31 Hari di Tepi Samudera Berlayar Menggapai AsaÂ
Oleh: Ira Ardila
Halo saya ira, seorang gadis yang memantapkan niat untuk mengabdi di daerah pedalaman. Memang tak mudah bagi saya untuk sampai pada tahap ini karena banyak sekali tantangan yang harus saya lewati, namun beruntungnya saya karena Tuhan mempertemukan dengan dua manusia yang tahan baja, dialah Raihana Salsabila dan Helmi Nugroho, yang kemudian menjadi partner saya ketika mengabdi. Perbedaan diantara kami menjadikan tim kami lebih berwarna. Kami punya visi misi yang sama, yaitu memajukan pendidikan Indonesia, dari sinilah perjalanan kami dimulai.Â
Berangkat dari keprihatinan kami terhadap sulitnya mendapatkan akses pendidikan yang layak di pedalaman, kami ingin merasa apa yang mereka rasa dan berbagi kebahagiaan dengan mereka lewat imu yang Tuhan titipkan kepada kami. Dari ibu kota menuju Pamatang Laja merupakan perjalanan yang jauh dan penuh tantangan, namun bagi kami jauh bukan berarti tidak bisa ditempuh karena kadang kita harus tau hal-hal yang jauh untuk lebih mensyukuri hal-hal yang sudah dekat bahkan melekat.Â
Setelah melewati perjalanan jauh dan menantang sampailah kami di kampung yang ketika mata menatap ingin langsung menetap, ya Kampung Pamatang Laja, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung-Pandeglang, tempat yang indah, jauh dari hingar bingar ibu kota.Â
Kampung yang baru berusia sekitar 16 tahun yang masih di kelilingi hutan-hutan nan hijau juga terdapat pantai yang bermuara langsung dengan samudera Hindia.Â
Ya kami berada di tepi samudera karena pantai di sana langsung menyambung dengan samudera Hindia, MasyaAllah, kami bisa melihat pulau-pulau kecil di laut sana seperti pulau Deli, sungguh indah di pandang mata. Kami yang masih di tepi ingin berlayar mengarungi samudera bersama anak-anak di sana. SDN Kutakarang 3 Filial, di sanalah kami mengajar anak-anak agar nantinya dapat berlayar lebih jauh menuju samudera ilmu menggapai cita-cita.Â
Kedatangan kami disambut sangat ceria oleh anak-anak. Bagaikan tanaman yang hampir layu, kami datang membawa kesegaran untuk mereka memberikan warna-warna baru yang sebelumnya belum mereka dapatkan.Â
Senyuman ceria dan mata yang berbinar menyambut kami di sebuah gedung sekolah tempat mereka belajar. Kami sangat prihatin dengan kondisi sekolah di sana, ruang guru sekaligus ruang perpustakaan yang masih terbuat dari bilik dan atapnya masih terbuat dari alang-alang membuat kami khawatir dengan kondisi buku, benar saja ketika memasuki ruang seperti gubuk itu hati kami menangis melihat buku-buku bolong dimakan rayap, buku yang di makan usia, dan rusak karena cuaca.Â
Tempat apa pun tak bisa melindungi ilmu kecuali orang yang berilmu, maka kami ingin menjaga ilmu dengan mengajarkannya kepada orang lain. Beranjak dari situ kami ke ruang kelas, lantai yang masih tanah tak dijadikan alasan untuk menginjakkan kaki bertholabul 'ilmi, di sana kekurangan meja, kursi, dan buku belajar, tapi di sana tak pernah kekurangan semangat, ruang tak berpintu seakan memberi tahu bahwa ruang akan selalu terbuka untuk belajar kapan pun dan dengan siapa pun, jendea tak berkaca seakan memberikan kebebasan untuk mereka melihat dunia lebih luas, namun harus hati-hati karena nyaman dan aman di sana masih perlu di cari.Â
Sering kali penghuni kelas bukan hanya siswa tapi juga binatang melata seperti ular. Pernah suatu hari kami sedang belajar dengan serius, tiba-tiba seorang siswa berteriak "ibu ada ular bu", disusul dengan siswa lain yang juga melihat ular itu. Salah satu anak memenggal kepala ular, lalu dipeganglah buntutnya, dibawa keluar kemudian di buang di belakang gedung sekolah.Â