97
Data tersebut saya tabulasikan hari Minggu, 25 Juni 2012. Sementara, ketika berpolemik dengan Ratu Adil pada tulisannya yang diposting tanggal 05April 2012, saya sempat membuat foto screenshoot beberapa akun yang saya curigai kloningan, saat itu mereka belum memiliki pertemanan. Memang yang berkomentar di tulisan itu rata-rata mentertawakan kenapa mereka tak saling berteman padahal saling berkomentar mendukung dalam tulisannya satu sama lain. Maka, bisa jadi beberapa akun itu kemudian meminta pertemanan pada Kompasianer asli (bukan kloningan) agar tak tampak menyolok.
[caption id="attachment_190572" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Joko Setiawan, screenshoot di-capture pada tanggal 07 April 2012"]
[caption id="attachment_190573" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Imelda Natalia, screenshoot di-capture pada 07 April 2012"]
[caption id="attachment_190574" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Budi Liem, screenshoot di-capture pada tanggal 07 April 2012"]
Coba perhatikan, selain memiliki kemiripan tanggal gabung, akun-akun tersebut juga mirip cara menyingkat namanya. Pada akun-akun yang memiliki tulisan, kebanyakan tulisan-tulisan itu tentang keluarga Bakrie atau tentang Denny AK. Entah siapa Denny AK ini, tampaknya praktisi dalam bisnis telekomunikasi. Selain itu juga ada beberapa yang menulis tentang Telkomsel. Mungkin ini juga terkait dengan persinggungan para pihak yang ditulis dengan bisnis keluarga Bakrie di bidang telekomunikasi.
Ada akun yang memiliki banyak tulisan, tapi tanggapannya sedikit. Lintang Herdina misalnya, tulisannya Penyelesaian Pembayaran Lapindo Capai 76% dijadikan Terekomendasi oleh Admin, tapi semua yang berkoentar di situ tak satupun dijawab oleh penulisnya. Aneh bukan? Tulisan itu diposting dan masuk Terekomendasi pada 31 Mei 2012, tapi sampai esok harinya ketika saya foto screenshoot, jumlah pembacanya saat itu masih di angka 300-an. Tidak seperti tulisan Terekomendasi lainnya yang bisa lebih dari 700-an click dalam tempo semalam. Tulisan ini muncul sehari setelah saya membuat tulisan selama 2 hari berturut-turut tentang kecerobohan pengeboran oleh Lapindo yang berakibat munculnya semburan lumpur panas, yang saya sadur/resume-kan dari buku terbitan Kompas.
[caption id="attachment_190575" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Lintang Herdina"]
[caption id="attachment_190576" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Lintang Herdina yang TEREKOMENDASI. Screenshoot di-capture tgl 01 Juni 2012, sehari setelah TEREKOMENDASI"]
Sama dengan tulisan Ratu Adil, tulisan Lintang pun di-vote oleh 14 orang yang menilai Aktual. Siapa yang men-vote tulisan Lintang? Tak lain adalah sebagian akun yang men-vote tulisan Ratu Adil plus 4 akun lagi yang ternyata meski BUKAN “kelahiran” Oktober 2011, tapi kelahiran antara Pebruari, Maret, April, namun punya kemiripan : punya 0 (nol) tulisan tapi jumlah komentarnya 59 -142 tanggapan. Ini biasanya ciri akun kloningan yang sengaja diciptakan hanya untuk memberi komentar dan vote semata.
Belakangan, sejak 18 Juni 2012, akun atas nama Doni Guntoro – akun kelahiran 7 Oktober 2011 – “rajin” membuatr tulisan tentang Lapindo. Pada 18 Juni tulisannya berjudul Semakin Pemerintah Digugat Semakin Rakyat Lapindo Sekarat dijadikan HL oleh Admin. Dari judulnya saja sudah kelihatan bahwa penulis ingin menggiring opini agar menghentikan upaya gugatan terhadap pembayaran “jual-beli” lahan korban Lapindo yang menggunakan uang negara alias APBN. Anehnya, penulis berhenti berkomentar/membalas komentar setelah saya menuliskan komentar yang membuka kedoknya sebagai akun kloningan serta menyebutkan beberapa nama akun kloningan lainnya yang sama-sama kelahiran Oktober 2011.
[caption id="attachment_190577" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Doni Guntoro tanggal 18 Juni 2012 yang jadi HL"]
Tak cukup sampai di situ, tanggal 20 Juni, kembali menulis Busuk Politik di Kasus Lapindo. Lagi-lagi yang dipersoalkan tentang upaya gugatan UU APBNP ke Mahkamah Konstitusi oleh Letjen (Purn) Suharto, Tjuk Kasturi Sukiadi dan Ali Azhar Akbar. Kali ini akun-akun kloningan yang dikerahkan untuk membantunya menjawab komentar Kompasianer lain adalah akun-akun yang namanya belum saya sebutkan pada tulisan tanggal 18 Juni. Tapi sekali lagi, ketika saya sudah memberikan komentar, langsung si penulis dan kloningannya berhenti berkomentar dan tulisan ditinggalkan begitu saja.
[caption id="attachment_190578" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Doni Guntoro tanggal 20 Juni 2012"]
Lagi, tanggal 21 Juni Doni Guntoro menulis Korban Lapindo Kesal Jadi Korban Politik. Lagi-lagi kali ini dia mengerahkan kloningannya yang lain lagi untuk “berdiskusi” dengannya. Kali ini saya muncul terlalu awal, sehingga setelah komentar saya itu, kembali kelompok itu menghilang dan komentar selanjutnya dari Kompasianer lain tak lagi dijawab. Lagi-lagi tulisan Doni – seperti juga 2 tulisan sebelumnya – mempersoalkan upaya Ali Azhar Akbar menggugat UU APBNP atau UU no 14/2012. Tulisan Ratu Adil yang saya sebut di atas pun merisaukan upaya Dr. Yusril Ihza Mahendra menpersoalkan pasal 5 UU APBNP 2012. Artinya, keduanya sama-sama risau dan galau dengan upaya gugatan atau mempersoalkan dana APBN untuk Lapindo.
[caption id="attachment_190580" align="aligncenter" width="614" caption="Tulisan Doni Guntoro tanggal 21 Juni 2012"]
Jadi kalau saja apa yang ditulis AAA bukanlah sebuah kebenaran, mestinya untuk melawannya cukup mudah. Tinggal gugat saja penulisnya secara hukum, laporkan polisi jika ia dianggap mencemarkan nama baik atau dinilai melakukan kebohongan publik melalui bukunya. Bukankah cara-cara ini lebih fair dan sekaligus mendidik masyarakat agar tak mudah terpengaruh? Tapi kenapa cara yang dipilih – jika memang kelak terbukti benar AAA “hilang” – justru penghilangan penulisnya secara paksa? Apakah AAA dinilai berbahaya?
[caption id="attachment_190581" align="aligncenter" width="614" caption="Akun Chandra Kurniawan, screenshoot di-capture pada tanggal 09 April 2012"]
Kalau soal gugatan UU APBNP ke MK, bukankah yang melakukan banyak pihak, bukan hanya AAA? Yusril Ihza Mahendra pun melakukannya. Apakah karena AAA dianggap punya data-data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan teknis untuk mendukung dikabulkannya gugatan itu? Dengan latar belakang keilmuan yang dimilikinya, AAA tentu punya dasar kenapa menggugat UU APBNP ke Mahkamah Konstitusi. Mungkin saja AAA melihat bahwa kejadian ini bukanlah bencana alam tapi merupakan kelalaian pengeboran, seperti yang pernah saya tulis, bersumber dari resume buku yang diterbitkan penerbit Kompas tahun 2007.
Lalu, siapa pihak yang paling dirugikan atau merasa takut/khawatir dengan gugatan atas UU APBNP ke MK? Apakah momen menghilangnya Ali Azhar Akbar ini secara kebetulan saja hampir bersamaan dengan maraknya tulisan kampanye di Kompasiana untuk menggiring opini bahwa gugatan ke MK itu justru merugikan korban lumpur? Semoga saja semuanya memang hanya kebetulan belaka.
Jujur saja saya ngeri jika cara-cara Orde Baru itu kembali digunakan. Ada sedikit pesan saya kepada Admin Kompasiana, mengingat 2 tahun menjelang Pilpres 2014 ini suhu politik makin panas dan akun kloningan dengan tujuan politis juga makin marak, ada baiknya tulisan berbau politik yang ditulis oleh akun yang tidak terverifikasi agar dipertimbangkan untuk dipilih menjadi HL atau Terekomendasi. Agar tak terlanjur menimbulkan kehebohan seperti tulisan Ratu Adil tentang George Toisutta 2 bulan lalu. Kecuali jika Kompasiana memang hanya mengejar traffic kunjungan semata. Tapi saya yakin nama besar Kompas terlalu murah jika dikorbankan oleh kelalaian Kompasiana memilah mana tulisan yang layak HL dan Terekomendasi, apakah ditulis oleh penulis yang bertanggungjawab ataiu tidak. Jika komentar dibiarkan saja tak dibalas, bukankah itu sudah wujud kurangnya rasa tanggungjawab penulis? Saya berharap iklim menulis di Kompasiana tetap sehat, nyaman dan tentu saja aman! Bebas dari rasa takut penghilangan.