Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[CFBD] Jarik Pemberian Bude, Seawet Pernikahan Tempo Doeloe

30 Agustus 2012   02:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_202893" align="aligncenter" width="522" caption="2 Lembar jarik batik kuno pemberian Bude Yam (foto-foto koleksi pribadi)"][/caption]

Dulu, waktu aku masih kecil, sekitar tahun ’70-an sampai awal ’80-an, kalau menghadiri undangan resepsi pernikahan, Ibuku selalu mengenakan kebaya komplit dengan jarik (kain panjang) dan selendang. Kalau sudah “musim” undangan manten, pasti semua koleksi kebaya dan jarik Ibu keluar dari lemari. Karena terbiasa harus berbusana Jawa komplit,Ibu piawai bersanggul sendiri tanpa harus ke salon. Dandanan jaman dulu pun sederhana, paling hanya menambahkan bedak, pensil alis dan lipstick.

Seiring waktu – entah bagaimana awal mulanya – tradisi berbusana tradisional ke pesta pernikahan berangsur menghilang. Koleksi kebaya dan jarik Ibu pun satu demi satu tak ada lagi di lemari. Entah kemana, mungkin sebagian ada yang dibagikan ke sanak saudara, ada yang dipakai jadi kain penutup kalau sedang pijat, dll. Terakhir, salah satu selendang Ibu yang masih disimpan – meski jarik pasangannya sudah jadi alas setrikaan – jadi gendongan boneka keponakanku.

[caption id="attachment_202894" align="aligncenter" width="522" caption="Motif batik pemberian Bude"]

13462940781518045278
13462940781518045278
[/caption]

Kini, hanya tersisa 2 lembar jarik di lemari Ibu. Meski Ibu sudah pindah rumah 3 kali, namun 2 lembar jarik itu selalu dibawa serta. Sebenarnya jarik itu bukan milik Ibu, melainkan pemberian Bude, kakak sepupu Bapak. Kami memanggilnya Bude Yam (nama aslinya Siti Maryam). Beliau sudah wafat 14 tahun lalu, Juli 1998, karena sakit kanker paru di usia 80-an tahun. Jarik peninggalannya diberikan pada Ibu ketika Bude Yam masih sehat. Jarik itu bukan baru dibeli untuk dihadiahkan pada Ibu, tapi jarik milik Bude yang sudah sering dipakai. Umumnya, dalam tradisi persaudaraan di keluarga kami, barang kesayangan yang sudah terbiasa dipakai lalu diberikan kepada saudara adalah perlambang kasih sayang. Si penerima tak merasa diberi barang bekas, justru sebaliknya merasa tersanjung diberi barang kesukaan pemiliknya.

Bude Yam adalah perempuan generasi kuno yang terbiasa mengenakan kebaya dan jarik sejak masih kanak-kanak. Banyak dokumentasi lawas menggambaran tradisi berpakaian seperti ini di masyarakat Jawa tempo dulu, seperti foto-foto murid-murid R.A. Kartini, yang semuanya berkebaya dan berjarik meski masih anak-anak. Menurut Bude Yam, dulu pun beliau terbiasa bermain dengan busana seperti itu. Bude Yam menanggalkan kebaya dan jarik lalu meggantinya dengan setelan busana muslimah setelah beliau menunaikan ibadah haji sekitar pertengahan tahun ’80-an. Tapi tetap saja model busana muslimahnya mirip kebaya dan jarik, hanya desainnya lebih praktis.

[caption id="attachment_202895" align="aligncenter" width="522" caption="Motif yang lain"]

13462944081714590679
13462944081714590679
[/caption]

Ada cerita Bude Yam yang unik, lucu dan menarik yang masih kuingat sampai sekarang. Soal perjodohannya dengan almarhum suaminya. Kata Bude, sesuai adat dan kebiasaan jaman dulu, beliau sudah dijodohkan sejak kecil dengan seseorang, sesuai kesepakatan orang tua kedua pihak. Biasanya masih ada hubungan keluarga atau kerabat. Karena Bude masih anak-anak, beliau hanya diberitahu bahwa pemuda Soewondo kelak akan jadi “Kangmas”-nya. Saat itu usia “calon” jodoh Bude sudah remaja. Seperti lazimnya perjodohan jaman dulu, beda usia bisa sampai 10 tahunan.

Begitulah kesehariannya, Bude bermain-main ditemani pengasuhnya, sementara pemuda calon jodohnya bermain dengan teman-teman sebayanya, terkadang dia pun menunggui Bude bermain. Bahkan peran pengasuh menemani Bude bermain, makin berkurang dan berangsur digantikan oleh calon jodohnya. Jadi kebiasaan “ngemong” calon istri sudah dibiasakan dijalani oleh seorang remaja pria jaman dulu. Mungkin dengan cara continously by nature seperti ini, para orang tua jaman dulu berusaha menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang pada anak-anak yang mereka jodohkan.

[caption id="attachment_202896" align="aligncenter" width="522" caption="Motif batik kuno vs batik modernm, yang simple vs yang colorfull"]

1346294478386650294
1346294478386650294
[/caption]

Sampai kemudian tibalah saatnya Bude mengalami haid pertama kali, pertanda beliau sudah memasuki masa gadisnya. Saat itulah mereka baru benar-benar dinikahkan. Dan dalam kepolosan dan keluguan gadis cilik jaman dulu, Bude juga tak tahu apa esensi pernikahan itu. Yang beliau tahu hanyalah : mulai malam nanti beliau tak lagi tidur ditemani pengasuhnya, sebab harus tidur diteman “Kangmas”nya. Entah seperti apa pasangan jaman dulu – yang tentunya jika dibandingkan usia pasangan jaman sekarang memulai pernikahan sangat jauh berbeda – memulai kehidupan pernikahannya sebagai suami istri. Tentu butuh kesabaran dan pengertian dari pengantin pria untuk menuntut haknya sebagai suami, ketika istrinya yang masih gadis cilik – kalau sekarang disebut ABG – belum sepenuhnya siap menjalankan perannya sebagai istri.

Yang jelas, pasangan R.M. Soewondo dan R. Ay. Siti Maryam termasuk pasutri tempo  doeloe yang dijodohkan oleh orang tua sejak dini, namun pernikahannya awet sampai maut memisahkan dan relatif tak ada gejolak. Bude mengabdi sepenuh hati pada suami, sedang suaminya “ngemong” dan menerima istrinya apa adanya. Bude Yam dan Pakde Wondo cukup lama menunggu untuk dikaruniai momongan. Kendati cukup lama rumah tangga mereka tak diramaikan buah hati perekat pernikahan, toh pernikahan mereka tak goncang oleh godaan. Keduanya bersabar menjalani takdir. Padahal jaman dulu belum ada teknologi kedokteran untuk menguji siapa gerangan dari mereka berdua yang dianggap memiliki kelemahan hingga sulit punya anak.

[caption id="attachment_202897" align="aligncenter" width="522" caption="Batik kuno vs batik modern, yang kalem vs yang nge-jreng"]

13462946901369034167
13462946901369034167
[/caption]

Belasan tahun menunggu, akhirnya pernikahan mereka membuahkan 2 putri yang cantik. Kini kedua putrinya sudah berusia 59 dan 57 tahun, bahkan putri pertamanya sudah dikarunia 2 cucu dari kedua putra dan putrinya.

Kalau melihat jarik batik peninggalan Bude yang masih awet sampai sekarang bahkan warnanya tak pudar sedikitpun meski sudah kerapkali dipakai, tentu bukan tanpa sebab. Jarik batik itu dirawat dengan baik, dicuci bersih dengan buah kelerak (khusus pencuci batik), bukan dengan detergen instant. Dijemurnya pun tak langsung kena panas matahari. Setelah dijemur, lipatannya saat menyetrika tetap dijaga pada pola yang sama. Bandingkan batik-batik jaman sekarang yang umumnya lebih mudah luntur, kusam dan pudar warnanya. Batik jaman dulu warnanya lebih sederhana, soft, simple dan tidak colorful, tapi setiap motifnya punya makna dan perlambang.

Mungkin begitu pula analogi pernikahan tempo doeloe dibandingkan kebanyakan pernikahan jaman sekarang. Pasangan jaman dulu menerima begitu saja perjodohan yang ditakdirkan pada mereka. Pemikirannya sederhana, expectasy-nya tidak tinggi, life style-nya simple, kebutuhannya tak terlalu banyak dan tidak neko-neko. Kemudian keduanya merawat pernikahannya dengan baik, saling menjaga perasaan masing-masing, tidak menyalahkan atas kekurangannya (misalnya lama tak punya anak), serta dilandasi saling setia sampai akhir.

13462950641688255640
13462950641688255640

Bandingkan dengan beberapa pernikahan jaman sekarang yang banyak diawali dengan masa pacaran yang lama, bahkan sudah terlibat hubungan suami istri sejak sebelum menikah, namun gagal mempertahankan keutuhan rumah tangganya karena salah satu atau bahkan keduanya mudah tergoda orang ketiga. Bahkan sekedar tuntutan gaya hidup yang tinggi pun bisa jadi pemicu perceraian. Maraknya gadget dan pesatnya perkembangan teknologi, kadang turut berkontribusi memperburuk hubungan keluarga. Ironis memang, masyarakat modern kalah dibandingkan masyarakat “kuno” menjaga keutuhan pernikahannya. Sepertibatik kuno lebih awet dari batik modern.

------------------------------------------------------------

Tulisan ini didedikasikan untuk memeriahkan HUT Cengengesan Family (CFBD) yang pertama, tanggal 30 Agustus 2012. Happy anniversary CF... !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun