foto-foto koleksi pribadi
Cerita sebelumnya ada di SINI
BERTEMU 4 PETUALANG UNIK
Lama-lama, saya jadi kuatir juga ketertinggalan saya dengan teman-teman makin jauh. Sebab anak-anak muda ini lebih banyak berhenti dan mengambil obyek foto. Padahal, pikiran saya belum sepenuhnya lega, mengingat nasib Kiki belum saya ketahui. Saya harus mengalokasikan waktu jika seandainya sesampai saya di desa, Kiki belum tiba. Artinya, harus ada diantara kami yang menyusul Kiki dan itu berarti lebih cepat saya tiba di desa makin baik agar tak kesorean mencari Kiki. Tapi apalah daya, saya toh tak mungkin meminta anak-anak muda itu mengerti sepenuhnya kegelisahan saya. Ditemanni menempuh perjalanan ini saja sudah cukup membuat saya bersyukur.
Sampai di suatu tempat, ada rombongan kecil yang mendahului kami dari belakang. Saya mengira mereka sekeluarga, dipimpin bapaknya. Saya pun menyapa mereka, lalu cerita ihwal saya tersesat dan ingin lebih cepat sampai ke desa. Si Bapak Tua – saya taksir usianya pertengahan 50-an tahun – mengajak saya ikut rombongannya. Setelah pamit dengan rombongan mahasiswa tadi, saya pun mengikuti si Bapak dengan 3 anak muda, yang seorang diantaranya wanita.
[caption id="attachment_180279" align="aligncenter" width="508" caption="Rombongan kami (saya dan teman-teman kantor) saat start di Ciboleger : masih kompak,semangat dan berseragam"]
Ternyata mereka adalah rombongan pecinta alam dan penyuka perjalanan ekspedisi meretas hutan dan daerah terpencil, yang berkenalan di internet lewat blog-blog. Mereka sudah beberapa kali jalan bersama, si Bapak Tua itu itu pemimpinnya, sebab jam terbangnya sudah banyak. 2 orang lagi usianya masih di kisaran pertengahan 20-an saya kira, dan seorang lagi pria yang kira-kira usianya 30-an. Pria bertubuh kerempeng ini selalu sibuk dengan handycam-nya. Terkadang dia berlari mendahului kami untuk mengambil obyek bidikan handycam-nya. Tak salah saya memilih gabung dengan 4 orang ini, sebab mereka jalannya lebih cepat. Sepanjang jalan si Bapak Tua memberi petuah-petuah bijak, sementara cowok-cewek itu lebih banyak bercanda, dan si pria sedikit nyentrik asyik dengan handy cam. Perpaduan karakter yang unik, tapi menarik untuk jadi teman perjalanan.
Suatu saat, si Bapak Tua itu melihat saya kelelahan. Dia mengajak kami berhenti sejenak di sebuah batu besar. Katanya : “kalau melakukan perjalanan seperti ini, jangan memaksakan diri. Kalau lelah, berhentilah sejenak, duduk dulu, biarkan kakimu beristirahat. Teguklah airmu, basuh mukamu, kalau sudah pulih tenagamu, lanjutkan perjalananmu. Seperti itu juga menjalani hidup ini. Sama seperti kita melakukan perjalanan ini” nasehatnya sambil menghubung-hubungkan dengan aspek spiritual. Wah, tak salah saya memilih teman perjalanan. Mungkin ini hikmahnya tersesat.
[caption id="attachment_180280" align="aligncenter" width="499" caption="Rumah-rumah suku Baduy Dalam"]
Tak lama kami lanjutkan perjalanan lagi dan sampailah kami di suatu tempat yang lapang dan ada bekas-bekas kayu yang hangus. Kabarnya, di sana beberapa bulan lalu terjadi kebakaran. Saat itu kami mulai masuk wilayah Baduy Luar. Penduduk asli yang kami jumpai kaum prianya berbaju hitam-hitam. Sedangkan kaum wanitanya memakai atasan modelnya mirip kebaya kuno, warna hijau tua. Kalau di Baduy Dalam busananya putih-putih baik pria maupun wanita, bahkan anak-anak.
Tak lama kami mendengar ribut-ribut dan serombongan laki-laki Baduy Luar berlarian menuju satu arah tertentu. Rupanya ada seorang bocah Baduy Luar yang bermain di sungai lalu tergelincir dan terseret arus sungai yang deras. Ia ditemukan tak lagi bernyawa, jenasahnya dibopong ke rumah orang tuanya. Kami pun tiba di sebuah rumah yang sudah dikerubuti warga setempat. Pak Tua memutuskan untuk ikut bertakziah dan mengucapkan belasungkawa pada pemilik rumah. Hanya Pak Tua yang menerobos kerumuman warga, sementara kami berempat di luar. Setelah Pak Tua keluar, barulah kami lanjutkan perjalanan.
[caption id="attachment_180285" align="aligncenter" width="499" caption="Rumah suku Baduy Luar"]
Belum lama berjalan, kami tiba di sebuah gubuk yang nyaris tak beda dengan gubuk-gubuk Baduy beratap rumbia lainnya. Hanya saja gubuk ini keempat dindingnya hanya separuh, sehingga orang dewasa yang berdiri di dalamnya bisa terlihat jelas sebagian badannya. Di dalam, saya lihat banyak sekali wanita Baduy Luar berjubel. Busana mereka sedikit beda dengan yang saya lihat di rumah-rumah sebelumnya. “Kebaya” yang dikenakan warnanya biru tua. Saya lihat beberapa ikat pagi teronggok di luar gubuk itu. Beberapa buah lesung kayu ukuran besar tampak dari luar. Saya dan 3 orang lainnya mendekati gubuk itu untuk melihat lebih jelas.
Oh, pasti ini gubuk temoat menumbuk padi, pikir saya. Para wanita di dalam gubuk itu memang sedang asyik menumbukkan alu kayu ke lesung bersama-sama, suaranya membentuk irama tertentu. Mulut mereka menceracaukan kata yang saya tak pahami maknanya, riuh rendah bersahutan ditingkah suara alu beradu dengan lesung. Anehnya, tak tampak padi di dalam lesung yang ditumbuk. Si pria dengan handycam tentu saja takmenyia-nyiakan moment ini dan langsung berjongkok mencari sudut yang tepat untuk merekam peristiwa langka ini. Saya pun sempat membidikkan kamera saya 3x begitu pula 2 remaja lainnya, sebelum akhirnya salah satu dari wanita itu keluar dari kelompok penumbuk lesung, sambil meneriakkan kata-kata yang sama sekali tak saya ketahui artinya. Dari ekspresinya saya tahu dia marah.
[caption id="attachment_180287" align="aligncenter" width="576" caption="Sisa-sia puing kebakaran di Baduy Luar"]
Saya buru-buru keluar sambil penasaran : kenapa aktivitas menumbuk padi di larang di foto? Bukankah katanya yang dilarang mengambil foto sama sekali itu di perkampungan Baduy Dalam? Ini kan sudah masuk wilayah Baduy Luar. Ooh.., ternyata kami salah sangka! Mereka bukan sedang menumbuk padi. Itu aktivitas ritual yang dilakukan saat ada yang berduka cita. Kaum wanita itu menumbuk lesung kosong untuk mewartakan pada seisi kampung bahwa ada warga mereka yang meninggal. Penjelasan ini kami dapatkan dari Pak Tua pemimpin rombongan. Hmm.., pantas saja, si pria dengan handycam itu sampai terbirit-birit takut di sambit ibu Baduy yang marah tadi.
Kami pun segera berlalu dari situ. Tak lama, rombongan keluarga yang berduka lewat mendahului kami. Anak yang meninggal di gendong Bapaknya ditutupi dengan selembar kain putih. Sementara Ibu dan Neneknya menangis di belakangnya. Beberapa orang mengikuti. Tentu saja saya tak berani mengabadikan moment ini. Entah kemana mereka pergi, apakah ada lokasi pemakaman khusus warga Baduy Luar, seperti apa tata cara pemakamannya, saya sama sekali tak tahu dan tak terpikir untuk mengikuti mereka sampai ke makam. Kondisi fisik yang sudah terlalu lelah, membuat saya tak lagi tertarik pada hal lain selain bagaimana tiba di Ciboleger secepatnya.
[caption id="attachment_180288" align="aligncenter" width="538" caption="Kaum Wanita suku Baduy Luar yang sedang bersama-sama menumbuk lesung dengan alu kayu"]
Tak lama kami sampai di sebuah rumah yang model bangunannya sudah ada sentuhan “modern” meski bahannya masih dari kayu sejenis dengan rumah Baduy Luar lainnya. Saya lihat di situ ada lemari pendingin seperti yang ada di kios penjual minuman.Kontan kami menyerbu ke teras rumah itu. Isi lemari pendingin hanya teh botolan. Saya sudah bersiap-siap jika saja harganya 4x harga normal. Tadi sebelum berangkat di Baduy Dalam, kami membeli sebotol air mineral ukuran 600 ml saja harganya berkali-kali lipat. Ternyata, setelah 2 botolsaya reguk habis, harga sebotolnya cuma dibandrol Rp. 2.500,- saja! Tak beda dengan harga di kota. Padahal, jarak dari rumah itu ke desa Ciboleger masih sekitar 45 menitan lagi dan jalannya pun menanjak. Hmm.., rupanya mereka sama sekali tak berpikir komersiil selain menolong para pengunjung yang kehausan.
Setelah puas melepas dahaga, kami melanjutkan perjalanan dan tak lama ada 2 orang Baduy Dalam yang duduk berjongkok bersama seorang non Baduy, yang langsung menyapa saya “MbakIra ya?”. Tentu saja saya kaget luar biasa. Rupanya orang non Baduy itu penunjuk jalan yang dari kemarin disewa rombongan kami. Hanya saja, karena sejak kemarin saya selalu paling bontot, saya tak mengenal orang itu. Kali ini dia diminta rekan-rekan saya untuk “menjemput” saya. Ironisnya, bukannya mencoba menyusuri jalan kembali masuk siapa tahu bertemu saya, mereka malah duduk-duduk saja di situ menunggu sampai saya lewat dengan sendirinya. Padahal, jarak dari situ ke Ciboleger sudah tinggal sekitar 30 menitan saja dan jalannya pun sudah ramai, tak mungkin tersesat.
[caption id="attachment_180290" align="aligncenter" width="499" caption="Salah satu gubuk peristirahatan di Baduy Luar"]
Akhirnya orang ini mengajaka saya jalan bersamanya. Hmm.., mungkin agar nanti setiba di Ciboleger rekan-rekan saya mengira dia memang benar-benar mencari saya sampai di perbatasan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Tapi saya menurut saja meski sedikit kesal. Saya pun berpisah dengan rombongan Bapak Tua dan 3 orang lainnya. Setiba di Ciboleger, saya lihat semua teman saya sudah asyik makan dan minum di warung, termasuk Kiki. Mereka rata-rata tiba sejam yang lalu, sedangkan Kiki tiba kira-kira setengah jam yang lalu.
Sambil cengar-cengir Kiki cerita bahwa tadi ia sudah benar-benar putus asa melihat jalan yang sangat curam. Berkali-kali ia duduk melepas penat, sampai-sampai kehilangan jejak saya. Untunglah tak lama kemudian ada 2 orang Baduy yang semalam kami inapi rumahnya. Melihat Kiki, mereka kasihan. Pemuda ini bisa berbahasa Indonesia. Ia pun menunggu Kiki sampai kuat berjalan lagi dan akhirnya mengajak Kiki melalui jalan pintas. Dibantu 2 orang Baduy Dalam dan melewati jalan pintas yang berbeda dari yang kami lalui, membuat Kiki lebih kuat dan lebih cepat bisa sampai. Pantas saja kalau tadi sampai lama saya tunggu, Kiki tak juga lewat. Akhirnya, saya yang justru tersesat dan paling akhir tiba di Ciboleger.
[caption id="attachment_180291" align="aligncenter" width="499" caption="Meniti jembatan bambu yang tak ada paku satu biji pun. Bilah bambu diikat dengan ijuk. Foto diambil dari jembatan seberangnya."]
Akhirnya karena tenggat waktu yang ditetapkan panitia sudah lewat, kami segera bersiap-siap pulang, Sebelumnya mampir di rumah salah satu warga Baduy Luar yang sudah menjadi muallaf, dan kini tinggal di sebuah kecamatan sekitar 30 menit naik bis dari Ciboleger. Di sanalah kami makan siang, karena salah satu panitia sudah memesan makanan pada keluarga ini. Teman saya itu dulu termasuk yang mengislamkan keluarga Baduy ini. Setelah kenyang makan dengan lauk khas yang dimasak istri si Baduy, kami pulang ke Cilegon.
[caption id="attachment_180292" align="aligncenter" width="499" caption="Sejak kecil anak-anak Baduy Dalam terbiasa mendaki bukit berjam-jam sambilmemikul aneka beban yang berat dan ukurannya tak sebanding dengan ukuran tubuh mereka. Tapi tak mengurangi kecepatan jalannya mendaki tanah dan bebatuan yang terjal dan licin."]
Tapi di jalan, ketika sampai di Pandeglang, terjadi kecelakaan menimpa salah satu teman kantor saya – sebut saja namanya Pak Andi – yang saat itu duduknya di bis tepat di depan saya. Kecelakaan yang unik, sebab hanya menimpa Pak Andi seorang, saat bus sedikit oleng karena jalanan yang jelek dan berbatu-batu. Pelipis Pak Andi mengucurkan darah deras sekali, meski ditolong oleh tim P3K, darah tak segera mampet. Kami terpaksa mampir ke RS dan Pak Andi mendapatkan setidaknya 4 jahitan di pelipisnya. Teman-teman lalu menghubung-hubungkan kecelakaan yang menimpa Pak Andi dengan kenekadan Pak Andi mengambil foto rumah Pu’un, tepat di area luar hamparan rumput hijau yangmenjadi penanda “verboden”. Di rumah warga Baduy biasa saja kami dilarang keras memotret, apalagi memotret rumah Pu’un. Entah memang benar pamali ini membawa bencana bagi Pak Andi atau hanya kebetulan belaka, yang jelas teman-teman yang semula minta di-share foto dari BB Pak Andi jadi mengurungkan niatnya. Takut ketularan sial, katanya. Pak Andi sendiri menolak kecelakaan yang menimpa dirinya seorang dihubungkan dengan kebandelannya berpose di depan rumah Pu’un. Believe it or not, yang jelas itulah yang terjadi. Dan saya sendiri, meski sudah mematuhi semua larangan, ternyata masih tersesat juga. Maksud hati menolong menunggu teman, ternyata malah ditinggalkan. Tapi semua ini menjadi pengalaman tak terlupakan bagi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H