[caption id="attachment_190562" align="aligncenter" width="620" caption="Berita hilangnya Ali Azhar Akbar di Majalah Indopetro (sumber : Kompas.com)"][/caption]
Kalau anda buka situs Google dan mengetikkan kata pencari “Ali Azhar”, maka Om Google secara otomatis akan menyarankan kata tambahan diantaranya “ALI AZHAR AKBAR”. Tentu hal ini bisa terjadi karena belakangan kata itu sering muncul dalam situs mensin pencari terbesar di dunia itu. Siapa sih dia? Artis bukan, seleb bukan, politisi bukan, teroris juga bukan! Ali Azhar Akbar adalah alumnus Teknik Perminyakan ITB, selama 4 tahun ia meneliti kasus lumpur Lapindo hingga akhirnya menelurkan buku setebal 449 halaman. Bukunya berjudul Lapindo File : KONSPIRASI SBY – BAKRIE. Buku tersebut pertama kali diluncurkan sehari sebelum 6 tahun peringatan Lumpur Lapindo pada 28 Mei 2012 lalu. Cetakan pertamanya 15 ribu eksemplar.(sumber : detik.com).
Pertama kali saya baca berita tentang AAA ini pada Sabtu dini hari, ketika saya terbangun dan membuka Facebook di BB, seorang teman men-share-kan sebuah berita yang bersumber dari Tribunnews.com tentang dugaan hilangnya AAA. Menurut berita itu, penulis buku Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, diduga menghilang. Kontak terakhir yang pernah dia lakukan terjadi tiga hari lalu (Selasa). Sedianya Ali datang sebagai pembicara dalam acara bedah buku tersebut di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Jumat (22/6/2012). Namun, saat para pembicara diskusi naik ke atas panggung, Ali tidak nampak.
[caption id="attachment_190563" align="aligncenter" width="285" caption="Cover buku karya Ali Azhar Akbar (sumber : detik.com)"]
Direktur Indopetro Publishing yang menerbitkan buku itu, Kusairi,menyatakan pihaknhya tidak bisa menghubungi Ali Azhar sejak tiga hari yang lalu. Dia bercerita pertemuan terakhir kali dengan Ali Azhar pada Jumat pekan lalu di Mahkamah Konstitusi. Saat itu mereka tengah mengajukan permohonan judicial review atas pasal 18 UU APBNP mengenai lumpur Lapindo. Ali Azhar mengatakan, bahwa dia sudah berada di Bandung pada hari Selasa (19/6/2012).
Ternyata, Sabtu siang waktu saya coba googling, sudah banyak media mainstream dan media online yang memberitakan masalah ini. Kompas.com membuat judul yang sangat mirip dengan Tribunnews.com dan isinya pun serupa. Sedangkan di Tempo.co diberitakan bahwa hilangnya AAA ini akan segera jadi urusan polisi jika pihak keluarga telah melaporkan. Di berita yang lain Tempo.co juga memberitakan soal teror melalui SMS yang diterima AAA setelah dia ikut mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
[caption id="attachment_190564" align="aligncenter" width="502" caption="Tulisan Ratu Adil yang ditayangkan pada 5 April 2012, divoting oleh 15 dari 15 Kompasianer menilai AKTUAL"]
Menurut tulisan itu, AAA adalah orang sudah malang melintang di ranah penelitian lingkungan. Ia adalah seorang pegiat HAM yang memiliki kepedulian terhadap persoalan-persoalan lingkungan. Lelaki kelahiran Jakarta 31 Agustus 1961 merupakan lulusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia melanjutkan studinya pada Pendidikan Lanjutan Bidang Hukum Minyak dan Gas Bumi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pernah mengikuti kursus Dasar AMDAL dan Kursus Penyusunan AMDAL di Pusat Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada serta manajemen Lingkungan di jurusan Teknik Lingkungan ITB. Juga pernah mengikuti pelatihan di E-LAW (Environmental Law Alliance Worldwide) US di Eugene, Oregon. Jadi, buku tulisan Ali Azhar Akbar pastilah BUKAN buku kacangan dan tidak ditulis dengan asal-asalan.
Kalau benar sampai saat ini Pak Ali Azhar Akbar belum diketemukan, saya hanya bisa mendoakan semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT, dalam kondisi baik – fisik maupun psikis – dan bisa segera berkumpul lagi bersama keluarga dan melanjutkan perjuangannya menguak banyak hal busuk yang rakyat perlu tahu, terutama sebelum tahun 2014.
Sementara itu, Sabtu malam, ketika saya berusaha mengunjungi sebuah alamat situs yang muncul dari pencarian di Google, yaitu situs inagist.com yang menayangkan berita dengan judul Ali Azhar Akbar : Kasus Lapindo adalah State Corporate Crime, situs itu sudah tidak bisa lagi diakses pada laman berita tersebut. Meski judul dan link beritanya masih muncul di Google search, tapi konten beritanya sudah tidak bisa diakses dan ada tulisan besar berbunyi : sorry..., but the requested data is not available currently. Hmm..., saya jadi ingat jaman Orde Baru. Menjelang keruntuhan Orba, seorang wartawan hilang dan kemudian ditemukan tak bernyawa karena berita yang ditulisnya mengenai seorang kepala daerah yang masih kerabat penguasa. Atau dibreidelnya media massa mainstream jika beritanya dianggap tak sejalan dengan kehendak penguasa.
[caption id="attachment_190570" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Doni Guntoro yang akhir-akhir ini rajin sekali berkampanye soal Lapindo"]
[caption id="attachment_190571" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Doni Guntoro. Kedua screenshoot itu di-capture pada tanggal 09 April 2012"]
MEDIA ALTERNATIF SEMACAM KOMPASIANA BISA DIJADIKAN SARANA ”KAMPANYE”
Tiba-tiba saya ingat pada tulisan Ratu Adil – Kompasianer yang pernah kontroversial karena menuduh ada Goerge Toisutta di balik video porno anggota DPR KMN – yang ditayangkan pada 05 April 2012 lalu, tepat tanggal pertama kali ia bikin akun di Kompasiana. Tulisannya berjudul Lapindo, Perjanjian Keluarga Bakrie dan Pemerintah. Tulisan itu bikin heboh karena beberapa saat setelah ditayangkan sudah nangkring di urutan teratas kolom “Teraktual” karena votingnya 15 dari 15 Kompasianer menilai aktual. Ironisnya, hampir semua komentar yang mampir disana justru kontra dengan tulisan itu. Beberapa komentar yang pro, ketika di-click, ternyata memiliki kemiripan : sama-sama gabung di Kompasiana bulan Oktober 2011, kebanyakan tak memiliki tulisan atau hanya punya 1-2 tulisan tentang keluarga Bakrie, serta tak memiliki pertemanan.
Ketika Kompasiana melengkapi fitur yang menampilkan siapa saja yang memberikan vote, kemarin saya temukan siapa saja 15 voters di tulisan Ratu Adil itu. Nama akun dan alamat akun saya tampilkan dengan mengeliminasi www.kompasiana.com (hanya nama di belakang tanda “/” yang saya tampilkan).
No.
Nama & Alamat akun
Tgl. Gabung
Jml. Teman
Jml. Tulisan
Tanggapan
1.
Asty Ulandari (AstyUlan)
05-10-2011
2
0
5
2.
Budi Liem (BudiLiem)
07-10-2011
2
8
8
3.
Kristina Tobing (kristintobing)
13-10-2011
19
17
12
4.
Reihan Rahadian (reirahadian)
14-10-2011
4
8
9
5.
Yoga Prakarsa (yogakarsa)
09-03-2012
6
1
2
6.
Lintang Herdina (LinHerdina)
06-10-2011
7
2
0
7.
Imelda Natalia (imeldanatalia)
07-10-2011
53
10
58
8.
Hartoni Sucipto (HarCipto)
13-10-2011
9
6
9
9.
Melati Larasati (melarasati)
14-10-2011
0
1
0
10.
Mika Arumba (ArumbaMika)
09-03-2012
0
0
8
11.
Anita Baker (BlueAnita)
06-10-2011
21
3
19
12.
Chandra Kurniawan (chandrakur)
13-10-2011
0
1
7
13.
Sarifudin Lubis (sariflubis)
13-10-2011
24
21
37
14.
Guruh Pratama (guruhtama)
14-10-2011
0
0
3
15.
Ratu Adil (ratu.adil)
05-04-2012
34
9
97
Data tersebut saya tabulasikan hari Minggu, 25 Juni 2012. Sementara, ketika berpolemik dengan Ratu Adil pada tulisannya yang diposting tanggal 05April 2012, saya sempat membuat foto screenshoot beberapa akun yang saya curigai kloningan, saat itu mereka belum memiliki pertemanan. Memang yang berkomentar di tulisan itu rata-rata mentertawakan kenapa mereka tak saling berteman padahal saling berkomentar mendukung dalam tulisannya satu sama lain. Maka, bisa jadi beberapa akun itu kemudian meminta pertemanan pada Kompasianer asli (bukan kloningan) agar tak tampak menyolok.
[caption id="attachment_190572" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Joko Setiawan, screenshoot di-capture pada tanggal 07 April 2012"]
[caption id="attachment_190573" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Imelda Natalia, screenshoot di-capture pada 07 April 2012"]
[caption id="attachment_190574" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Budi Liem, screenshoot di-capture pada tanggal 07 April 2012"]
Coba perhatikan, selain memiliki kemiripan tanggal gabung, akun-akun tersebut juga mirip cara menyingkat namanya. Pada akun-akun yang memiliki tulisan, kebanyakan tulisan-tulisan itu tentang keluarga Bakrie atau tentang Denny AK. Entah siapa Denny AK ini, tampaknya praktisi dalam bisnis telekomunikasi. Selain itu juga ada beberapa yang menulis tentang Telkomsel. Mungkin ini juga terkait dengan persinggungan para pihak yang ditulis dengan bisnis keluarga Bakrie di bidang telekomunikasi.
Ada akun yang memiliki banyak tulisan, tapi tanggapannya sedikit. Lintang Herdina misalnya, tulisannya Penyelesaian Pembayaran Lapindo Capai 76% dijadikan Terekomendasi oleh Admin, tapi semua yang berkoentar di situ tak satupun dijawab oleh penulisnya. Aneh bukan? Tulisan itu diposting dan masuk Terekomendasi pada 31 Mei 2012, tapi sampai esok harinya ketika saya foto screenshoot, jumlah pembacanya saat itu masih di angka 300-an. Tidak seperti tulisan Terekomendasi lainnya yang bisa lebih dari 700-an click dalam tempo semalam. Tulisan ini muncul sehari setelah saya membuat tulisan selama 2 hari berturut-turut tentang kecerobohan pengeboran oleh Lapindo yang berakibat munculnya semburan lumpur panas, yang saya sadur/resume-kan dari buku terbitan Kompas.
[caption id="attachment_190575" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Lintang Herdina"]
[caption id="attachment_190576" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Lintang Herdina yang TEREKOMENDASI. Screenshoot di-capture tgl 01 Juni 2012, sehari setelah TEREKOMENDASI"]
Sama dengan tulisan Ratu Adil, tulisan Lintang pun di-vote oleh 14 orang yang menilai Aktual. Siapa yang men-vote tulisan Lintang? Tak lain adalah sebagian akun yang men-vote tulisan Ratu Adil plus 4 akun lagi yang ternyata meski BUKAN “kelahiran” Oktober 2011, tapi kelahiran antara Pebruari, Maret, April, namun punya kemiripan : punya 0 (nol) tulisan tapi jumlah komentarnya 59 -142 tanggapan. Ini biasanya ciri akun kloningan yang sengaja diciptakan hanya untuk memberi komentar dan vote semata.
Belakangan, sejak 18 Juni 2012, akun atas nama Doni Guntoro – akun kelahiran 7 Oktober 2011 – “rajin” membuatr tulisan tentang Lapindo. Pada 18 Juni tulisannya berjudul Semakin Pemerintah Digugat Semakin Rakyat Lapindo Sekarat dijadikan HL oleh Admin. Dari judulnya saja sudah kelihatan bahwa penulis ingin menggiring opini agar menghentikan upaya gugatan terhadap pembayaran “jual-beli” lahan korban Lapindo yang menggunakan uang negara alias APBN. Anehnya, penulis berhenti berkomentar/membalas komentar setelah saya menuliskan komentar yang membuka kedoknya sebagai akun kloningan serta menyebutkan beberapa nama akun kloningan lainnya yang sama-sama kelahiran Oktober 2011.
[caption id="attachment_190577" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Doni Guntoro tanggal 18 Juni 2012 yang jadi HL"]
Tak cukup sampai di situ, tanggal 20 Juni, kembali menulis Busuk Politik di Kasus Lapindo. Lagi-lagi yang dipersoalkan tentang upaya gugatan UU APBNP ke Mahkamah Konstitusi oleh Letjen (Purn) Suharto, Tjuk Kasturi Sukiadi dan Ali Azhar Akbar. Kali ini akun-akun kloningan yang dikerahkan untuk membantunya menjawab komentar Kompasianer lain adalah akun-akun yang namanya belum saya sebutkan pada tulisan tanggal 18 Juni. Tapi sekali lagi, ketika saya sudah memberikan komentar, langsung si penulis dan kloningannya berhenti berkomentar dan tulisan ditinggalkan begitu saja.
[caption id="attachment_190578" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Doni Guntoro tanggal 20 Juni 2012"]
Lagi, tanggal 21 Juni Doni Guntoro menulis Korban Lapindo Kesal Jadi Korban Politik. Lagi-lagi kali ini dia mengerahkan kloningannya yang lain lagi untuk “berdiskusi” dengannya. Kali ini saya muncul terlalu awal, sehingga setelah komentar saya itu, kembali kelompok itu menghilang dan komentar selanjutnya dari Kompasianer lain tak lagi dijawab. Lagi-lagi tulisan Doni – seperti juga 2 tulisan sebelumnya – mempersoalkan upaya Ali Azhar Akbar menggugat UU APBNP atau UU no 14/2012. Tulisan Ratu Adil yang saya sebut di atas pun merisaukan upaya Dr. Yusril Ihza Mahendra menpersoalkan pasal 5 UU APBNP 2012. Artinya, keduanya sama-sama risau dan galau dengan upaya gugatan atau mempersoalkan dana APBN untuk Lapindo.
[caption id="attachment_190580" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Doni Guntoro tanggal 21 Juni 2012"]
Jadi kalau saja apa yang ditulis AAA bukanlah sebuah kebenaran, mestinya untuk melawannya cukup mudah. Tinggal gugat saja penulisnya secara hukum, laporkan polisi jika ia dianggap mencemarkan nama baik atau dinilai melakukan kebohongan publik melalui bukunya. Bukankah cara-cara ini lebih fair dan sekaligus mendidik masyarakat agar tak mudah terpengaruh? Tapi kenapa cara yang dipilih – jika memang kelak terbukti benar AAA “hilang” – justru penghilangan penulisnya secara paksa? Apakah AAA dinilai berbahaya?
[caption id="attachment_190581" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Chandra Kurniawan, screenshoot di-capture pada tanggal 09 April 2012"]
Kalau soal gugatan UU APBNP ke MK, bukankah yang melakukan banyak pihak, bukan hanya AAA? Yusril Ihza Mahendra pun melakukannya. Apakah karena AAA dianggap punya data-data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan teknis untuk mendukung dikabulkannya gugatan itu? Dengan latar belakang keilmuan yang dimilikinya, AAA tentu punya dasar kenapa menggugat UU APBNP ke Mahkamah Konstitusi. Mungkin saja AAA melihat bahwa kejadian ini bukanlah bencana alam tapi merupakan kelalaian pengeboran, seperti yang pernah saya tulis, bersumber dari resume buku yang diterbitkan penerbit Kompas tahun 2007.
Lalu, siapa pihak yang paling dirugikan atau merasa takut/khawatir dengan gugatan atas UU APBNP ke MK? Apakah momen menghilangnya Ali Azhar Akbar ini secara kebetulan saja hampir bersamaan dengan maraknya tulisan kampanye di Kompasiana untuk menggiring opini bahwa gugatan ke MK itu justru merugikan korban lumpur? Semoga saja semuanya memang hanya kebetulan belaka.
Jujur saja saya ngeri jika cara-cara Orde Baru itu kembali digunakan. Ada sedikit pesan saya kepada Admin Kompasiana, mengingat 2 tahun menjelang Pilpres 2014 ini suhu politik makin panas dan akun kloningan dengan tujuan politis juga makin marak, ada baiknya tulisan berbau politik yang ditulis oleh akun yang tidak terverifikasi agar dipertimbangkan untuk dipilih menjadi HL atau Terekomendasi. Agar tak terlanjur menimbulkan kehebohan seperti tulisan Ratu Adil tentang George Toisutta 2 bulan lalu. Kecuali jika Kompasiana memang hanya mengejar traffic kunjungan semata. Tapi saya yakin nama besar Kompas terlalu murah jika dikorbankan oleh kelalaian Kompasiana memilah mana tulisan yang layak HL dan Terekomendasi, apakah ditulis oleh penulis yang bertanggungjawab ataiu tidak. Jika komentar dibiarkan saja tak dibalas, bukankah itu sudah wujud kurangnya rasa tanggungjawab penulis? Saya berharap iklim menulis di Kompasiana tetap sehat, nyaman dan tentu saja aman! Bebas dari rasa takut penghilangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H