TUBAN. Deru angin. Lengketnya udara asin. Sensasi kehangatan air laut pagi. Nelayan dan sampan. Pantai berhias rumput dan anggur laut. Aneka biota kecil di perairan pantai yang dangkal. Berisik anak-anak dalam permainan komunal. Semua itu tentang nostalgia suasana Ramadhan masa kecil. Di kampung halaman, kampung pesisir, tepi laut.
Pantai masih luas. Anak-anak di masa kecil saya bebas bermain bersama. Kasti, bola boy, gobak sodor atau hanya sekedar main lempar pasir dan berkejaran di air laut.
Kadang kami membuat meriam dari pasir pantai yang dibulatkan. Dengan sedikit air laut, meriam pasir akan sedikit memadat. Layaknya pertempuran, dua kubu saling serang. Melempar meriam pasir ke badan lawan dan tepat sasaran adalah kemenangan.
Bila terasa badan lengket penuh pasir, kami akan menceburkan diri ke air laut. Resikonya bila terjadi pengejaran oleh lawan saat berendam. Kita bisa kesulitan menghindar karena berlari di air laut makin berat beban badan.
Setiap Ramadhan tiba kami tidak pernah melewatkan waktu ke pantai bersama teman-teman sebaya. Sudah seperti ritual. Jadwal ke pantai dalam sehari tidak hanya sekali. Bisa dua kali, pagi dan sore hari. Kalau waktu itu sudah mengenal istilah ngabuburit, pantai adalah tempat paling favorit.
Rasanya tidak ada waktu yang bisa kami lewatkan tanpa kebersamaan. Sejak subuh hingga bertemu tarawih lagi. Titik kumpul kami selalu di masjid jami.
Belum usai wirid jamaah subuh saja biasanya anak-anak sebaya sudah lebih dulu menghambur keluar. Merencanakan hal-hal menyenangkan yang biasa kami lakukan sejak awal Ramadhan.
Memulai hari dengan berjalan-jalan di pematang sawah. Bertelanjang kaki. Menapaki titik-titik embun yang menggantung di ujung rerumputan. Sambil menunggu fajar merekah. Sejuk, segar.
Beberapa teman lelaki kelompok kami selalu ada yang sangu petasan dan korek api. Kita akan membunyikannya nanti. Di tempat sunyi. Tepat di tengah-tengah sawah. Lokasi pilihan paling aman dari omelan orang-orang dewasa. Sebab hanya ada kelompok kami saja. Menikmati letusan demi letusan dengan kebahagiaan. Entah mengapa suara mercon membawa suka cita.
Bila ada orang dewasa tetangga dekat yang mengetahui aksi ini, mereka sudah pasti akan menggadukan kepada ibu bapak kami sebagai kenakalan. Tentu kami akan saling melindungi bila sampai diinterogasi.
Sebenarnya merconan si tengah sawah ini hanya selebrasi awal. Atau bila dihitung olahraga, kegiatan jalan2 sambil merconan ini adalah pemanasan. Acara intinya, bersama-sama menuju pantai. Ya, tujuan akhir kami selalu pantai dan lautnya.
Disitulah tempat belajar kami sejak balita. Tentang biota pantai dan lautan. Juga tentang manusianya. Belajar mencari makanan dari kerang2 pantai dan ikan pemberian nelayan. Belajar menyelam dan berenang.
Bisa berjam2 kami berendam di laut. Kegiatan ini menurut kami menyegarkan. Padahal sebenarnya, setelahnya justru membuat makin terasa sangat kelaparan. Seringkali saat berenang dan menyelam, sambil "tak sengaja" minum air. Tapi kami tetap lanjut puasa.
Jangan dikira nikmat tersedak air asin. Sensasi tenggelamnya seperti menjalani tes polymerase chain reaction (PCR) covid-19. Air laut yang masuk menusuk pangkal hidung. Perihnya sampai ke mata. Namun anak-anak tak pernah kapok.
Untuk sekedar uji nyali, saat laut teduh tanpa gelombang kami akan berlomba berenang ke tempat terdalam. Siapa yang berani mencapai kedalaman, dialah jagoan. Aksi ini sedikit berbahaya. Bila tak kuat berenang ada saja yang tenggelam. Setelah sempat menelan beberapa teguk air asin, biasanya teman lain akan menyelamatkan.
Kejadian semacam, bukannya membuat kami ketakutan. Justru kami akan terabahak-bahak bersama setelah berhasil melewatinya. Jika mengingatnya sekarang, tingkah kami demikian sembrono dan berbahaya.
Rumah orang tua saya tepat di seberang laut jawa. Bila malam terbiasa mendengar debur ombak dari kamar tidur. Untuk mencapainya, cukup menyeberang jalan daendeles. Rumah tepat di tepi jalan raya jalur utama bus antar provinsi, rute Semarang Suarabaya.
Lingkungan kecil keluarga nelayan menghuni area di belakang rumah. Hanya terpisah, kebun luas milik orang tua. Sekelompok anak nelayan yang masih bersaudara satu sama lain, merekalah teman-teman saya. Genk anak pantai.
Bila musim udang rebon tiba. Nelayan-nelayan ini mulai turun ke laut sejak subuh. Kegiatan ini di daerah saya disebut "maring". Mereka membawa jaring lembut khusus penangkap rebon, udang bahan baku terasi. Alat tempur pelengkapnya hanya 2 pelampung bambu dan sepatu dari bambu panjang, mirip enggrang. Namanya angkle.
Menjemput orang tua mereka pulang dari maring adalah hal biasa bagi teman-teman saya. Meski bapak saya bukan nelayan, Saya akan bergembira bersama mereka membantu menarik apa saja dari air laut menuju darat. Biasanya tidak hanya rebon saja yang masuk jaring. Sering pula ikan pun turut sangkut. Bila lumayan ikannya, saya bisa kebagian beberapa. Cukup untuk lauk buka.
Permainan komunal yang biasa kami lakukan saat Ramadhan ini membutuhkan areal pantai yang luas. Sayang saat ini generasi sebaya anak saya tak bisa melakukannya. Debur ombak tak lagi terdengar dari kamar tidur masa kecil saya. Sudah berganti suara bising kendaraan yang lalu lalang 24 jam.
Pantai dekat rumah orang tua pun sudah abrasi. Terkikis erosi pantai. Pemerintah daerah setempat pun sudah membangun tembok pemecah ombak di sepanjang garis pantai. Kalau hanya mau berenang dan menyelam, masih bisa. Jadi main bola, gobak sodor, kasti dan berkejaran di pantai dekat rumah orang tua saya, saat ini hanya jadi cerita.
Salam 6 Ramadhan 1442 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H