Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wahai Parpol Koalisi, Belajarlah dari Perjanjian Hudaibiyah

3 Juni 2013   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:35 3032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_257805" align="aligncenter" width="580" caption="foto : islamitucinta.blogspot.com"][/caption]

Rasulullah Muhammad SAW bagi ummat Islam adalah figur teladan. Beliau selain seorang saudagar yang jujur, juga seorang politisi handal yang piawai bernegosiasi, dapat dipercaya dan tidak mengkhianati amanah. Meski untuk itu Rasulullah harus mengalah atau sedikit dirugikan, tapi jika sudah terlanjur berjanji, maka Rasulullah tak akan mengingkari janjinya. Salah satu pelajaran berharga dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam hal politik (siyasah) adalah disepakatinya perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muhajirin dan Anshor (Muslim) dengan kaum Quraisy.

Seperti sudah diketahui, bahwa di awal dakwahnya menyebarkan ajaran Islam, karena situasi di Mekkah tidak kondusif bahkan membahayakan, maka Rasul memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Di sana, kaum Muslimin yang jumlahnya belum seberapa, diterima dengan baik oleh kaum Anshor seperti layaknya saudara. Namun pada tahun ke-6 Hijrah, tepatnya di bulan Dzulqaidah, Rasulullah bermaksud hendak menjalankan ibadah umroh yang selama itu belum pernah dilakukan mengingat ancaman kekerasan dari kaum Quraisy Mekkah. Berangkatlah Rasul disertai 1400 kaum Muslim dengan tanpa membawa persenjataan, hanya belati dan pedang kecil yang disarungkan, yang biasa digunakan orang kala itu jika bepergian. Mereka berangkat sudah mengenakan pakaian ihrom dan membawa hewan qurban, sebagai tanda bahwa mereka berniat untuk beribadah.

Setiba di daerah Hudaibiyah, sekitar 10 mil dari Mekah, Rasulullah mengutus seseorang ke Mekkah untuk meminta ijin mengunjungi Ka’bah. Sayangnya, permintaan itu ditolak bahkan orang Mekkah menyusun pasukan yang ditugaskan untuk mencegah Rasulullah dan para pengikutnya memasuki kota Mekah. Pihak Quraisy mengirimkan Budayl dari suku Khuza’ah untuk memberitahu Rasulullah bahwa beliau tidak diperbolehkan mengunjungi Ka’bah. Meski Rasul sudah menyatakan bahwa beliau ke Mekkah untuk berumroh, tetap tak ada kata sepakat.

Kaum Quraisy lalu mengutus ‘Urwah Ibn Mas’ud al-Tsaqafi untuk berunding dengan Rasul, namun tetap tak ada kesepakatan. Rasulullah pun kemudian mengutus Karash Ibn Umayyah untuk menemui orang-orang Quraisy, tetapi justru mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan. Untunglah dia masih bisa menyelamatkan diri dan lari dari Mekkah. Pasukan garda depan Quraisy bahkan kemudian menyerang kaum Muslim, namun berhasil ditangkap. Rasulullah lalu memaafkan para penyerang itu dan membebaskannya untuk kembali ke kota Mekkah.

Akhirnya Rasulullah mengutus sahabat Utsman Bin Affan dengan pertimbangan beliau berasal dari suku yang sama dengan Abu Sufyan—tokoh paling berpengaruh di kota Mekah pada waktu itu – untuk berunding agar diijinkan mengunjungi Ka’bah. Tetapi justru ada kabar bahwa Utsman telah dibunuh oleh kaum Quraisy. Mendengar hal itu kaum Muslim marah lalu bersumpah setia akan tetap bersama Rasulullah hingga nyawa terpisah dari raga, yang kemudian disebut bai’at ar Ridwan. Mendengar hal ini kaum Quraisy kemudian memilih berunding dengan Rasulullah. Diutuslah Suhail bin Amr untuk membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin yang dikenal dengan nama Shulhu Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah inilah yang memberi banyak teladan bagi ummat Islam.

Butir-butir isi perjanjian Hudaibiyah adalah :

1.Kaum Muslimin dilarang beribadah umroh tahun itu dan harus segera kembali ke Madinah. Mereka baru boleh umroh tahun berikutnya dengan syarat tak boleh berada di kota Mekkah lebih dari 3 hari dan tidak boleh membawa senjata selain pisau yang biasa dibawa bepergian.

2.Disepakati gencatan senjata – tak boleh ada peperangan – antara kaum Quraisy dan Muslimin selama 10 tahun.

3.Suku apapun di Jazirah Arab diperbolehkan bekerjasama dengan kaum Quraisy maupun kaum Muslimin, namun tidak boleh membantu peperangan.

4.Jika ada salah satu dari kaum Quraisy yang tidak seizin wali/keluarganya menyeberang ke pihak Rasulullah (ke Madinah), maka ia harus dikembalikan kepada keluarganya di Mekkah.

5.Sebaliknya, jika ada pengikut Rasulullah dari kota Madinah yang menyebrang (pergi ke Mekah) tanpa ijin tidak diperbolehkan kembali ke kota Madinah.

Jelas bahwa butir-butir perjanjian itu sebagian merugikan kaum Muslimin. Mereka yang sudah bertekad untuk umroh tahun itu bahkan sempat menggugat Rasulullah kenapa harus mengalah dan menunda umroh tahun depannya. Umar bin Khattab pun sempat menunjukkan ketidaksenangannya Tidak hanya itu, ketika perjanjian ini sedang dibahas dan Rasulullah baru menyetujui namun belum ditandatangani, muncullah Abu Jundal, anak dari Suhail (yang sedang berunding dengan Rasulullah). Abu Jundal ini telah menyatakan diri masuk Islam, sehingga ia dipenjarakan dan diperlakukan sangat kejam oleh ayahnya. Dalam keadaan dibelenggu, Abu Jundal berhasil kabur hingga sampai di Hudaibiyah, dimana khafilah kaum Muslim sedang berunding.

Saat itu pula Suhail langsung berkata pada Rasulullah : “orang inilah yang pertama kali akan kutuntut untuk dikembalikan sesuai perjanjian ini”. Rasulullah menjawab : “aku belum menanda-tanganinya”. Suhail pun kembali menjawab : “kalau begitu (jika Rasul tak mau mengembalikan Abu Jundal), aku tak akan membuat perjanjian apapun denganmu”. Rasulullah pun akhirnya meminta Suhail mengikhlaskan anaknya. Namun Suhail menolak. Inilah ujian pertama perjanjian Hudaibiyah yang baru disepakati. Kaum Muslimin marah, menurut mereka perjanjian itu belum ditanda-tangani jadi belum berlaku. Namun Rasulullah bertekad bahwa beliau tak akan membatalkan perjanjian. Rasul meminta Abu Jundal bersabar dan terus berdoa dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan menolongnya.

Begitulah perjanjian Hudaibiyah kemudian disepakati dan ditandatangani. Khafilah kaum Muslimin kembali ke Madinah, urung berumroh. Tapi ini bukan kekalahan dari dakwah Islam. Karena pasca perjanjian Hudaibiyah, terjadilah pembauran antara kaum Muslimin dan Musyrikin tanpa batas teritori, mereka saling bekerjasama dan kemudian makin banyak yang tertarik mengikuti ajaran Islam. Dua tahun kemudian, ketika peristiwa futuh Mekkah, Rasulullah sudah bersama 10.000 kaum Muslimin, ada peningkatan drastis dari yang semula hanya 1.400 orang yang akan berumroh bersama Rasulullah. Artinya, perkembangan pesat dakwah Islam justru terjadi pasca perjanjian Hudaibiyah, ketimbang 19 tahun masa-masa awal kenabian. Inilah kemenangan politis Rasulullah. Kemenangan melalui jalur diplomasi dan perundingan. Ada hikmah luar biasa yang bisa dipetik dari teladan Rasulullah : jangan ingkari perjanjian yang telah disepakati, meski itu tampaknya merugikan. Penuhilah janji, jangan hanya mau yang memenuhi janji yang jelas menguntungkan tapi mengingkari janji yang dianggap merugikan.

===========================================

[caption id="attachment_257807" align="aligncenter" width="600" caption="foto : www.antaranews.com"]

1370252620115486874
1370252620115486874
[/caption]

Dalam kancah politik Indonesia sejak SBY berkuasa, ada praktek politik yang aneh yang mencederai prinsip politik pada umumnya. Praktek itu adalah “koalisi”. Jika lazimnya koalisi terjadi di parlemen, ketika 2 atau lebih parpol berkoalisi untuk meng-goal-kan atau mengagalkan sebuah rancangan undang-undang yang diajukan Pemerintah berkuasa, maka di Indonesia koalisi justru terjadi di kabinet. Alhasil, koalisi “aneh” ini tak ubahnya bagi-bagi kursi kekuasaan saja. Kabinet menjadi gemuk karena harus mengakomodir banyak partai yang masing-masing dialokasikan jatah sejumlah kursi tergantung dari prosentase perolehan suara mereka di Pemilu Legislatif. Aneh bukan? Sebab penyusunan kabinet adalah hak prerogatif Kepala Eksekutif alias Presiden, yang kebetulan berasal dari partai berkuasa, pemenang Pemilu.

Ada 5 parpol yang tidak memenangkan Pemilu tetapi ingin bersama-sama di kabinet, kemudian bergabung dengan partai pemenang. Parpol itu adalah : Golkar, PPP, PKS, PAN dan PKB. Untuk lebih mengikat, SBY kemudian merumuskan suatu perjanjian koalisi yang WAJIB DIPATUHI oleh parpol-parpol yang sudah menyatakan bergabung mendukung Pemerintahan SBY – Boediono. Perjanjian yang ditandatangani pada 23 Mei 2011 itu merupakan penyempurnaan dari Tata Etika Pemerintahan RI 2009-2014 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2009.Ada 8 (delapan) butir isi perjanjian koalisi yang lengkapnya dapat anda baca di Kompas.com atau Tempo.co.

Dalam perjanjian itu jelas tersurat di butir pertama bahwa anggota koalisi sepakat untuk tidak mengeluarkan pernyataan dan tindakan maupun komunikasi politik yang senantiasa menyerang dan mendiskreditkan satu sama lain. Jadi kalau ada parpol yang pagi-pagi sudah sebar spanduk di jalan-jalan raya dan di tempat-tempat strategis, bukan hanya di Jabodetabek, tapi juga di berbagai wilayah se-Indonesia Raya, yang isinya seolah-olah bersama rakyat untuk menolak kebijakan dari rekan koalisinya, maka bentuk komunikasi politik macam ini bukankah mengingkari perjanjian?

Pada butir dua, isinya tegas bahwa keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Presiden, menyangkut kebijakan politik yang strategis, wajib didukung dan diimplementasikan baik di pemerintahan maupun melalui fraksi-fraksi di DPR. Bahkan ditambahkan pula bahwa menteri-menteri dari parpol koalisi adalah perwakilan resmi parpol koalisi yang wajib menjelaskan dan mensosialisasikan segala kebijakan maupun keputusan yang telah ditetapkan Presiden kepada partainya. Jadi, kalau ada parpol yang mentrinya masih enjoy duduk di kabinet, sementara rekan separpolnya di parlemen sibuk bermanuver di media massa dan mengancam akan membelot saat voting di sidang paripurna, sekali lagi ini bentuk pengingkaran dari janji yang telah mereka tanda tangani bersama.

Butir kelima lebih jelas membahas bagaimana jalan keluar jika tak terjadi kesepakatan. Bunyinya “Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis, seperti yang tercantum dalam butir 2 tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakukan komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik.Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol peserta koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari koalisi. Manakala parpol yang bersangkutan tidak mengundurkan diri pada hakikatnya kebersamaannya dalam koalisi parpol telah berakhir.

Jadi sudah jelas, ada butir-butir yang mengikat, namun telah tersedia pintu keluar darurat jika tak ingin terikat di dalamnya. Parpol-parpol yang bersepakat menandatangani perjanjian koalisi, tentu melakukannya dengan sadar betul. Tak peduli siapa yang menginisiasi, siapa yang lebih dulu mengajak dan siapa yang diajak. Sebab, jika kedua belah pihak sudah saling sepakat, hakikatnya keduanya telah sama-sama suka mengikatkan diri dalam perjanjian. Jangan lupa, perjanjian ini tidak gratisan, ada kompensasi “menarik” yang sudah lebih dulu ditawarkan. Bukankah tanpa bergabung dengan partai penguasa maka parpol-parpol itu tak akan bisa mendudukkan kadernya di kabinet?

Parpol yang mengikatkan diri dalam perjanjian koalisi sejatinya dengan sadar sudah menggadaikan hak-hak politik dan kemandirian parpolnya dalam berpolitik di parlemen. Parpol yang menandatangani perjanjian koalisi sadar betul bahwa sejak awal mereka sudah mengkhianati rakyat. Mereka telah menukar fungsi kontrol di legislatif, sudah menukar sikap kritis terhadap eksekutif, dengan sejumlah kursi menteri. Jadi, kalau ada issu yang tidak populis di Pemerintahan, jangan tiba-tiba balik badan dan mengatakan “kami bersama rakyat!”. Tidak! Rakyat sudah paham kebersamaan itu sudah berakhir sejak parpol-parpol lebih memilih kursi kabinet ketimbang amanah rakyat.

Politik itu memang culas! Tak ada teman yang abadi kecuali kepentingan yang abadi. Dan kepentingan abadi itu adalah kekuasaan. Ketika semua ingin kebagian kursi kekuasaan, maka sumpah dan janji ditebarkan, kesediaan untuk bergandeng tangan mesra hingga 2014. Pada Munas II PKS yang dilaksanakan di Hotel The Ritz Carlton pada Juni 2010 – yang kabarnya menelan biaya Rp 10 miliar, di mana sebelumnya telah dilangsungkan musyawarah Majelis Syura pada Mei 2010 di hotel mewah JW MarriottPKS menginginkan agar koalisinya dengan pemerintah tetap terjaga dan solid hingga Pemilu 2014 mendatang. “Bapak Presiden SBY, bagi kami kebersamaan dalam koalisi ini bukan sekedar agenda program politik kami, tetapi itu merupakan aqidah kami, iman kami,” tegas Ketua Majelis Syura PKS, Hilmi Aminuddin. “Kalimat itu masih tetap berkobar. Dalam dua masa jabatan SBY itu, kami tetap berkomitmen melanjutkan koalisi permanen dengan SBY,” ujarnya.Koalisi ini adalah backbone (tulang punggung), apabila patah, maka kaki tidak bisa digerakkan, tangan lunglai, dan kepala terkulai.” tegas Ketua Majelis Syuro. Semua itu dituliskan dengan gamblang oleh Mashadi, mantan pendiri PK (cikal bakal PKS) dalam Era Muslim.comdengan tajuk "Segala Cita-cita Berakhir di Ritz carlton".

Sungguh jauh sekali teladan yang telah diajarkan Rasulullah Muhammad SAW agar dalam berpolitik kaum Muslimin sebaiknya mampu memegang teguh perjanjian dan menepati apa yang dijanjikan. Rasulullah SAW telah mencontohkan, kendati belum ditandatangani, tapi kalau sudah disetujui, maka penuhilah apa yang tercantum di dalamnya, meski itu merugikanmu. Sebab kemenangan sejati itu ada pada mereka yang punya sikap, tidak plin-plan dan tidak mengingkari janji. Sayangnya, sikap plin plan dalam memenuhi janji itu justru dicontohkan oleh parpol yang mengusung label Islam. Akhirnya, ketika sebuah stasiun televisi melakukan wawancara langsung kepada masyarakat dari beragam lapisan, pendapat mereka sama : “Ah..., itu kan hanya pencitraan buat mengalihkan issu kasusnya!”. 2014 sudah di depan mata dan masyarakat makin pintar kawan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun