Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Caleg Artis Nomor Urut Atas Pasti Jadi? (Seri "Menuju Pileg 2014" - Bag.#2)

27 Januari 2014   10:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 4381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_308536" align="aligncenter" width="640" caption="Sebagian artis dan selebriti yang menjadi caleg berbagai partai politik pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 (foto : kasakusuk.com)"][/caption]

Demi mengetahui Angel Lelga berada pada nomor urut 1 di Dapil Jateng V, banyak orang berkomentar di media sosial, “Waduh, pasti jadi tuh!” Apalagi melihat optimisme Angel yang seolah yakin pasti melaju ke Senayan. Benarkah demikian?

Ketika Najwa Shihab menelanjangi keawaman Angel Lelga soal wawasan politik, sebenarnya ada satu hal yang lupa ditanyakan Najwa padahal itu amat sangat mendasar bagi mereka yang akan terjun ke politik praktis dengan menjadi caleg. Meski sangat mendasar, belum tentu caleg paham. Pertanyaan itu adalah: apakah Angel Lelga sudah paham benar bagaimana mekanisme pencalegan, Pemilu/Pileg, perhitungan suara sah dan penetuan caleg terpilih? Apakah Angel Lelga paham apa itu prinsip “proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak”? Bukan hanya Angel Lelga, ribuan caleg dari 12 partai politik nasional yang berlaga pada Pileg 2014, wajib tahu soal itu.

Tahukah para caleg – terutama caleg partai kecil atau yang menurut survey elektabilitasnya rendah – apa itu parliamentary threshold (PT) dan berapa prosentase minimal yang harus diraih suatu parpol dari suara sah nasional? Sebab tanpa lolos PT, sebuah parpol tak akan dihitung sama sekali perolehan suaranya, meski di suatu Dapil parpol tersebut mampu mendulang suara 1 BPP atau setidaknya menempati urutan teratas saat perhitungan sisa suara. Sistem Pemilu kita memang tak menganut the winner takes all, di mana dalam satu distrik pemilihan parpol yang kalah dalam perhitungan suara maka suaranya akan hilang. Namun, dengan adanya ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, suatu parpol baru dapat mengantar calegnya ke Senayan jika keseluruhan perolehan suaranya secara nasional telah melebihi ambang batas parlemen.

Tahukah para caleg bagaimana tahapan mengonversi suara pemilih menjadi “kursi” DPR? Tahukah apa itu BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dan berapa perkiraan BPP di Dapil-nya? Mengertikah mereka apa yang dimaksud penghitungan tahap ke-II, yaitu perhitungan sisa suara? Apa yang dimaksud dengan sisa suara terbanyak? Sadarkah mereka bahwa dengan prinsip proporsional terbuka berdasar suara terbanyak, caleg nomor urut 1 sekali pun belum tentu lolos?!

Pemahaman akan hal-hal di atas sangat fatal, sebab tampaknya banyak caleg yang bahkan tak paham sistem pemilu dan perhitungan suara serta penentuan caleg terpilih. Ini tampak dari ketidaksiapan mereka jika ternyata tak terpilih. Mereka hanya berpikir bahwa dengan jor-joran menggelontorkan dana kampanye, atau membayar mahar besar kepada parpol agar mendapat nomor urut “topi”, sudah dijamin pasti jadi. Akibatnya, jika hasil perhitungan KPU/KPUD ternyata nama mereka tak lolos, mereka lalu mengamuk, menuduh pesaing berbuat curang, mengerahkan pendukung atau orang bayaran untuk bertindak anarkhis atau yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa stress berat dan berujung sakit jiwa. Saya menduga kuat, Angel Lelga dan ribuan caleg lainnya di seluruh Tanah Air, banyak yang belum paham benar prinsip perhitungan suara.

Parpol belum tentu memberikan pemahaman, bahkan terkadang pemberian nomor urut atas seolah jadi “hadiah hiburan” padahal namanya hanya dijadikan vote getter semata. Ada lagi trik parpol mengkadali caleg terkait affirmative policy yang mensyaratkan setiap parpol di tiap Dapil harus mencantumkan minimal 30% caleg perempuan. Direkrutlah perempuan seleb, diberi nomor urut “cantik” padahal ditempatkan di Dapil kering di mana parpol tersebut tak punya basis massa.

[caption id="attachment_308537" align="aligncenter" width="540" caption="Para artis dan selebriti yang diusung PKB pada Pileg 2014 (foto : acehterkini.com)"]

139079300623439239
139079300623439239
[/caption]

MENGKONVERSI SUARA MENJADI KURSI PARLEMEN

Jika di suatu Dapil kuota kursi DPR/DPRD ada 5 kursi, maka setiap parpol berhak mengajukan caleg maksimal sampai 2x (dua kali) jumlah kuota kursi DPR/DPRD, yaitu 10 caleg. Ini gengsi bagi sebuah parpol, apalagi bagi parpol yang dikenal sebagai parpol lama dan besar. Mereka akan jatuh gengsi kalau tak mengajukan caleg sejumlah maksimal, masa iya sih gak punya stock caleg? Dari 10 caleg itu, minimal 3-4 orang harus perempuan. Jadi, di Dapil tersebut, kursi DPR/DPRD yang hanya 5 kursi saja bisa diperebutkan oleh 10 caleg x 12 parpol = 120 caleg (maksimal). Dengan kata lain, secara statistik – dengan mengabaikan berbagai faktor lain – peluang seorang caleg untuk terpilih di Dapil itu hanyalah 5/120 atau 0,0417 alias tak sampai 5% saja.

Sebelum kursi dibagi ke para caleg, terlebih dulu parpol dilihat perolehan suara nasionalnya, mampukah menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Parpol tak lolos PT langsung tersingkir, suara pemilihnya hangus. Inilah perlunya para caleg satu parpol harus kompak bahu-membahu membesarkan partainya agar mampu menembus batas parlemen. Bukan saling menjatuhkan, sehingga akibat citra buruk salah satu atau sebagian caleg, maka caleg dari parpol tersebut tak dipercaya masyarakat.

Lalu berapa “harga” sebuah kursi? Dalam arti berapa suara yang harus dikumpulkan seorang caleg untuk bisa ditukar sebuah kursi. Ini disebut BPP, yaitu jumlah penduduk berhak pilih (tercatat pada DPT) di dapil tersebut dibagi dengan jumlah kuota kursi yang tersedia. Namun angka BPP itu bisa turun drastis jika banyak golput dan suara rusak/tidak sah. Angka BPP akhir yang dipakai untuk membagi kursi adalah jumlah suara sah dibagi jumlah kuota kursi. Itu sebabnya rakyat tak pernah bisa menghukum parpol dengan golput sekalipun. Sebab, meski angka golput nasional ekstrim mencapai 60% misalnya, jatah kursi DPR RI tetap saja 560. Harga kursi justru akan murah, sebab untuk menebus satu kursi jumlah suara yang diperlukan tak sebanyak seharusnya. Misalnya jumlah pemilih dalam DPT 200.000 orang, jumlah kursi 5, maka BPP = 40.000 suara. Namun setelah perhitungan suara ternyata suara sah hanya 60% atau 120.000 suara, maka nilai BPP menjadi 24.000 suara saja. Nah, itulah jumlah suara yang harus diraih si caleg untuk bisa langsung terpilih.

[caption id="attachment_308538" align="aligncenter" width="296" caption="Beberapa artis caleg 2014 (foto : www.pemiluindonesiaku.blogspot.com)"]

13907931592130550002
13907931592130550002
[/caption]

Dalam satu Dapil, dilihat mana caleg yang memperoleh suara senilai 1 BPP atau lebih. Jika ada, caleg tersebut otomatis ditetapkan terpilih. Namun ini sulit sekali. Jika jumlah suara yang didapat caleg itu lebih dari 1 BPP, maka sisa suaranya (setelah dikurangi BPP) akan menjadi hak parpol. Jika tak ada caleg yang berhasil meraih suara 1 BPP, maka dlihat keseluruhan pengumpulan suara dari parpol tersebut. Perlu diketahui pemilih : anda boleh mencontreng hanya tanda gambar/nomor urut parpol saja tanpa mencontreng nama caleg, maka suara anda akan dihitung sebagai suara parpol dan nanti akan dihibahkan pada caleg yang memperoleh suara terbanyak di internal parpol itu jika tak mencapai 1 BPP. Anda juga boleh mencontreng tanda gambar parpol sekaligus nama calegnya dan suara anda akan dihitung sebagai suara untuk caleg yang anda pilih. Sebaliknya, jika anda hanya mencontreng nama caleg saja tanpa tanda gambar parpol, maka suara anda dianggap tidak sah. Sebab suara untuk caleg hakikatnya suara untuk parpol pengusungnya.

Jika tak ada caleg maupun parpol yang perolehan suaranya mencapai 1 BPP di Dapil tersebut, maka prioritas pembagian kursi dilakukan untuk parpol yang memiliki sisa suara terbesar secara berturut-turut. Kursi parpol tersebut diberikan pada caleg yang memperoleh suara terbanyak. Begitu seterusnya, sampai sisa suara habis terbagi. Pemilu kali ini sisa suara haruas habis dibagi di Dapil dan tak boleh dibawa ke Dapil lain.

Cukup rumit perhitungannya? Memang! Bahkan sengketa di MK menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari. Kita ingat kasus yang pernah dicuatkan Mahfud MD perihal Andi Nurpati pernah dilaporkan mengubah putusan MK soal caleg terpilih. Kini yang sedang hangat dan ramai dibincangkan di twitter bahkan pernah dikupas Metro TV adalah soal “kursi haram” Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra yang kini sudah duduk di DPR RI, yang dianggap perolehan suaranya digelembungkan saat perhitungan suara secara nasional di Hotel Borobudur.

[caption id="attachment_308541" align="aligncenter" width="640" caption="Caleg dari Hanura, Golkar dan PPP bersama ibu Siti Zuhro (foto : www.merdeka.com)"]

1390793280531583553
1390793280531583553
[/caption]

DEMOGRAFI PEMILIH DAN BASIS MASSA PEMILIH

Memperebutkan suara pemilih dalam suatu Dapil dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain faktor keterkenalan caleg dan parpol pengusungnya, juga issu-issu aktual yang bisa mendongkrak atau justru memurukkan peluang parpol dan caleg dalam mendulang suara. Faktor lain adalah basis massa yang dimiliki suatu parpol. Ada parpol yang karena faktor historis atau kultural, memiliki keterikatan secara tradisional dengan masyarakat di suatu daerah tertentu. Semisal di Jawa Timur dikenal istilah daerah “tapal kuda” yang merupakan basis warga Nahdliyyin (pengikut NU). Ini merupakan ladang bagi parpol Islam yang punya keterkaitan sejarah dengan NU, misalnya PKB dan PPP. Wilayah Pulau Madura misalnya, dulu di masa Orba saat kharisma Kyai Alawy Muhammad sangat disegani, nyaris mutlak suara Madura menjadi “milik” PPP. Sedangkan di bagian selatan Jatim, seperti Malang selatan, Blitar, dulu dikenal sebagai basis massa PDI. Sekarang menjadi lumbung suara PDIP sebagai reinkarnasi PDI. Daerah Pacitan punya keterikatan psikologis dengan SBY dan tentu jadi lumbung bagi Demokrat.

Setiap wilayah bisa dipetakan karakter masyarakatnya secara historis, kultural dan sosial ekonomi kira-kira jadi basis massa bagi parpol apa. Jadi, seorang caleg yang ditempatkan di Dapil dimana suatu parpol tak memiliki basis massa, meski diberi nomor urut teratas, si caleg harus bekerja ekstra keras untuk bisa terpilih. Mulai dari mengenalkan dirinya dan parpolnya, membangun kedekatan dengan warga setempat sampai memastikan dia memiliki calon pemilih loyal yang akan tetap memilihnya meski ada serangan fajar. Ini jelas bukan persoalan mudah. Apalagi bagi caleg DPR RI dan DPRD Propinsi yang Dapilnya terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota. Sedangkan caleg DPRD Kabupaten/Kota dapilya hanya beberapa kecamatan saja. Namun tetaplah bukan urusan mudah mengumpulkan ribuan suara pemilih di tengah kondisi masyarakat yang skeptis bahkan sinis dan apatis pada politik dan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi pada parpol.

===========================================

[caption id="attachment_308542" align="aligncenter" width="640" caption="Yang penting happy! (www.depoknews.com)"]

13907936461444400167
13907936461444400167
[/caption]

Angel Lelga sesungguhnya korban parpol. Ia ditempatkan di Dapil kering, dapil dimana PPP belum memiliki kursi satu pun. Klaten, Boyolali dan sekitarnya bukanlah basis massa PPP. Seorang penggiat hak perempuan pernah mengkritisi strategi parpol menempatkan caleg perempuan sekedar pemenuh kuota saja. Caleg-caleg itu dipasang hanya agar DCS parpol tak ditolak KPU, asal memenuhi syarat komposisi 30% perempuan. Padahal, para caleg perempuan itu ditempatkan di Dapil yang mereka tak kenal karakter masyarakatnya, tak paham bahasa daerahnya, bagaimana akan menyerap aspirasi? Jika sebuah parpol belum pernah meraih kursi di Dapil tertentu, itu artinya parpol tersebut tak punya basis massa disana. Bagaimana bisa caleg yang tanpa kemampuan sosial-kemasyarakatan, tanpa pengalaman organisasi, tanpa ilmu manajemen massa, bisa membangun basis massa loyal yang kelak akan memilihnya?

Nah para caleg seleb dan bintang sexy, jangan bangga dulu bahwa kalian dilirik parpol dan diajak nyaleg. Siapa tahu itu hanya strategi parpol untuk menutup kekurangan caleg demi memenuhi kuota 30% perempuan dan popularitasnya sekedar dijadikan vote getter saja. Sutiyoso, Ketum PKPI – di Metro TV dalam segmen khusus Metro Malam Akhir Pekan perihal kontroversi caleg seksi – menyatakan bahwa jika tak mencalegkan Destiara Talita, seluruh caleg partainya akan gugur 1 Dapil karena perempuannya kurang dari 30%. Kebetulan di Dapil itu yang siap hanya Destiara Talita jelang deadline penyerahan DCS ke KPU. Nah lho! Ternyata kejar setoran 30% kuota caleg perempuan dan kejar tayang sebelum pendaftaran ditutup KPU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun