Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Dari Sound of Borobudur, Terpikat Dawai yang Dikira Sape'

11 Mei 2021   23:59 Diperbarui: 12 Mei 2021   00:11 1923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


TUBAN. Saya menyimaknya semalam. Mendekati tengah malam. Menikmatinya sendiri melalui channel you tube dalam hening malam ke 28 ramadhan. Performa Trie Utami, Dewa Bujana dkk di Sound of Borobudur, 8 mei 2021. Satu kesatuan yang menghipnotis.

Suara khas tri utami dalam lagu dayak kenyah terdengar sakral dan mistis. Diiringi alat musik tradisional. Saya selalu terpikat dawai-dawai yang unik itu. Spontan saja otak ini mengidentifikasi salah satunya pasti sape', alat musik petik tradisional milik suku dayak Kalimantan. 

Dawai yang lainnya lagi serupa alat musik petik china, "ruan".  Instrumen ini juga dikenal sebagai gitar China yang kerap digunakan di orkestra China klasik. 

Sudah sejak lama saya mengenal denting sape' yang khas. Bila diaplikasikan untuk lagu-lagu modern, suara sape' memberi warna etnis yang kuat. Seperti di lagu rock milik linkin park, yang dibawakan Uyau Moris di channel you tube yang saya sertakan linknya di atas. Saya suka!

Ya dari performa musical Sound of Borobudur itu, saya hanya terpikat pada dawai unik berbagai ragam. Telinga saya sangat familiar. Saya yang pernah jadi warga Kalimantan mengira bunyi dawai itu adalah bunyi sape'.  Tidak ada yang lain lagi.

Sape' adalah alat musik petik khas dayak . Dalam bahasa dayak, sape' berarti memetik dengan jari. Selain sape' suku dayak juga memiliki musik tiup yang menimbulkan nada pentatonik. Namanya keledik.

Dibawakan di awal, lagu Avadana Jataka, garapan Dewa Bujana ini menyeret saya jauh ke pelosok-pelosok Kalimantan yang pernah saya lalui di akhir 90-an. Pun irama yang dibawakan cepat meresap dan mempengaruhi adrenalin. Dari kalimantan, serasa dibawa berada di atas lembah Wulai. 

Bergelantungan di atas gondola. Menyaksikan air terjun Wulai dari balik kaca. Melintasi lembah ngarai, tempat suku aborigin Atayal bermukim. 

Wulai adalah salah satu wilayah di Taipei, Taiwan yang dihuni suku Atayal. tebing-tebing dan jalanan curam Wulai, tempat bermukimnya suku aborigin Taiwan ini. Walau wilayah adat, Wulai sudah berkembang menjadi destinasi wisata dengan akses modern.

Dari sana, terpental balik lagi ingatan ke daratan luas kalimantan. Tempat asal sahabat-sahabat dari suku dayak. Tepat ketika Iie melantunkan lagu Dayak Kenyah. Entahlah, mendengar sound of Borobudur kali ini saya merasa mengalami lompatan jauh. Pikiran saya menembus ruang dan waktu.

Wulai dan Kalimantan adalah dua tempat berlainan. Bermil-mil jaraknya. Satu di indonesia, lainnya di Asia Pasifik. Namun suku Atayal dan Dayak bagi saya seperti sekeping mata uang. Dengan dua sisi berlainan. Memperhatikan pakaian, adat dan budaya di Wulai serupa dengan Suku Dayak.

Saya ingat seorang kawan dekat keturunan dayak pernah bercerita bahwa ada keterkaitan antara orang Dayak dan suku-suku asli di China. Mereka dari China eksodus ke daratan lain, beratus ratus tahun lalu. Salah satu kelompok ada yang sampai di daratan Kalimantan. 

Ini hanya berdasar cerita tutur masyarakat setempat. Maknanya ada keyakinan, kemungkinan nenek moyang suku dayak dari china. Entahlah, saya bukan ilmuwan.

Sound of borobudur yang saya resapi malam tadi, menjadi katalis. Mengantarkan jiwa saya berkelana. Di beberapa sudut tempat. Apa yang menyebabkan saya melakukan lompatan-lompatan ingatan di dua kutub kehidupan yang bermil-mih jaraknya adalah sebab dawai. Alat musik yang dimainkan dengan irama yang indah.

Dawai hanya salah satunya saja. Alat musik lain juga digunakan untuk mengiringi lagu-lagu Iie dan Bujana. Seperti seruling, gendang dan kerincingan. 

Siapa sangka alat-alat musik yang ditampilkan para musisi kondang ini adalah alat musik original dari masa 1300 tahun lampau. Tergambar di relief Candi Borobudur, Magelang.

Itu artinya ratusan abad silam, nenek moyang kita sudah memainkan berbagai jenis alat musik. Terbukti dari dengan gambar relief Candi Borobudur. Boleh jadi kala itu, Borobudur pusat musik dunia.

Tepatnya, panel gambar itu adalah bagian relief Karmawibhangga. Posisinya di dasar candi. Kini sudah ditutup bebatuan untuk penyangga kekuatan candi. Sehingga relief sudah tidak bisa dilihat langsung. Bila ingin tahu relief yang dimaksud, hanya bisa melihat dokumentasi foto yang ada. 

Di bagian yang tertutup, terdapat beberapa panel yang menggambarkan ragam instrumen musik (waditra). 

Dari gambar muncul pemikiran untuk merekonstruksi berbagai jenis alat musik yang ada di relief candi. Merepresentasikan orkestra 13 abad silam ke masa kini.

Berdasarkan kategori alat musik yang tergambar di relief Borobudur terbagi menjadi. ideophone (jenis kentongan dan kerincingan), membraphone (jenis gendang dan kentingan), chardophone (jenis dawai: petik dan gesek), serta aerophone (jenis tiup).

Para musisi ini berhasil merekonstruksi puluhan alat musik dari gambar panel. 3 alat musik petik adalah rekonstruksi 2016 silam. Dewa Budjana menyematkan nama pada ketiga dawainya, Gasona, Gasola, dan Solawa. 

Dari pemikiran para musisi, seniman dan pihak-pihak terkait, terkumpullah pemain musik Nusantara yang akhirnya melahirkan Sound of Borobudur. Performanya menyuguhkan karya dari instrumen alat musik khusus

Rekonstruksi alat musik petik dari relief terpendam di  Borobudur terwujud berkat tangan dingin Ali gardy. Seniman asal Jawa Jawa Timur ini berhasil mewujudkan instrumen musik di relief Karmawibhangga, yang selama ini tersembunyi di kaki candi Borobudur. Menjadi 3 dawai siap pakai.

Dawai borobudur yang diberi nama gasola itulah menurut saya hampir mirip dengan "Ruan", gitar klasik China. 

Kemiripan-kemiripan alat music yang ada di beberapa daerah dan juga negara lain, sudah terekam dalam gambar relief candi yang sudah berusia 13 abad. Betapa menakjubkannya kekayaan khasanah dan budaya peninggalan nenek moyang kita. Wonderful Indonesia!

Tetap bersemangat melestarikan dan mengkaji alat-alat music yang sudah dikenalkan lewat sound of Borobudur 2021. 

Salam 28 Ramadhan 1442 H

Sumber :

https://www.minumkopi.com/sosok-di-balik-rekonstruksi-dawai-karmawibhangga-gasona-gasola-dan-solawa/

https://japungnusantara.org/sound-of-borobudur/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun