[caption id="attachment_237266" align="aligncenter" width="584" caption="foto koleksi pribadi"][/caption]
MADESU dan MADECER, itu istilah yang kondang jaman saya ABG/remaja dulu. Maksudnya “masa depan suram” dan “masa depan cerah”. Biasanya dipakai untuk ‘memvonis’ seseorang yang kita kenal. Lho, kok bisa meramal masa depan orang lain? Apa indikasinya? Biasanya anak yang pinter, selalu juara, punya segudang prestasi, berwajah cantik/tampan atau anak orang berada, digolongkan ‘madecer’. Sebaliknya, mereka yang bandel, suka membolos, pernah tak naik kelas atau malah tak lulus sekolah, ortunya tak berpunya, wajah pas-pasan pula, dibilang ‘madesu’. Rasanya indikasi itu seolah cukup menjadi dasar memprediksi masa depan.
Kini, ketika usia saya memasuki kepala 4, teman-teman SD, SMP dan SMA berpencaran ke seluruh penjuru Nusantara dan sebagian baru terhubung kembali berkata jasa Mark Elliot Zuckerberg alias melalui situs facebook, saya makin yakin bahwa sebagian besar prediksi sok tau tentang masa depan seseorang itu hanyalah sebuah kesalahan besar.
Seorang teman yang selalu menjadi juara kelas, juara sekolah bahkan siswa teladan se kabupaten, kini hanya jadi PNS biasa yang karirnya tak terlalu bagus bahkan jauh dilampaui adik-adik kelasnya. Sebaliknya, teman yang dulu suka membolos, datang ke sekolah dengan mata mengantuk – banyak yang menyebutnya tak sempat mandi – buku tulis cuma punya satu-satunya yang digulung dan diselipkan ke saku celana, sering dimarahi guru karena sering kabur saat jam pelajaran, ternyata kini sukses menempati jabatan cukup tinggi di sebuah Bank BUMN besar. Pun juga teman yang dulu nakal bahkan pernah tak lulus SMA, kini juga sudah jadi kepala cabang sebuah Bank BUMN.
Seorang teman yang dulu hidup sangat kekurangan bahkan orang tuanya sudah tak lengkap, ketika teman yang lain melanjutkan sekolah ia terpaksa bekerja apa saja, berjualan segala macam barang di pinggir jalan, kini sukses jadi seniman yang fokus membesarkan kesenian daerah – dia menyebut dirinya pengrajin seni bunyi, karena keahliannya mengolah alat-alat musik tradisional tiup – yang laku mementaskan pertunjukan seninya keliling tanah air termasuk di ibukota. Uniknya, seni yang didalaminya justru kesenian dari pulau Kalimantan, yang jauh – bahkan mungkin tak pernah terbayangkan – dari tanah kelahiran dan tempat kami dulu dibesarkan.
Dulu, rumah saya sempat dijadikan kostkostan siswa SPG, Sekolah Pendidikan Guru, setara SMA jaman itu. Ada 2 anak kost yang berasal dari daerah asal yang sama tapi beda karakter. Yang satu sangat bersahaja dan ‘nrimo’, sebut saja Rani. Sedang yang lainnya – sebut saja Dewi – agak materialistis dan menilai masa depan seseorang dari bekal materi yang dimiliki, termasuk dalam memilih pacar. Beberapa tahun lalu, salah satu dari mereka menelpon Ibu saya, ternyata Dewi yang menikah dengan pacar pilihannya yang dianggap akan punya masa depan cerah, justru harus menjanda di usia muda karena suaminya meninggal muda ketika masa depannya sendiri belum begitu cerah. Sebaliknya Rani, yang menerima perjodohan orang tuanya dengan pemuda desa asalnya, malah hidup bahagia dan sedang bersiap mengantar anaknya ke gerbang perguruan tinggi.
Itulah misteri masa depan. Tak bisa ditebak, tak ada yang bisa dijadikan patokan, tak ada pola-pola khusus yang serupa dan berulang antara satu orang dengan lainnya. Bahkan 2 anak kembar sekalipun bisa berbeda masa depannya, kendati dibesarkan bersama-sama. Saya coba menggambarkan persepsi saya tentang masa depan lewat foto-foto konsep berikut. Sebagian besar dari foto-foto ini diambil dengan intensi khusus untuk jadi ilustrasi.
[caption id="attachment_237267" align="aligncenter" width="553" caption="foto koleksi pribadi"]
Itulah masa depan. Tak seorang pun yang berhak meramalkannya. Sebab semua itu adalah rahasia Ilahi, yang kita manusia hanya diperintahkan berikhtiar melakoninya, dengan banyak pilihan yang masing-masing akan membawa kita pada jalan hidup yang sama penuh misterinya. Mungkin sama samarnya dengan bayang-bayang batang pohon palem di atas. Banyak cabang rantingnya, semuanya samar, ketika belum dijalani.
[caption id="attachment_237268" align="aligncenter" width="522" caption="foto koleksi pribadi"]
Terkadang kita merasa telah banyak berbekal, semua telah kita sampirkan di diri kita. Mungkin setumpuk sertifikat keahlian, mungkin sederet gelar akademis, mungkin pula sejumlah deposito dan asuransi. Tapi tetaplah semuanya hanya sebuah bayangan yang samar. Yang sedikit berwarna hanyalah satu dua helai daun yang jatuh di dekat kaki kita : setapak dua tapak batu loncatan yang sudah di depan mata. Hanya itu saja yang bisa kita buat prediksinya. Selebihnya : hitam dan putih atau bahkan abu-abu.
[caption id="attachment_237269" align="aligncenter" width="522" caption="foto koleksi pribadi Bayangan yang memantul ke dalam hanya satu, selebihnya tak bisa menerobos dinding pembatas"]
Acapkali pula meski tempat duduk kita sudah nyaman, namun kita merasakan di sekeliling kita gelap, bayangan yang masuk hanyalah satu warna saja. Sementara, di luar sana, meski tampak panas namun lebih berwarna, lebih banyak pemandangan yangtak terbatasi oleh bingkai jendela, lebih menawarkan beragam kemungkinan. Mungkin itu pertanda saatnya kita keluar dari comfort zone yang melingkupi kita, untuk menjajal teriknya mentari, yang mungkin menawarkan peluang lain meski tak ada yang menjanjikan.
[caption id="attachment_237270" align="aligncenter" width="564" caption="foto koleksi pribadi"]
Yang penting diingat adalah menguatkan pijakan kaki kita. Ketika kaki telah mantap melangkah, tinggal mengikuti arah garis lurus. Bayangan masa depan berimpit dengan kaki sendiri, bukan kaki orang lain, meski orang tua sendiri sekalipun.
[caption id="attachment_237271" align="aligncenter" width="286" caption="sayap-sayap patah sang bidadari - foto koleksi pribadi"]
Tak perlu bermimpi akan datangnya pertolongan bidadari turun tiba-tiba dari langit melepaskan semua kesulitan kita. Sebab sang bidadari kini sudah tak bersayap lagi, karena sayapnya telah patah.
[caption id="attachment_237272" align="aligncenter" width="250" caption="Logika akal sehat dan semangat kerja keras terkadang ditanggalkan demi mimpi masa depan cemerlang dalam waktu singkat - foto koleksi pribadi"]
Banyak yang tertipu fatamorgana, berharap terlalu banyak pada kemudahan menggiurkan, seolah ada ‘invisible hands” yang bekerja melipatgandakan uang kita dan menyulap masa depan menjadi cemerlang. Maka, yang terlena pun akan menanggalkan tangan dan kepalanya. Ya, bidadari yang diangankan ber-“sim salabim” mengubah hidup kita daalam sekejap, ternyata tak bisa bekerja dan tak mampu berpikir, karena ia hanyalah bidadari tanpa tangan dan kepala.
[caption id="attachment_237273" align="aligncenter" width="595" caption="tangan mungil yang mencoba meraih impian - foto koleksi pribadi"]
So..., pastikan tangan-tangan mungilmu sendiri yang harus kuat merayap, merangkak, menjangkau dan meraih apapun yang kau inginkan dan kau butuhkan. Tuhan akan membimbing tangan-tangan mungil itu, selama tangan itu tak terkotori apa-apa yang dilarangNYA.
[caption id="attachment_237274" align="aligncenter" width="471" caption="Mentari mengintip dibalik awan mendung - foto koleksi pribadi"]
Segelap apapun mendung menggelayuti hidup kita, tetaplah ada secercah sinar mentari yang mengintip. Diantara kesulitan, Tuhan tetap menyelipkan kemudahan dan jalan keluar.
[caption id="attachment_237275" align="aligncenter" width="579" caption="mendung tetap mengintip meski langit cerah - foto koleksi pribadi"]
Begitu pula sebaliknya, secerah apapun langit kehidupan kita, selalu saja ada segumpal awan kelabu yang menggantung. Karena manusia hidup memang untuk memecahkan persoalan. Karena itu, berani hidup lebih lebih sulit ketimbang berani mati.
[caption id="attachment_237277" align="aligncenter" width="259" caption="foto koleksi pribadi"]
Teruslah menulis dan menulis. Sampai lembar terakhir yang tak seorang pun tahu.
[caption id="attachment_237278" align="aligncenter" width="584" caption="Menatap samudera masa depan!"]
Lalu..., seperti apakah ilustrasi masa depan kita? Seluas samudera kehidupan dan sedalam lautan pula misterinya. Tak perlu meraba-raba akan seperti apa masa depan kita kelak, karena tahun depan, esok bahkan sejam lagi, tak ada yang tahu apa yang bakal terjadi. Tetaplah menatap samudera kehidupan dan berharap nun di sana akan berlabuh di pulau impian. Seperti yang sudah Allah janjikan : seluas bumi dan lautan dihamparkan serta seluas langit dibentangkan, seluas itu pula rizkiNYA disediakan. Ambillah hanya yang menjadi hak kita saja. Tak usah berpanjang angan-angan berdalih membekali masa depan anak-anak kita, lalu kita meraup sebanyak-banyaknya, termasuk apa yang sebenarnya bukan hak kita. Sebab seperti kata Khalil Gibran : anak-anak adalah milik masa depan!
===========================================
Foto-foto di atas dirangkai menjadi potret tentang MASA DEPAN untuk berpartisipasi dalam event WPC – 33 : CONCEPTUAL PHOTOGRAPHY yang diadakan oleh KAMPRET (Kompasianer Hobby Jepret). Simak parade foto-foto konsep lainnya di link itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H