala sakit.

Masih tak lekang dari ingatan. Periode kedua covid itu puncaknya tepat di bulan Juni-Juli 2021. Kondisi sangat tak menentu di Bawean. Penyebaran virusnya menjadi tak bisa diprediksi. Banyak wilayah di Indonesia masuk zona merah. Bawean yang berada di posisi daratan pulau terluar bahkan dinyatakan sebagai zona merah tua. 

Para nakes puskesmas di kecamatan setempat hingga memberi julukan ekstrim, Bawean zona hitam pekat. Begitu banyaknya pasien terpapar, sampai puskesmas kecamatan sempat menutup pelayanan. Beberapa nakes sudah ada yang terpapar, tumbang bergantian. Kepala UPTD puskesmas kecamatan juga dikabarkan meninggal dunia karena virus ini.

Setiap saat di sepanjang jalan lingkar pulau terdengar sirine ambulan mengantar jenazah yang harus dimakamkan dengan prosedur covid. Warga menjadi berdebar-debar tidak nyaman setiap ada pengumuman kematian di desa. Khusus di desa saya, hingga harus diambil keputusan menunda pengumuman kematian di pagi atau siangnya bila ada warga yang meninggal malam hari. 

Beberapa kali kejadian dalam sehari kami mendengar 3 kali pengumuman orang meninggal. Itu pun hanya berjarak 4 jam antara yang satu dengan lainnya.  

Bawean hanya terbagi menjadi dua kecamatan. Kebijakan puskesmas di kecamatan tempat saya tinggal, tidak menerima rawat inap pasien terpapar covid. Semua pasien yang membutuhkan penanganan harus melalui prosedur wajib swab dulu. Bila hasil swab negatif, petugas baru melakukan tindakan lanjutan. 

Namun bila hasil testnya positif , harus terima "surat cinta" rujukan ke rumah sakit yang terdapat di kecamatan lainnya. Itu pun harus menerima keadaan bahwa ruang isolasi di rumah sakit tempat rujukan pasien covid di pulau sudah full. Kalaupun memilih rawat inap di sana, harus rela tidur di koridor rumah sakit. 

Karena kondisi yang tidak karuan ini ada juga warga desa kami yang pulang paksa dari rumah sakit walau kondisinya mengkhawatirkan. Beberapa diantaranya menolak dirujuk. Banyak juga warga yang enggan memeriksakan diri ke puskesmas walau merasakan semua gejala umum terpapar virus. 

Beruntung, beberapa orang warga di desa saya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan (nakes) puskesmas kecamatan. Mereka masih mau melayani pasien ke rumah-rumah tanpa rasa ragu atau takut. Jam berapa pun mereka siap siaga di luar jam dinasnya. Mereka melakukan tugas kemanusiaan atas panggilan hati nurani untuk pasien covid di desanya.

 Saya termasuk salah satu yang menikmati bantuan nakes ini. Sebelum berangkat atau sepulang tugas dinas di puskesmas, nakes tersebut mengontrol kondisi perkembangan saya dan warga yang sakit. Bahkan bila dibutuhkan mereka pun bisa membantu memberikan infus. Atau bila beruntung menemukan oksigen di luar rumah sakit, pun mereka suka rela membantu memasangkan.

Seperti diketahui ciri umum pasien terpapar covid adalah demam, indra pencium mulai tak bisa membau dan nafsu makan turun. Pada pasien yang sudah memiliki penyakit bawaan, kadang juga disertai gejala diare. 

Tetangga sebelah rumah saya mengalami hal tersebut. Sebelum terpapar virus, ia memiliki tekanan darah dan kadar kolesterol tinggi. Ketika terpapar covid, kondisinya melemah di minggu pertama karena diare. Sempat beberapa hari diinfus oleh nakes yang datang ke rumahnya. Hampir dua bulan ia melewati masa kritis dan pemulihan.

Saya relatif lebih cepat pulih dari tetangga tadi. Gejala yang sendiri dirasa awalnya hanya seperti kecapekan dan nyilu sekujur tubuh seperti sensasi demam typus. Badan panas dingin. Bila bersentuhan dengan air rasanya menggigil. Pelan dan pasti, hidung sudah tidak bisa mencium aroma apa pun. kemudian nafsu makan terus menurun tapi terus saya paksa makan. 

Empat hari kepala pusing dan tak mampu berdiri. Seminggu pertama rasanya agak membaik namun tetap belum cukup daya untuk berjalan jauh. Keringat dingin selalu keluar bersamaan rasa tak nyaman di badan. Seperti mabuk laut. Ingin muntah tapi tertahan. Begitu terus hingga minggu kedua. Batuk mulai menyerang di minggu berikutnya. Beruntung pernafasan masih bagus. tidak sampai mengalami penurunan saturasi oksigen. sebulan lebih sedikit, saya sudah mulai membaik.   

Pasca gentingnya kondisi penyebaran virus covid di Bawean, tidak semua nakes di kepulauan memiliki keberanian dan keihlasan membantu langsung pasien ke rumah-rumah. 

Di tengah kondisi seperti itu, ada juga nakes yang sengaja "mengurung diri" di dalam rumahnya karena alasan sosial distancing. Meski tahu pintu rumahnya diketuk-ketuk pasien, ia memilih bergeming tanpa kata. Padahal selama ini, sudah puluhan tahun ia bertugas melayani hampir seluruh pasien sekecamatan yang datang ke rumahnya. Harap maklum, di Bawean minim dokter praktek. 

Sehingga di tangan nakes-nakes inilah harapan warga mendapat layanan kesehatan. Para nakes ini pula yang selama ini memegang peranan dalam menangani pasien yang membutuhkan. Beruntung diantara keterbatasan dan kondisi sulit kami di pulau, Tuhan mengirim pertolongan melalui orang-orang pemberani. 

Dengan kondisi Bawean yang demikian, gelombang kedatangan Omicron harus diantisipasi sejak awal. Berkaca pada penanganan Corona di tahun pertama dan kedua, warga kepulauan seperti kami amat berharap koordinasi maupun strategi pemerintah semakin bagus dalam penanganan pandemi.

 Jangan biarkan kami melalui kesulitan sendiri diantara perjuangan hidup dan mati. Mengingat Indonesia ini negara kepulauan tentu bukan Bawean saja yang mengalami keterbatasan. Masih banyak warga di pulau-pulau terluar lain yang mungkin nasibnya sama atau lebih buruk lagi dari kami. (Iradah Haris)     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun