Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Menikmati "Sate Klopo" Dalam Suasana Kuno dan Asri di Ondomohen

3 Mei 2012   04:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_178932" align="aligncenter" width="576" caption="Sate Klopo Ondomohen (foto koleksi pribadi)"][/caption]

Anda pernah mendengar sate klopo? Klopo artinya kelapa (bahasa Jawa). Tapi sate klopo bukan berarti kelapa yang dibikin sate. Bahan utama sate klopo adalah daging ayam, biasanya dalam setiap tusuk dicampuri dengan 1 – 2 potong bagian daging ayam yang berlemak (gajih, bahasa Jawanya). Setelah potongan daging ayam dan gajih itu ditusuk, lalu dilumuri dengan kelapa parut yang telah dibumbui. Biasanya kelapa yang dipilih adalah yang masih muda, diparut dengan arah parutan kasar/memanjang. Bumbunya biasanya bumbu kecap yang diberi irisan cabe rawit. Lalu dimakan dengan nasi yang ditaburi “serundeng”, yaitu kelapa parut yang disangrai kering, tapi sebelum disangrai kelapa sudah dicampur dengan bumbu-bum yang spicy. Jadi, kombinasi rasa sate klopo dengan nasinya terasa gurih, renyah, spicy dan pedas (bagi yang suka pedas tentunya).

Sate klopo cukup populer di kota Surabaya. Hampir semua pasar tradisional di Surabaya pasti ada penjual sate klopo. Ada juga yang berjualan keliling. Umumnya sate klopo dijual di pagi hari, sebab memang cocok untuk jadi menu sarapan. Sate klopo sebaiknya dimakan saat panas-panas, sebab gajih-nya bisa membeku (ngendhal, bahasa Jawanya) dan tak enak lagi dimakan karena melekat di langit-langit mulut. Serundengnya pun tak lagi kriuk jika sudah lama tercampur dengan nasi panas, kena uap nasi jadinya “melempem”.

[caption id="attachment_178935" align="aligncenter" width="576" caption="Kepulan asap sate kemana-mana, tapi yang antri tetap tak surut (foto koleksi pribadi)"]

13360204401194426948
13360204401194426948
[/caption]

Diantara sekian banyak penjual sate klopo, yang paling terkenal adalah yang buka warung di kawasan jalan Ondomohen. Jalan ini letaknya tak jauh dari rumah dinas Walikota Surabaya. Sate klopo Ondomohen biasanya kalau hari kerja berjualan dari pagi hari, menjelang jam 9 sudah ludes. Tampaknya memang disengaja begitu, sebab agak siang sedikit kawasan jalan ini aktivitasnya sangat padat. Banyak percetakan besar dan toko yang menjual aneka cemilan yang biasa dijadikan oleh-oleh khas Surabaya. Kalau “musim” parcel, semisal lebaran, natal, tahun baru, toko-toko di kawasan itu ramai sekali. Pemilik warung sate klopo tampaknya memang ingin membatasi jualannya sebelum jalanan menjadi ramai. Tapi kalau hari Minggu, durasi berjualannya diperpanjang.

Biasanya, usai berjalan-jalan pagi atau selesai hunting obyek foto, saya melaju ke Ondomohen untuk isi perut. Jangan ditanya antrian pembelinya. Penjual sate klopo itu sepertinya satu keluarga besar. Mereka satu team work, ada yang bagian menusuk daging ayam menjadi sate, ada yang memanggang sate, ada yang menyiapkan bumbu di lepek (piring kecil) dan ada yang menyiapkan nasi atau lontong sesuai pesanan pembeli. Untuk minuman, tampaknya sudah ada konsensus tak tertulis, pemilik warung sate klopo sama sekali tak menyediakan minuman, setiap pembeli yang datang ke warungnya akan segera ditawari pilihan minuman oleh para penjual minuman di sekitarnya. Jadi simbiosis mutualismelah!

[caption id="attachment_178937" align="aligncenter" width="576" caption="Mbok bakul jenang grendhul memegang pincuk bukan piring (foto koleksi pribadi)"]

133602050747957911
133602050747957911
[/caption]

Selain penjual sate klopo, di situ juga ada penjual “jenang grendhul”, yaitu bubur sumsum yang dicampur bubur candil. Biasanya juga diberi cenil, yang teksturnya kenyal, lalu disiram dengan santan kental dan gula merah cair. Uniknya, penjual jenang grendhul ini menyajikan jualannya bukan di atas piring kecil, atau mangkok, atau piring foam/plastik/mika seperti umumnya jualan jaman sekarang. Si Ibu penjual menyajikannya di atas pincuk yang terbuat dari daun pisang. Memang di bagian luar dialasi kerta minyak agar tak bocor jika daun pisang sobek.

Bukan hanya penyajiannya yang diupayakan bernuansa tradisional, tapi juga piranti berjualannya, semuanya menggunakan kendil dari tanah liat. Bubur sumsum, candil, cenil, semua dimasak dalam kendil tanah liat itu. Biasanya, berhubung antri sate klopo cukup lama, pembeli banyak yang mengganjal perutnya dengan jenang grendhul ini, termasuk saya tentu saja. Maklum, makanan tradisional semacam ini sudah jarang ditemui di toko-toko makanan. Kalaupun ada disajikan di hotel atau resto berbintang, tentu rasa dan harganya pun beda.

[caption id="attachment_178938" align="aligncenter" width="576" caption="Ngonthel di Ondomohen, enak, bisa santai (foto koleksi pribadi)"]

13360205811455942879
13360205811455942879
[/caption]

Uniknya menunggu sajian sate klopo ini juga berarti pembeli harus rela kena asap, sebab asap bakaran sate memenuhi hampir semua area di situ. Untunglah jalan Ondomohen ini sangat lebar badan jalannya. Siang hari pada hari kerja, kondisi jalan sangat ramai. Tapi kalau hari Minggu, jalanan ini seolah beralih fungsi jadi jalanan tempat orang menemukan nuansa kuno. Moda transportasi yang lewat kebanyakan becak – pada hari kerja becak dilarang lewat di sana – mengantar ibu-ibu yang berbelanja ke pasar, sepeda onthel dari para bikers yang sengaja berolahraga, motor dan mobil tua yang sengaja mejeng.

[caption id="attachment_178940" align="aligncenter" width="576" caption="Pemotor di Ondomohen juga bisa bebas (foto koleksi pribadi)"]

13360206351019237561
13360206351019237561
[/caption]

Kekunoan ini didukung oleh suasana jalan Ondomohen sendiri yang memang sudah memberikan sentuhan kuno di tengah modern-nya kota Surabaya. Kedua sisi jalan Ondomohen dipenuhi pohon-pohon besar dan tua berdaun rimbun. Saking tuanya, pohon itu menjulang tinggi hingga dahan-dahannya melengkung. Tak jarang ujung-ujung rantingnya sampai saling bersentuhan antara pohon di sisi kanan jalan dengan sisi kiri jalan. Daunnya yang sangat rimbun membentuk “payung” yang menaungi jalan Ondomohen dan teriknya mentari Surabaya yang terkenal menyengat. Saat pagi menjelang siang, sinar mentari menerobos dari celah-celah rimbunan dedaunan.

[caption id="attachment_178941" align="aligncenter" width="576" caption="Sinar mentari pagi menerobos celah rimbunnya pepohonan di kedua sisi jalan Ondomohen (foto koleksi pribadi)"]

13360206801338528556
13360206801338528556
[/caption]

Bagi anda yang kebetulan berkunjung ke Surabaya dan ingin menikmati suasana asri sambil mencicipi jenang grendhul dan menikmati sate klopo, silakan datang ke jalan Ondomohen di hari Mingu pagi. Jangan datang di malam hari, sebab komoditas jajanan sudah berubah, ganti dengan mie kocok dan sejenisnya. Berikut, ada beberapa hasil jepretan saya yang memang sengaja saya buat dalam mode B/W (black and white), untuk mendukung kesan kuno kawasan Ondomohen. Melihat hasil fotonya, jadi berasa kembali ke paruh pertama dekade ’70-an.

[caption id="attachment_178942" align="aligncenter" width="576" caption="Yang pulang belanja dari pasar, meski bawaan seabreg, cukup naik becak saja (foto koleksi pribadi)"]

1336020745779509281
1336020745779509281
[/caption] [caption id="attachment_178943" align="aligncenter" width="576" caption="Jeep tua begini, berjaya kalau Minggu pagi di Ondomohen (foto koleksi pribadi)"]
13360208382104486655
13360208382104486655
[/caption] [caption id="attachment_178945" align="aligncenter" width="576" caption="Bersepada rame-rame juga masih longgar kok jalannya (foto koleksi pribadi)"]
13360209091068567574
13360209091068567574
[/caption]

Untuk melihat tulisan sebelumnya yang menampilkan foto B/W,  ada di sini : Pesona Suramadu

Untuk melihat semua tulisan Kompasianer yang menampilkan foto B/W, silakan click di sini

Untuk gabung dengan Kampretors lainnya, silakan buka di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun